Bab 02 : Suara

1561 Words
Akasia sama sekali tidak tahu apa yang menyebabkannya mendengar suara-suara yang aneh. Mungkin pendengarannya yang salah atau mungkin memang ada makhluk tidak kasat mata yang berusaha mendekatinya. Akasia memang tidak mengerti makhluk tersebut, namun dari cerita yang sering Ia dengar bahwa makhluk-makhluk seperti itu sering mengganggu manusia. Tapi Akasia tidak pernah mengganggu mereka, lalu kenapa mereka mengganggu Akasia?. Akasia sebenarnya tidak percaya dengan adanya makhluk-makhluk itu selain dari cerita yang beredar di pendengarannya. Mungkin memang benar-benar mereka ada, namun dalam dunia mereka sendiri tanpa berbaur dengan manusia. Namun sepertinya Akasia salah mengenai hal itu, Ia merasa ada keganjilan yang menyertainya hari ini. Akasia mencoba berinteraksi namun sama sekali tidak membuahkan hasil, tidak ada suara yang menyambut pertanyaan atau sapaannya. Ini sudah 4 hari setelah pertama kali Akasia merasakan dan mendengar hal itu. Suara-suara itu semakin sering Akasia dengar ketika tubuhnya benar-benar lelah setelah bekerja. Dia meyakinkan diri bahwa Ia tidak berhalusinasi ataupun memang menciptakan seseorang memanggilnya, tidak. Akasia mendengar dengan jelas seseorang memanggil dan menyebut namanya dengan benar, karena suara itu tidak samar-samar Akasia dengar. Bukan hanya suara saja dalam 4 hari ini Ia rasakan, hembusan nafas seseorang beraroma sangat wangi berbaur dengan mint. Tidak hanya itu saja, Akasia juga merasakan seseorang memeluknya ketika malam tiba. Dalam tidurnya Akasia merasakan seseorang mendekap erat tubuhnya, Akasia pikir itu hanya sebuah mimpi. Tapi setelah Akasia pikir kembali, apa ada mimpi yang terus membayangi di kenyataan. Atau jangan-jangan saat ini Akasia sedang tidur dengan keadaan berjalan. Akasia menatap lengannya, Ia meringis membayangkan Ia akan menyakiti dirinya sendiri dengan cara menyubit kulit tubuhnya. Akasia tiba-tiba mengingat ucapan Bibi nya ketika ibu jari dan jari telunjuknya siap mengapit kulit putihnya. 'Jangan biarkan siapapun menyakitimu, termasuk dirimu sendiri. Jangan melakukan hal-hal bodoh Lun, ingat selalu kata-kata Bibimu ini.' Akasia ragu untuk melakukannya atau tidak, Akasia membuang nafas pasrah. Akasia melihat sekitarnya, ide muncul saat Akasia melihat cermin. Akasia mendekati cerminnya itu lalu mengambil sebuah spidol yang tergeletak di meja. 'Kau siapa?' tulis Akasia di cermin. Akasia menunggu lama namun sama sekali tidak ada balasan. Ia pikir makhluk seperti sejenis itu pintar, di film-film yang Ia tonton makhluk itu akan membalas jika di tanya seperti itu. Menunggu lebih dari 30 menit dan hasilnya tetap nihil, Akasia pasrah dan kembali duduk di kursi ruang tamu rumahnya yang biasa saja. Akasia sudah pulang dari kerjanya hari ini, sejak 1 jam yang lalu. Akasia sebenarnya sangat lelah secara fisik, namun Ia juga penasaran dengan hal yang sekarang Akasia alami. Akasia menghembuskan nafas panjang, lapar melilit perutnya. Akasia melihat meja ruang tamunya, sebelum pulang tadi Anjar memberinya sekotak makanan yang sengaja pria itu masak untuknya. Akasia tersenyum, lalu dengan ogah-ogahan berdiri menuju dapurnya. Rumah Akasia tidak besar, hanya sebuah ruang tamu, dua kamar tidur, satu untuknya dan satu bekas dari Bibi nya dan sebuah dapur. Akasia tidak pernah masuk ke kamar Bibi nya setelah wanita berumur 39 tahun itu menghembuskan nafas terakhirnya karena sakit komplikasinya. Ia takut jika harus mengingat memori itu kembali, mengingat jika orang yang telah membesarkan juga mengurusnya sudah tiada. Meninggalkan Akasia di tempat yang tidak mungkin lagi Akasia jangkau walau Akasia sangat ingin. Jika Ia dapat bertemu dengan Bibi nya, selain rasa rindu dan terima kasihnya. Akasia ingin menanyakan siapa nama orang tuanya yang kata Bibi nya sudah meninggal sejak Ia bayi. Akasia hanya ingin tahu namanya, karena sejak awal Akasia bahkan tidak tahu mengenai orang tuanya. Dan Bibi nya juga seolah merahasiakannya. Akasia mengambil sebuah piring dan sendok, tidak lupa dengan air putih untuknya sendiri. Akasia duduk di ruang tamu, gadis itu lagi-lagi hanya bisa membuang nafas saat hidupnya terasa sepi di saat seperti ini, berada di rumah tanpa penghuni selain dirinya. Setelah pulang Akasia baru merasakan itu, Akasia memang tidak banyak teman di sekolah. Selain karena kondisi hidupnya juga karena Akasia di anggap aneh bagi sebagian orang-orang. Sebenarnya Ia tidak aneh, hanya saja Ia sedikit menutup diri. Sudah sejak lama Ia menjadi perbincangan banyak orang, apalagi saat semua wali murid menghadiri acara rapat atau saat pengambilan rapot. Hanya Dia yang tidak di dampingi siapapun, dan beberapa kali Akasia mendengar Ibu dari beberapa temannya melarang mereka untuk berteman dengannya. Apakah tidak punya orang tua adalah sesuatu yang menakutkan dan harus di hindari? Jika Akasia dapat meminta, maka Ia ingin sekali bertemu orang tuanya atau setidaknya mengenal mereka sebagai Ayah dan Ibu nya. Walau hanya satu kali dalam hidupnya, tapi Akasia tidak bisa. Menurut cerita Bibi nya, orang tuanya meninggal saat Akasia masih bayi. Akasia bahkan tidak tahu, apakah Ibu nya sempat memberinya ASI atau tidak sebelum meninggal. Akasia sering kali bertanya pada Bibi nya, namun jawaban yang Ia dapat adalah sama. 'Jangan pikirkan perkataan orang Lunia, jalani hidupmu sendiri'. Akasia tidak tersinggung, sungguh. Ia memang sendiri, tidak ada saudara yang bisa Ia mintai tolong untuk sekedar mengambilkan rapotnya. Sebenarnya juga Anjar seringkali menawarkan diri sebagai wali Akasia, namun gadis itu selalu menolak. Ia hanya tidak ingin memulai lagi untuk menggantungkan hidupnya pada Anjar, pria itu sudah terlapau baik mau menerimanya bekerja sejak Ia masih umur 13 tahun. Saat itu Anjar baru memasuki bangku perkuliahan, membantu Ibu pria itu di Cafe dan saat itu juga Akasia datang dengan badan basah akibat Ia berhujan-hujanan karena berkeliling kota Jakarta Utara guna mencari pekerjaan. Akasia berpikir akan memutuskan sekolah dan bekerja untuk membantu biaya Bibi nya berobat juga untuk biaya makan mereka. Namun siapa yang mau menampungnya untuk mereka ambil tenaga bocah mungil yang tidak punya kemampuan apa-apa saat itu. Sering kali Akasia di tolak, atau bahkan belum sempat Akasia menawarkan tenaganya, sudah di tolak mentah-mentah dengan pengusiran. Tuhan memang maha adil, Ia hanya numpang teduh di Cafe keluarga Anjar. Tapi tawaran pekerjaan langsung Ia terima dari Ibu Anjar ketika Akasia selesai bercerita mengenai hidupnya. Gadis polos dan lugu itu tidak segan bercerita mengenai hidupnya pada Ibu Anjar. Anjar yang saat itu melihat Akasia merasa Ia memiliki adik yang harus di lindungi, mungkin saja karena Anjar anak tunggal di keluarga besarnya. Satu-satunya keturunan yang terlahir dari keluarganya, Ibu Anjar bercerita jika Ia memiliki seorang Kakak yang tidak bisa memiliki anak. Tanpa sadar air mata Akasia menetes, mengingat sulitnya Ia bertahan hidup kadang membuat Ia lupa akan bagaimana Ia harus menjalani hidupnya sendiri. Terutama saat orang satu-satunya dalam hidupnya juga ikut pergi, Bibi yang begitu memperhatikannya dulu dan terus membuat Akasia merasa aman kini sudah tidak ada. Saat itu jalan Akasia seolah buntu, tidak ada cahaya yang mampu meneranginya. Malam hari setelah pemakaman Bibi nya Akasia merenung, melihat bintang dan saat itulah seolah bintang melihat betapa sedih dirinya. Satu bintang itu bersinar samar-samar, bahkan seolah bintang itu bersembunyi untuk mengintip betapa malang nasibnya. Hal itu membuat Akasia berdoa agar Ia tetap bisa menjalani hidup dengan baik, alam sudah mendukung dukanya. Hanya itu doa Akasia saat bintang menyorotkan cahaya terangnya namun tertutup kabut saat itu, mungkin Akasia lupa jika Ia juga berdoa untuk seseorang ada di sampingnya selamanya. "Mungkin Aku bodoh, mempercayai bahwa bintang yang telah mengabulkan doaku." Akasia mengusap air matanya, Ia tersenyum lalu menyantap makanannya. Perutnya sudah bernyanyi sejak tadi, dan Akasia malah bernostalgia dengan masa lalu kelam. Bagaimana rasa bahagia saja Akasia belum pernah merasakannya. "Lunia." Akasia segera menoleh saat mendengar suara halus seseorang. Akasia mengernyit, jelas sekali di rumah ini hanya ada dirinya. Akasia mencoba tidak peduli akan suara yang menyerukan nama panggilan Bibi nya itu. Hanya Bibi nya yang di izinkan untuk memanggil nama itu, dan selama ini di depan semua orang Bibi nya memanggilnya dengan nama Akasia, bukan Lunia. Jadi dari mana makhluk itu tahu penggilan itu?. "Lunia." kembali Akasia mendengarnya saat Akasia akan membuka mulutnya untuk menyantap makanan yang telah melambai untuk segera Ia nikmati. Akasia kembali melihat sekeliling, namun lagi hanya ada dirinya di rumah ini. "Siapa? Tolong keluarlah." kali ini Akasia benar-benar penasaran dengan seseorang yang terus mengganggunya itu. "Lunia." Akasia berdecak. "Jangan main-main!" Akasia menggeram. "Jika Kau menganggu lagi, Aku tidak akan segan terus mengabaikanmu." kini Akasia merasakan sofa yang Ia duduki bergerak. "Kamu siapa? Aku tahu Kamu ada di sini." hanya hembusan nafas beraroma sangat wangi yang Akasia rasakan. Akasia tahu itu hembusan nafas, karena terasa hangat di depan wajahnya. "Lunia." Akasia benar-benar kesal, Ia tidak peduli lagi. Akasia fokus pada makanannya kali ini, tidak peduli pada suara-suara yang terus memanggil namanya. Akasia geram saat bukan hanya suara yang Akasia dengar, melainkan juga colekan-colekan di bahunya. Akasia mencoba tidak hiraukan, namun suara itu sekarang begitu mengganggunya. "Lunia.". "Jangan duduk di kursiku, pergilah!" bukannya Akasia merasakan hilangnya seseorang yang terus memanggilnya, tapi malah sebaliknya. Akasia merasakan tubuh itu menghimpitnya hingga Akasia harus memundurkan sedikit tubuhnya. "Kau siapa?" 'hhhh' hanya hembusan nafas dan itu membuat Akasia semakin kesal. Tangan Akasia siap mendorong makhluk itu, namun belum sempat Ia lakukan tangan Akasia sudah di genggam begitu erat. "Apa maumu?" Akasia berusaha menetralkan deru nafasnya, Akasia jelas terkejut dengan tindakan mendadak dari makhluk itu yang memegang tangannya. Tapi Ia berusaha menutupinya dengan menetralkan suaranya saat bertanya. Beberapa menit telah berlalu, tapi sama sekali tidak ada yang Akasia rasakan ataupun dengar. Akasia sudah jenuh dengan membuang nafas kasar Akasia melonggarkan ketegangan otot lengannya. "Lepaskan!" Akasia sudah bebas dari genggaman tangan kuat itu, Akasia juga segera mendudukkan dirinya kembali dengan benar tanpa adanya niatan bagi Akasia untuk memulai kembali pertanyaannya. Sudah cukup jelas jika makhluk itu ada dan Akasia tidak berjalan dalam keadaan tidur ataupun Akasia mengalami halusinasi. Semua itu nyata, benar-benar nyata saat Akasia melihat pergelangan tangannya yang memerah dan terasa begitu panas. **** Madiun punya cerita
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD