Bab 03 : Perasaan

2033 Words
Lama Akasia hanya diam, pikirannya tidak memikirkan apa pun dan juga Ia tidak berniat membuka suaranya. Kepala Akasia segera menoleh ketika telinganya mendengar suara kekehan, Akasia seolah terhipnotis akan suara kekehan itu. Jelas bahwa ini bukan suara perempuan, ini suara pria yang benar-benar tegas dan dewasa. Walau hanya kekehan saja, Akasia dapat memastikan hal itu. "Siapa Kamu?" Akasia mencoba berdiri dari duduknya, namun seolah pergelangan tangannya di tahan lagi di tempat yang sama. Hingga Akasia kembali terduduk di sofa, badannya tidak bisa Ia gerakkan sama sekali. Entah mantra apa yang di gunakan makhluk tidak terlihat oleh matanya itu, tapi dari tarikan di pergelangangan tangannya. Jelas Akasia tahu jika makhluk itu sangat kuat di bandingkan dirinya yang lemah dan hanya seorang gadis malang. "Siapa Kamu?" sekali lagi Akasia bertanya namun tidak ada suara yang menyambut pertanyaannya. Beberapa lama akhirnya suara itu terdengar, namun membuat Akasia terkejut bukan main. "Kau kekasihku." Akasia melotot saat suara itu menyerukan kepemilikan akan dirinya. Akasia berdecak, mengibaskan pergelangan tangannya agar terlepas. Dan berhasil, Akasia terlepas dari genggaman itu. Akasia tidak tahu jenis makhluk gila apa yang mengklaim dirinya dengan begitu mudah. Akasia menggeleng dengan tegas, Ia begitu menolak mentah-mentah ucapan tidak jelas makhluk itu. "Gila!" hanya itu yang dapat Akasia suarakan di balik pikirannya yang siap mengumpati makhluk itu. Entah kenapa Ia sama sekali tidak takut akan makhluk yang sekarang mungkin ada di hadapannya itu, rasa terkejutnya mungkin menutupi rasa takutnya. Mungkin untuk sekarang Ia tidak merasa takut, tapi entah jika makhluk itu muncul tiba-tiba di hadapannya. Apa Akasia akan menjerit dan merasakan ketakutan luar biasa? Yang jelas untuk saat ini Akasia hanya butuh kejelasan dari makhluk yang bisa menyentuhnya dengan mudah itu. "Tunjukkan dirimu." kini Akasia mencoba bernego, Ia ingin melihat seperti apa wujud makhluk yang kini ada di hadapannya itu. "Gadis pintar." Akasia merasakan tepukan lembut di puncak kepalanya, Akasia reflek menepisnya. Namun hanya udara yang Akasia pukul, Akasia jadi jengkel bukan main. Ia tidak ingin berlama-lama dengan makhluk tidak jelas seperti makhluk yang saat ini Ia hadapi. "Pergilah!" ucap Akasia tegas, tidak ada lagi suara atau pun gerakan di sofa yang Akasia duduki. Akasia menghembuskan nafas pasrah saat dirinya malah di permainkan oleh makhluk yang entah apa nama dan wujudnya. Akasia melanjutkan makannya hingga tandas dan juga melakukan rutinitas malamnya sebelum Ia akan mengistirahatkan tubuhnya yang sudah sangat lelah hari ini. Menjadi pelayan lebih membuatnya merasakan lelah, memang bukan hanya dirinya. Ada 5 orang pelayan di Cafe milik Anjar, namun pengunjung seolah silih berganti menikmati makanan atau sekedar bersantai di Cafe itu. Cafe Anjar memang sangat strategis dan sangat kekinian, hingga banyak orang betah berlama-lama di sana. Akasia membereskan makannya dan membersihkan tubuhnya, sekarang Akasia perlu waspada saat melakukan apa pun. Karena bukan tidak mungkin, makhluk tidak terlihat itu akan muncul saat Ia sedang ganti baju. Membayangkannya saja sudah membuat Akasia takut dan tidak nyaman. Akasia menaiki ranjangnya yang hanya muat untuk dirinya dan dua gulingnya. Akasia berdoa sebelum tidur, menatap jendela atasnya. Di mana malam ini Bintang penuh di langit yang gelap. "Semoga hariku akan cerah besok, Selamat malam." ucapnya pada ruang hampa miliknya itu. Setelah Ia yakin Bintang akan menemaninya menjelajahi alam mimpinya tanpa Akasia minta. **** Pagi ini Akasia berangkat seperti biasa ke sekolahnya dengan menaiki angkot yang sering lewat di tepi jalan gang rumahnya. Akasia melihat semua menatap ke arahnya saat berada di angkot, tidak hanya itu saja, sepanjang perjalanannya Akasia juga merasakan orang-orang menatapnya. Entah apa maksud tatapan itu, yang jelas di samping kiri dan kanan Akasia tidak ada yang mau mendudukinya. Akasia sudah biasa, mungkin melihat tampilan Akasia dengan seragam yang sudah hampir seluruhnya berwarna coklat itu, padahal seragam itu seharusnya berwarna putih bersih. Bahkan sepatu hitam Akasia sudah tidak layak lagi untuk Akasia gunakan pergi ke sekolah. Apa Akasia malu? Tentu, jawaban jika menjadi diri orang lain dan bukan Akasia. Tapi bagi Akasia, sepatu hitam kainnya yang sudah robek di mana-mana itu sungguh berarti. Dulu Bibi nya memberikan sepatu ini ketika Akasia berusia 9 tahun. Saat itu Akasia mendapat nilai terbaik di kelasnya, dan Bibi nya memberikan hadiah sepatu hitam kain yang muat saat Akasia berusia 16-17 tahun. Kata Bibi nya itu adalah sepatu mahal peninggalan Mama Akasia, dan di sinilah Akasia selalu memakai sepatu itu dari pada membeli sepatu baru. Kenangan dari orang tua lewat Bibi nyalah yang membuat Akasia tidak malu sama sekali. Tidak ada orang lain yang tahu akan nilai sebuah barang bagi orang itu sendiri, dan inilah cara Akasia menjaga kenangan Mama nya. Memakainya dan mengingat jika Ia di lahirkan dari seorang Ibu yang memang dulu ada, bukan seperti kata orang-orang di saat Ia masih kecil. Mereka mengucapkan bahwa Akasia anak haram yang tidak jelas orang tuanya dsb, hanya Bibi dan Akasia yang tahu jika Akasia memiliki Mama dan Ayah. Akasia sudah turun dari angkot yang membawanya tepat di depan gerbang sekolah, Akasia melihat gedung sekolahnya yang bagus dan juga suara bising dari siswa yang telah hadir ke sekolah. Akasia mengencangkan genggamannya di tali tas bahunya lalu dengan senyumnya Ia masuk ke dalam gerbang. Saat Ia di hadapkan pada seorang satpam sekolah Ia tersenyum dengan kepala sedikit mengangguk, pria berumur 48 tahun itu juga tersenyum. "Sudah sampai Neng?" Akasia mengangguk sebagai jawaban awal. "Iya Pak, sudah siang." balas Akasia sopan. "Gih masuk, sebentar lagi bel sekolah bunyi." Akasia mengangguk. "Ya sudah Pak, Saya masuk ya?" satpam itu mengangguk. "Mangga Neng.". Akasia melangkahkan kakinya menyusuri lapangan tengah, di mana biasanya lapangan itu di gunakan untuk upacara dan kegiatan sekolah lainnya. Akasia lalu melanjutkan langkahnya melewati kelas demi kelas, Akasia tidak membiarkan orang lain merendahkannya meski itu hal yang mustahil. Akasia selalu menyapa siswa lain yang duduk di teras kelas, meski tidak mendapat respon dan malah Akasia mendapat cacian. Akasia tidak akan ambil pusing selagi mereka tidak menyakiti fisiknya, Akasia jadi ingat pergelangan tangannya. Akasia mengernyit saat sama sekali tidak ada bekas merah atau kebiruan di kulitnya yang mulus. Akasia sampai di kelasnya dengan wajah bertanya-tanya, namun sama sekali tidak menyadari jika semua teman sekelasnya mendadak diam karena kehadirannya. Akasia tetap melanjutkan langkah dan duduk di tempatnya, melepas tas bahunya lalu membuka tasnya untuk mengeluarkan bukunya. Pelajaran hari ini adalah Fisika, dan Akasia cukup mampu dalam pelajaran itu. Akasia merasakan atmosfir kurang menyenangkan dari sekitarnya, Ia akhirnya menatap sekeliling. Semua mata tertuju padanya dan saat mata Akasia menatap ke arah mereka satu persatu mereka semua malah seolah malas dan kembali ke aktivitas mereka. Akasia mengedikkan bahunya tidak peduli, Akasia membuka bukunya. Membacanya sebentar sebelum pelajaran di mulai, rutinitas setiap hari Akasia. Pelajaran di mulai ketika Bu Defanti masuk kelas, pambahasan kali ini mengenai Radiasi Benda Hitam. Karena ini materi secara teori, Bu Defanti lebih sering membacakannya di depan semua murid. Akasia benar-benar mendengarkan dan menggaris bawahi setiap rangkuman pembahasan yang di sampaikan. "Pengertian Benda hitam, istilah benda hitam diperkenalkan pertama kali oleh Gustav Robert Kirchhoff pada tahun 1862. Benda hitam merupakan sebutan untuk benda yang menyerap seluruh radiasi termal yang di terima, dengan tidak memantulkan cahaya dan tidak memungkinkan cahaya apa pun untuk melewati atau keluar dari sisi manapun. Energi yang terserap akan memanas dan memancarkan radiasinya, radiasi ini yang biasa disebut dengan radiasi benda hitam. Tidak ada benda yang benar-benar ideal sebagai benda hitam, tetapi ada beberapa benda yang berperilaku layaknya benda hitam." "Contohnya pada pembakar kompor listrik. Ketika menaikkan suhu kompor dari suhu rendah ke suhu tinggi, dapat teramati bahwa kompor tersebut menghasilkan radiasi benda hitam dan terjadi perubahan dari hitam menjadi merah membara." Akasia menganggukkan kepalanya saat Bu Defanti memberikan contohnya. Hingga dua jam pelajaran telah usai, Akasia tetap berada di kursinya. Entah kenapa Ia begitu malas hari ini, tidak seperti biasanya. Di kelas hanya ada Akasia, sedangkan semua teman Akasia sudah keluar kelas sejak tadi bel istirahat. Akasia memikirkan cara untuk menghilangkan makhluk yang saat ini sedang berkeliaran di sekitarnya. Akasia jadi teringat oleh seorang paranormal terkenal, dan Ia akan menguras isi tabungannya untuk melakukan itu dengan orang yang sekarang ada di pikirannya itu. Akasia menggelengkan kepalanya, untuk apa Ia menyia-nyiakan uang yang sudah susah payah Ia tabung hanya untuk makhluk tidak jelas itu. Lebih baik Ia menjalani hidupnya, selagi makhluk itu tidak mengganggu hidup dan juga merusak masa depannya. Hanya sebuah klaim dan Akasia rasa itu wajar saja jika makhluk itu adalah makhluk gila yang memang itulah tujuannya. Membuat manusia lupa diri dan seolah bergantung pada makhluk itu. Akasia sudah di jam terakhir pelajaran sekolah untuk hari ini, tinggal menunggu bel pulang sekolah dan kemudian Akasia akan kembali bekerja. Dan hal itu sudah terjadi sejak sejam yang lalu, Akasia bahkan sudah melayani satu pelanggan wanita yang terus saja menatapnya dengan wajah yang entah, Akasia sendiri tidak tahu. "Sia." Akasia tersenyum kala Ia melihat Iris yang sudah duduk dengan dua teman Akasia lainnya. Berbeda dari Iris yang tersenyum padanya, dua teman Akasia yang lainnya bahkan memutar matanya saat Akasia menoleh ke arah mereka. Setelah mencatat pesanan pelanggan wanita itu, Akasia menuju meja Iris yang sudah siap dengan buku menu mereka. "I, pesan apa?" tanya Akasia ramah dengan senyum tulusnya. "Langsung ke sini ya tadi?" tanya Iris yang tidak segera mengucapkan pesanannya, Akasia mengangguk sebagai jawabannya. "Kalian pesan apa?" tanya Iris pada ke dua sahabatnya, mereka memilih menu yang paling enak di sini dan Akasia pun segera mencatatnya. Akasia kembali mengulangi apa yang di pesan oleh teman-temannya lagi. "Jadi pesanannya Mongolian Dino Ribs 1 , Black Tea Smoked Duck 2 dan minumannya strawberry crumble 3.". Setelah mendapat anggukan dari ke tiganya, kini Akasia undur diri ke belakang. Menyampaikan menu yang sudah di pesan para pelanggan sambil Dia bisa menyeka sedikit lelahnya di sebuah kursi ruang tunggu pesanan. Akasia duduk di sana, mendongakkan kepalanya menatap langit-langit Cafe. Baru beberapa jam dan Cafe sudah begitu ramai, ini terjadi karena hari ini adalah Sabtu malam Minggu. Bukan hanya sore menjelang malam saja Cafe begitu membludak dengan anak-anak muda seumuran dengannya namun juga nanti malam. Dan kesempatan saat menunggu pesanan seperti ini yang Akasia gunakan untuk beristirahat. "Pesanan meja nomor 09, Sia." Akasia beranjak dari istirahatnya, dengan senyum pada Nena yang merupakan asisten kasir atau di bilang kasir ke dua jika kasir ke satu tidak hadir, Akasia mengambil pesanan wanita yang sejak tadi menatapnya itu. Dengan hati-hati Akasia mengantarkan pesanan sampai di atas meja tanpa kesalahan, lalu sedikit tersenyum dan membungkuk, Akasia mempersilahkan wanita itu untuk menikmati makanan Cafe mereka dan akhirnya undur diri. Kembali ke ruang pesanan karena tidak ada pengunjung baru yang datang. Akasia kembali duduk di kursi tadi, Akasia dapat melihat bosnya sedang kedatangan tamu yang merupakan sahabatnya itu. Akasia tersenyum ketika bosnya itu menawarkan senyum pada Akasia dengan acungan jempol yang malah membuat Akasia memutar matanya. Pria itu terkekeh dan saat itulah Akasia kembali menengadahkan kepalanya ke langit-langit dan memejamkan matanya sebentar. **** Seseorang tersenyum menatap tubuh wanita yang sekarang telah memejamkan matanya, Ia tidak bisa mendekat saat wanita itu tidak menginginkannya ada di dekatnya. Mungkin saja, karena itu hanya pemikirannya. "Kau menginginkannya?" suara dari depan tubuhnya menginteruksi seseorang itu hingga membuatnya menoleh kembali pada orang itu. "Hm, Aku juga tidak tahu." jawabnya, karena sekarang Ia memang tidak tahu apa yang sedang Ia rasakan. Sudah sejak kecil Ia menjaga perasaan dan tindakannya agar tidak hilang kendali saat berada di dekat gadis itu. "Kau takut?" mata seseorang itu kini menatap wanita yang masih memejamkan matanya, terlihat jelas rasa lelah dan peluh di kening itu. Ia dapat melihat jelas meski penghalang dirinya dan wanita itu adalah sebuah dinding kaca. Seperti dirinya, seperti ada tembok yang membatasinya saat akan mendekati wanita itu. Namun tidak dapat Ia lihat dan tidak dapat Ia tembus dengan tubuhnya. "Aku tidak takut akan bertepuk sebelah tangan, tapi Aku takut jika Aku tidak dapat melihatnya lagi. Lebih baik seperti ini bukan?" jelasnya, seseorang itu duduk di kursi kebesarannya di temani sahabatnya. "Jangan berada di dekatnya seolah-olah Kau biasa saja, itu malah melukaimu." seseorang tadi hanya mengedikkan bahunya. "Aku tahu, bukankah selalu ada resiko saat Kita memutuskan sesuatu?" sahabatnya hanya mampu menghembuskan nafas lalu menatap wanita yang menjadi pusat perhatian sahabatnya itu sendiri. "Ya, dan apakah Kau merasa senang atau pun lega?" seseorang itu menggeleng. "Aku tidak tahu, ini begitu membingungkan.". "Baiklah, Aku sahabatmu hanya mampu memberimu saran. Jika Kau ragu, tanyakanlah padanya." sahabatnya menunjuk wanita itu dengan dagunya. "Aku akan mencoba jika waktunya sudah tepat.". **** Madiun punya cerita (Loves, Like and Comment)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD