Bab 4: Membangkitkan Trauma

894 Words
Ketika mereka akhirnya kembali ke hotel, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Mereka telah menikmati makan siang di salah satu kios, jadi mereka memutuskan untuk mandi dan beristirahat sejenak. Malam harinya, Lili terbangun dari tidur nyenyaknya. Diogo masih tertidur lelap, jadi Lili memutuskan untuk membangunkannya. Dengan hati-hati dia mendekati tempat tidur dan tiba-tiba melompat ke arahnya, mengagetkan Diogo. "Oh Tuhan! Lili!" serunya sambil meletakkan tangannya di atas dadanya, sementara Lili tertawa. "Aku tidak semuda dirimu lagi. Aku sudah tua, dan kejutan seperti itu bisa membuatku terkena serangan jantung." "Jangan konyol, kamu masih terlihat seperti remaja bagiku," Lili meyakinkannya. "Hanya perasaanmu saja..." Diogo menggelengkan kepalanya. "Bagaimana kalau kita nonton film?" usul Lili. "Apa sudah malam?" tanya Diogo dengan grogi. "Ya." "Kita telepon resepsionis dan minta mereka membawakan kita makanan," saran Diogo. "Tapi aku tidak mau yang asin," tambah Lili. "Oke, oke. Pilih saja apa yang kamu mau," Diogo menyetujui. "Aku akan menelepon resepsionis dan kemudian mandi. Aku merasa sangat hangat." Setelah memesan semua makanan cepat saji favorit yang ingin dimakan Lili, dia pergi ke kamar mandi. Setelah mandi, ia mengenakan baju tidur hitam polos. Gaun itu sederhana, tanpa belahan d**a yang terbuka atau detail yang terlalu sensual, tapi agak pendek. Setelah berpakaian, Lili memilih film yang akan mereka tonton. Sementara dia memilih, Diogo mengambil kesempatan untuk mandi. Saat dia kembali, dia mulai memutar serial yang dipilihnya dan berbaring tengkurap, dengan kaki di dekat kepala tempat tidur. Di sisi lain, Diogo juga berbaring di tempat tidur yang sama, duduk bersandar pada kepala tempat tidur, asyik menonton. Dia bahkan tidak menyadari posisi Lili. Mereka sudah berada di episode kedua, dengan penuh perhatian menonton sambil menikmati camilan dan meminum soda. Namun, saat tatapannya bergeser membuatnya tiba-tiba menyadari bagaimana tubuh wanita itu bergerak. Bagian bawah tubuhnya sedikit bergetar saat ia mengayunkan kakinya, kemeja pendeknya membuat sebagian tubuhnya terekspos, dengan celana dalam kecil yang hanya memberikan sedikit perlindungan. Selama beberapa detik, dia hanya bisa menatap, tapi ide untuk menginginkannya memenuhi dirinya dengan kemarahan. "Lili, berbaringlah dengan tegak," kata Diogo. "Tidak, aku nyaman seperti ini," Lili menolak. "Kubilang berbaringlah dengan lurus..." dia mengulangi. Tapi Lili menolak untuk menuruti permintaannya. "Diogo, begini cara ku menonton film." "Apa salahnya duduk atau berbaring dengan benar? Jaga postur tubuhmu. Kau perempuan, bukan anak kecil berusia delapan tahun," katanya, suaranya sedikit berubah, memicu ingatan yang menyakitkan di benak Lili. Lili membeku. Yang ia pikirkan hanyalah ayahnya dan bagaimana ayahnya selalu terlihat marah, berteriak dan menyakiti ibunya. Lili terdiam selama beberapa saat, tubuhnya kehilangan tenaga saat ia membiarkan bungkusan makanan ringan itu terlepas dari tangannya, menyadarkannya dari lamunan yang menghantui. "O-oke, aku... Saya akan duduk," katanya terbata-bata. Dia mengambil makanan ringan itu dan memposisikan dirinya membelakangi pria itu. Selama dua menit terakhir acara yang mereka tonton, dia berjuang untuk menahan air matanya. Ketika episode serial itu berakhir, Lili bangkit dan, tanpa menatapnya, ia mengucapkan kata-kata yang mencerminkan ketidakberaniannya untuk menghadapinya. "Saya mau tidur," kata Lili. "Matikan lampunya. Aku juga mau tidur," jawab Diogo. Dia mematikan lampu dan berjalan ke tempat tidurnya. Dia tidak pernah memperlakukan Lili seperti itu sebelumnya. Bahkan ketika harus memarahinya, dia selalu bersikap baik, memahami trauma masa kecilnya dan berusaha keras untuk tidak membangkitkannya. Lili tidak bisa menahan air matanya lagi. Air mata itu membanjiri dirinya. Kenangan akan jeritan, umpatan, suara benda-benda yang pecah, dan yang terburuk, tangisan kesakitan ibunya membanjiri pikirannya. Ia menutup mulutnya, berusaha menahan isak tangisnya, namun isak tangis itu tetap saja keluar dengan jelas. "Lili... kamu menangis?" Diogo bertanya. "Tidak," sanggah Lili, tapi suaranya yang bergetar dan patah-patah menunjukkan emosinya yang sebenarnya. Diogo segera bangkit dari tempat tidurnya dan pergi ke tempat tidur Lili. Dalam kegelapan, dia dengan lembut meletakkan Lili di pangkuannya dan memeluknya dalam pelukan yang menenangkan. "Lili..." "Kenapa kau berteriak padaku?" Dia menangis. "Maafkan aku. Aku marah, tapi itu bukan salahmu, Putri." "Apa yang terjadi? Apa yang telah aku lakukan?" Lili bertanya, suaranya penuh dengan kebingungan dan kesedihan. "Tolong, tenanglah. Oke?" "Katakan padaku, Diogo. Apa yang telah aku lakukan?" "Lili, terkadang sikapmu tidak pantas. Kamu sudah menjadi seorang wanita dan..." Lili memotong perkataan Diogo. "Aku tidak ingin hanya menjadi orang yang pantas. Aku ingin menjadi kekasihmu." Kata-katanya mengandung kebenaran, tapi ada makna yang lebih dalam di balik pernyataannya. "Gadisku?" "Ya, dan kamu berteriak padaku tadi..." "Jika itu karena apa yang terjadi, aku berjanji itu tidak akan terjadi lagi." "Bukan hanya itu. Kau tidak memperlakukanku dengan cara yang sama seperti beberapa tahun yang lalu," ungkap Lili. "Karena kau sudah dewasa, Lili. Aku ingin membiarkanmu tumbuh, dan aku pikir itulah yang kau inginkan," Diogo menjelaskan. "Dan aku menyukainya, tapi aku juga merindukan beberapa hal." "Aku berjanji akan tetap lebih dekat lagi," bisik Diogo. "Tidurlah di sini," pinta Lili dengan licik. "Lili..." "Seperti saat aku ketakutan, dan kamu membiarkanku tidur di punggungmu," kenang Lili. "Tapi saat itu, berat badanmu sekitar dua puluh lima kilogram, dan aku masih muda," katanya, sambil tertawa getir. "Sekarang hanya lima belas kilo lebih," sanggah Lili. "Aku akan tinggal di sini, oke? Tapi kamu jangan tidur di punggungku, atau aku tidak akan bisa bangun besok," kata Diogo. "Oke." Dengan lembut ia mengangkat Lili dari pangkuannya dan meletakkannya di tempat tidur di sebelahnya, sebelum berbaring di sampingnya. Lili merasa hatinya berat karena emosi, jadi dia bergeser untuk meletakkan kepalanya di d**a Diogo dan memeluknya dengan erat. "Semua akan baik-baik saja, Putri," bisik Diogo. "Aku rindu Ibu..." Lili berkata pelan. "Aku juga merasakan hal yang sama," jawab Diogo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD