Part 2

1043 Words
Besoknya, Adhiti tidak ingin berdiam diri saja. Menunggu Albian menghubunginya itu tidak akan ada artinya. Dia hanya ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Dan kenapa Albian seolah olah menjauhinya. "Luke, apakah Bian bekerja hari ini?" Tanya Adhiti kepada salah satu teman Albian di bengkel tempat mereka bekerja. "Eh, Adhiti. Tidak... Albian tidak masuk hari ini. Dia sepertinya meminta izin untuk mengurus sidang skripsi dan tugas akhirnya. Apalah itu, saya juga tidak tahu," jawab Luke mengedikan bahu. "Oh," "Dia tidak memberitahumu? Coba menelponnya. Mungkin saja dia sedang sibuk sibuknya. Albian kalau sudah seperti ini. Dia akan fokus kepada pendidikannya. Itu prioritas utamanya." Adhiti sudah tahu akan hal itu. Sejak dia mendekati Albian. Alasan pertama pria tersebut tidak memikirkan apa itu cinta. Disebabkan oleh pendidikan. Dia ingin cepat tamat dan bekerja di tempat yang lebih baik. Adhiti mengerti akan hal tersebut. "Apakah kamu punya nomor ponsel yang baru? Atau hmmmm...nomor ponsel yang lain milik Bian?" Luke mengernyitkan keningnya. Dia menyipitkan mata menatap Adhiti. "Tidak Adhiti! Albian hanya mempunyai satu nomor ponsel. Dan itu masih aktif. Tadi pagi dia sempat menghubungiku." "Oh!" Kata Adhiti pelan. Adhiti menyadari jika Bian memblokir nomor miliknya. Tapi, pria itu tidak pernah mengatakan kesalahan apa yang telah Adhiti kerjakan. Sampai membuat Albian marah dan ingin menghilang dari dirinya. "Baiklah, luke. Maaf mengganggu waktumu. Kalau begitu aku pulang," kata Adhiti pelan. Luke hanya mengangguk kecil. Serta melambaikan tangannya ke arah Adhiti. Sebelum gadis itu menghilang masuk ke mobilnya. *** Tentu saja alasan dari teman kerja Albian tidak memuaskannya. Gadis itu mencoba duduk menunggu Albian di salah satu minimarket. Yang berada tepat di seberang bengkel tempat Albian bekerja. Pandangan gadis itu tidak lepas melihat bengkel tempat Albian bekerja. Bahkan hampir tiga jam menunggu. Hari juga sudah sore. Sudah saatnya bengkel itu tutup. "Dia dimana?" Tanya Adhiti kepada dirinya sendiri. Nampak Luke dan beberapa pekerja lainnya menutup bengkel. Adhiti masih sabar menanti. Keyakinan hatinya mengatakan, jika Albian ada di sana. Nampak beberapa pegawai sudah keluar dari bengkel. Kecuali Luke, tidak beberapa menit kemudian. Seperti yang dia duga. Benar, Albian berada di dalam. "Bian," Segera Adhiti beranjak menuju ke sana. Biasanya, Albian akan memakirkan motornya di depan. Kali ini, dia sengaja memakirkan motor di halaman belakang bengkel. "Bian," panggil Adhiti. Matanya terpaku menatap luke. Luke juga memandang Adhiti dengan wajah bersalah. Bersalah karena telah berbohong tentang keberadaan Albian. "Bian tunggu!" Pekik Adhiti. Albian tetap melangkah dan pura pura tidak mendengar. Adhiti juga kekeuh mengejar pria tersebut sampai di dekat motor Albian. "Bian ada apa?" Tanya Adhiti. Entah kenapa Albian tidak ingin melihat wajahnya. Sebisa mungkin pria tersebut mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Bian, tolong bicaralah! Jika kamu diam dan menjauhiku seperti ini. Maka, aku tidak tahu kesalahan apa yang telah aku lakukan sampai kamu menjauhiku," lanjut Adhiti. Albian nampak gelisah, seolah ada yang dia tahan. "Pulanglah Adhiti, bukankah apa yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan," Kening Adhiti mengernyit tidak mengerti. "Apa yang kamu katakan, Bian? Aku sama sekali tidak mengerti." "Pulanglah!!!" Bentak Albian keras. Adhiti terdiam mendengar suara keras Albian. Dia semakin tidak paham apa yang telah dia perbuat. Sehingga menimbulkan kemarahan Albian. "Bukankah kita baik baik saja ketika kita....." Adhiti tidak mampu melanjutkan kalimatnya. "Bian jangan seperti ini. Tolong katakan kepadaku apa yang telah aku perbuat. Aku bingung.." Albian menghidupkan mesin motornya. Pria itu memang tidak peduli kalau ada Adhiti di dekatnya. Adhiti mencoba menyentuh lengan Albian. Agar pria itu mematikan mesin motornya. "b******k!! Pulanglah!!" Teriak Albian semakin keras. Bahkan dalam keadaan emosi, Pria itu menarik keras kerah baju Adhiti. Sampai Adhiti hampir kehilangan keseimbangannya. Adhiti sangat ketakutan, benar benar takut melihat Albian sekarang. "Jangan menemuiku sampai aku bisa mengumpulkan semua buktinya!!" Ucap Albian keras di depan wajah Adhiti. Dengan keras pula dia mendorong Adhiti menjauh darinya. Adhiti memejamkan mata menahan betapa sakit tubuhnya yang terbentur dengan tanah. "Ada apa ini?" Bisik Adhiti dengan suara bergetar. Suara motor Albian semakin menjauh. Meninggalkan Adhiti yang masih terduduk diam. "Adhiti," panggil Luke mendekati gadis tersebut. Luke merasakan tubuh Adhiti terguncang hebat. Wajahnya sudah dipenuhi oleh air mata. Bibir Adhiti pucat karena takut. "Aku akan menghubungi pak Kardi," ucap Luke khawatir. Pak Kardi supir pribadi Adhiti. Luke mengenal pria tua itu. Karena pak Kardi langganan tetap dari bengkel tempat luke bekerja. *** "Arrggghh," teriak Adhiti keras. Dia terbangun dari tidurnya. Wajah Adhiti sudah dipenuhi oleh keringat. Dia mencoba mengatur nafasnya yang sudah sesak. Mimpi buruk itu datang lagi. Cukup lama Adhiti tidak pernah bermimpi tentah hal tersebut. "Adhiti," panggil Theo di ambang pintu. Theo langsung berlari mendekati Adhiti yang nafasnya memburu. Terdengar suara batuknya yang cukup keras. Segera Mr Theo mengambil air putih yang ada di meja kamar. Menyodorkan kepada Putrinya. Tidak lupa Theo juga menepuk pelan punggung putrinya. Adhiti menghabiskan segelas air putih dalam satu kali tegukan. "Kamu bermimpi buruk lagi?" Adhiti mengangguk pelan sambil mengambil posisi duduk. Disandarkannya punggungnya ke kepala tempat tidur. "Ada apa, Nak?" Tanya Theo pelan. Dia menatap putrinya yang masih berusaha menenangkan nafasnya yang memburu. Adhiti menggeleng lemah." Tidak ada apa apa, daddy," bohong Adhiti. "Apa perlu kita ke rumah sakit?" Tanya Theo khawatir. "Tidak!... tidak perlu. Aku benar benar tidak apa apa. Sebentar lagi, Adhiti akan mencoba untuk tidur. Maafkan Adhiti, daddy. Membangunkan dan membuat daddy khawatir." "Tidak Adhiti, jangan berkata seperti itu." Theo diam sebentar tampak berpikir." Bukankah kulaihmu sudah selesai. Apakah kamu ingin liburan? Selagi menunggu hari wisudamu." Adhiti menggeleng lemah." Banyak yang perlu Adhiti kerjakan di kampus." Theo akhirnya menyerah. Bagaimanapun juga dia tahu puttinya tidak bisa dipaksa. "Daddy tidurlah! Aku juga akan kembali tidur." "Baiklah sayang," Saat Theo berjalan keluar kamarnya. Sebelum menutup pintu kamar Adhiti. Disempatkan melihat sekali lagi kepada Adhiti. Karena sudah kembali tidur. Theo sedikit lega dengan hal itu. "Dia bermimpi lagi setelah sekian lama," kata Mr Theo kepada Revano yang ternyata berdiri di luar kamar Adhiti. "Apakah daddy kurang memperhatikan dia belakangan ini? Rasanya, adikmu sedang mempunyai masalah. Tetapi daddy tidak bisa memaksanya untuk bercerita," lanjut Theo. "Dad, ada yang ingin Vano katakan." Theo menatap kepada Revano. " adakah hubungannya dengan Adhiti?" Revano mengangguk." Iya dad, kalau kita tidak menghentikannya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya." Wajah Revano tampam serius. Theo bisa merasakan hal itu. "Ada apa Revano? Jangan membuat daddy berpikir terlalu jauh." "Hmm...ini ada hubungannya dengan kecelakaan Adhiti enam tahun lalu." "Apakah ada tuntutan?" Tanya Theo panik. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD