Bab 5: Sebuah mimpi

1301 Words
Lili bangun pada keesokan paginya dan menyadari bahwa dia masih terbaring di bawah d**a Diogo. Meskipun apa yang terjadi semalam, berada di pelukannya terasa nyaman, dan hanya butuh beberapa detik saja hasrat untuk mulai memuncak dalam dirinya. Dia ingin mendekat sedikit, jadi dia dengan lembut mengelus perutnya, berhenti sangat dekat dengan bagian itu. Keinginan untuk menyentuhnya di sana melanda dirinya, tapi dia tahu dia tidak bisa. Apa yang akan dikatakan jika Diogo bangun? Dan itulah yang terjadi. Dia bangun tak lama kemudian. Lili mendengar napas dalam pria itu, jadi dia menutup matanya. Lili merasakan Diogo memegang tangannya dengan lembut membawanya kembali ke dadanya. Dia sudah memperkirakan dia akan dimarahi, ketika tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Berpura-pura terengah-engah seolah-olah dia sedang bermimpi buruk, dia sedikit menggerakkan kepalanya. Dia mendengar Diogo berbicara. "Lili, Lili, apa semua baik-baik saja?" tanyanya. "Uh-huh?" Lili pura-pura terkejut. Dengan cepat, Lili duduk dan menyusun dirinya "Apakah kamu baik-baik saja? Kamu terlalu banyak bergerak dan merintih. Aku pikir aku perlu membangunkanmu," kata Diogo. "Aku rasa aku hanya bermimpi buruk," dia berbohong. "Sudah berakhir, Putri. Ayo, peluk aku," kata Diogo. Lili memposisikan dirinya di antara kaki Diogo dan memeluknya. "Selamat ulang tahun, Lili. Aku harap apa yang terjadi kemarin tidak merusak perjalanan yang sangat istimewa ini." Lili menganggukkan kepala dan menekan dirinya erat-erat ke pria itu. "Ayo tidur sebentar lagi," Lili menyarankan. "Tidak mau pergi keluar? Bersenang-senang? Menjelajahi pantai? Ini hari ulang tahunmu," tanya Diogo. Lili hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Diogo menghela nafas dan menutup matanya. Dia merasa bersalah dan memutuskan untuk memenuhi permintaan Lili. Diogo berbaring lagi dan memeluknya erat, mendekapnya di dadanya. Merasa nyaman, dirawat, dilindungi, dan santai, tidak butuh waktu lama bagi Lili untuk tertidur lagi. Ketika mereka bangun, sudah waktunya makan siang. Mereka memutuskan untuk memesan makanan dari hotel, dan sambil menunggu makanan datang, Diogo keluar sebentar. Setelah dia kembali, dia mengetuk pintu. Lili dengan cepat membukanya, mengira itu salah satu staf hotel. Namun, dia terkejut menemukan Diogo berdiri di sana, memegang karangan bunga mawar. "Ini untukku?" tanya Lili, matanya terbelalak kaget. "Untuk siapa lagi?" Diogo menjawab, mengulurkan karangan bunga kepadanya. Lili mengambil bunga-bunga itu di tangannya, menghirup aroma manisnya, lalu memberikan Diogo pelukan erat. "Terima kasih, Diogo. Mereka indah." "Resepsionis merekomendasikan restoran yang bagus, dan aku sudah membuat reservasi untuk malam ini. Jadi, apakah kamu setuju pergi makan malam denganku?" tanya Diogo. "Tentu, dengan senang hati!" Lili menjawab dengan bersemangat. "Bagus. Mari kita makan. Makanannya baru saja tiba. Ini panas dan aromanya sangat enak." Lili meraih tangan Diogo dan membawanya ke gerobak tempat makanan diletakkan. Lili meletakkan bunga mawar di bawah meja kecil, dan mereka menyiapkan piring-piring sebelum duduk di tempat tidur untuk menikmati makanan mereka Setelah makan siang, dia berbaring di ranjang pria itu, memeluk bantal. Diogo melihatnya mengambil tempat yang seharusnya miliknya dan berkomentar. "Mengapa kamu tidak pergi ke tempat tidurmu sendiri, gadis muda?" katanya. "Karena tempat tidurmu terlihat lebih nyaman," jawab Lili. "Tapi keduanya sama persis," kata Diogo "Dengar, bagaimana kamu dan ibu bertemu? Dia tidak pernah mengatakannya padaku," tanya Lili setelah tidak membalas untuk beberapa saat. Diogo duduk di tepi tempat tidur dan dengan lembut menjauhkan rambut yang menutupi wajahnya. Pria itu mengambil napas dalam dan mulai menceritakan kisah mereka. "Ibumu bekerja di perusahaan sebagai cleaner. Ketika pertama kali aku melihatnya, ada sesuatu di dalam diriku yang mengatakan bahwa aku harus bersamanya," Diogo memulai. "Cinta pada pandangan pertama?" tanya Lili. "Mungkin itu takdir. Tidak mudah mendapatkan kepercayaannya. Dia selalu sedih dan menjaga jarak. Tapi, setelah aku mendapatkan kepercayaannya, aku mengerti mengapa dia berperilaku seperti itu. Setelah itu, semuanya terasa begitu alami dan terjadi dengan cepat. Kami sedang berbicara satu saat ketika dia membersihkan kamarku, dan kemudian ... nah, kamu tidak perlu tahu detailnya," katanya sambil membuat Lili tertawa. "Itu tidak perlu membuatku trauma. Tapi katakan, kapan kami pindah ke rumahmu?" tanya Lili. "Kami pacaran sudah beberapa bulan, dan aku yakin aku ingin dia menjadi milikku. Dia merasakan hal yang sama. Sebenarnya, aku sudah mengungkapkan keinginanku untuk menjadi lebih dari sekedar kekasihnya. Namun, dia tampak ragu. Dia siap meninggalkan rumahnya, tapi dia takut akan konsekuensinya. Dia takut pada apa yang pria itu akan lakukan padanya. Suatu hari, dia datang ke perusahaannya dan mulai menghindariku. Aku tahu ada yang salah, dan ternyata benar. Saat kita akhirnya berhadapan, aku menyadari apa yang telah terjadi. Dia terluka, dengan tanda-tanda di tubuhnya. Pada saat itu, aku memutuskan. Dia tak akan kembali ke rumah itu. Tapi dia juga khawatir tentangmu. Jadi, kita langsung pergi ke sekolahmu, dan begitu aku melihatmu, ada sesuatu di dalam diriku yang mengatakan bahwa aku harus merawatmu. Kamu adalah anak yang cantik dan cerdas, sama seperti ibumu. Tapi seperti ibumu, aku harus mendapatkan kepercayaanmu," cerita Diogo. "Dan kau berhasil," jawab Lili. "Dan itu benar-benar terbayar lunas, anak kecilku yang berharga," jawab Diogo. Lili mengembalikan kata-katanya dengan senyuman Saat dia mendengarkan kisah Diogo, keraguan mulai merayap ke dalam pikirannya, dan dia mulai berpikir untuk mempertimbangkan mengakhiri rencananya. *** Diogo dengan lembut memegang tangannya dan membawanya melalui kebun yang indah yang diterangi oleh berbagai lampu, dan dihiasi oleh kilauan bintang-bintang. Rasanya seperti dia mengenalinya, dan dia segera menyadari bahwa itu adalah kebun rumahnya. Saat mereka masuk, Diogo menekan Lili ke dinding dan menciumnya dengan penuh gairah. Ciuman itu intens, kuat, dan dia merasakan seluruh tubuhnya menyerah pada dekapannya. Ciuman itu berlanjut turun ke lehernya, menyebabkan dia mengeluarkan desahan lembut, mengucapkan namanya, "Diogo..." "Lili, bangunlah!" Lili mendengar ucapan Diogo. Dan perlahan, gambar itu memudar saat dia bangun. Diogo ada di sampingnya, memperhatikannya dengan tatapan penasaran. "Apa yang kamu mimpikan?" tanyanya pada Lili. Lili tetap diam, mengingat mimpi itu, pipinya memerah karena malu. Jadi, dia berbohong untuk menghindari suasana canggung. "Iya... Aku bermimpi kau sedang menggelitikku. Aku senang kamu membangunkanku. Uh, permisi, aku harus ke toilet." Lili dengan terburu-buru bangun dan bergegas ke kamar mandi, menggelengkan kepalanya. Dia bahkan tidak menyadari bahwa dia sudah tertidur. Setelah masuk ke dalam kamar mandi, dia melihat dirinya di cermin dan mengambil napas panjang "Oh Tuhan, aku menginginkan pria ini," bisiknya pada dirinya sendiri, dengan lembut menyentuh bibirnya, mengingat kenangan hidup dari ciuman yang penuh gairah itu. Setelah beberapa menit, Lili kembali ke kamar. Diogo sedang terbaring di tempat tidurnya, asyik dengan ponselnya. Dia meliriknya dan tertawa. "Apa yang kau tertawakan?" tanya Lili "Bayangkan saja staf harus mengganti seprai yang basah oleh kencing," katanya sambil tertawa, dan Lili berpikir dalam hati, "kalau saja kau tahu." "Kamu bodoh, ini bisa terjadi pada siapa pun, termasuk kamu. Aku bersumpah, ketika kau tua dan pikun, aku akan tertawa setiap kali hal itu terjadi padamu," balasnya, dengan bermain-main berjalan ke arah tempat tidurnya. "Kamu juga akan menjadi tua," jawab Diogo. "Tapi itu akan memakan waktu yang sangat, sangat lama. Tapi untukmu, sudah tiba masanya," godanya. "Aku tidak, dan aku dengan jelas mengingat kamu memberitahuku kemarin bahwa aku masih terlihat sangat muda," katanya, seraya duduk dengan cepat. "Mungkin aku sudah berbohong," jawabnya, sambil melempar senyuman kagum padanya. "Aku pikir kau tidak sedang bermimpi; kau sedang meramalkan," Diogo meraih lengannya dan mulai menggelitiknya. Lili meledak dalam tawa yang tidak terkendali, berusaha menghindari geli-geliannya, tapi Diogo jauh lebih kuat dan lebih cepat. "Berhenti, Diogo," Lili memohon. Tapi dia memegangnya dengan erat di pangkuannya, terus menyiksanya. Air mata berkumpul di sudut matanya karena tertawa begitu banyak. "Diogo, kalau kamu terus melakukannya, aku akan kencing di pangkuanmu," Lili memperingatkan, masih terkekeh. Dia segera berhenti dan menatapnya dengan pandangan bertanya. "Serius?" "Tidak, tapi perutku sakit karena tertawa terlalu banyak," Lili menjawab. Mereka tertawa bersama dan berpelukan hangat Lili menyembunyikan wajahnya di leher Diogo, menikmati aroma yang menenangkan yang dihasilkannya. "Mulai larut, dan aku tidak tahu apakah kamu ingat, tapi kita akan pergi makan malam," komentar Diogo. "Aku benar-benar lupa. Aku bersiap dulu, ya?" "Aku akan mandi duluan, karena begitu kamu masuk ke kamar mandi, kamu butuh berjam-jam untuk keluar," goda Diogo. Lili hanya tertawa mendengar komentarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD