Part 1

1308 Words
"Mbak, permisi!" Suara seorang pria di dekat Adhiti membuyarkan lamunannya. "Hm..." rintih Adhiti terkejut. Adhiti menatap ke sekelilingnya yang sudah sepi sekali. Tidak ada tanda tanda orang lain. Selain dia dan pria yang baru saja membuatnya sedikit terkejut. Saat Adhiti melihat kepada pria itu. Dia sedikit kesulitan. Adhiti mencoba menyipitkan kedua matanya. Agar dapat fokus melihat siapa yang mencoba menyapanya. "Iya pak," kata Adhiti akhirnya sadar dan bisa melihat jelas. "Sudah tutup! Hampir saja saya mengunci anda di sini. Untung sebelumnya saya mencoba cek kembali pengunjung," ucap sang satpam terdengar legah. Sekali lagi Adhiti menatap ke sekeliling perpustakaan. Dan benar, tidak ada orang lain lagi. Dia yang sering duduk memojok di antara rak rak buku. Membuat orang orang sekitar tidak menyadari keberadaannya. Adhiti mengambil ponsel di dalam kotak pensil dan melihat ke layar ponsel. Waktu sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam. Berarti perpustakaan sudah tutup dari satu setengah jam yang lalu. "Maaf pak, maaf. Saya tidak menyadari kalau perpustakaannya telah tutup. Maafkan saya," kata Adhiti cepat. Dia langsung berdiri dari duduknya di lantai. Sang satpam mengangguk dan tersenyum ramah. "Sudah mulai gelap,mbak. Maaf tadi saya mengagetkan anda." "Tidak apa apa, bapak. Saya yang seharusnya meminta maaf. Karena saya bapak jadi kesusahan. Seharusnya pintu perpustakaan telah ditutp jadi terganggu. Sekali lagi maaf. Dan terima kasih banyak." Adhiti membungkuk ke arah satpam tersebut. Dia bergegas menuju lantai bawah dan mengambil tasnya di loker. Saat di luar halaman perpustakaan dan mulai gelap. Gadis itu berjalan sedikit tergopoh gopoh keluar dari perpustakaan. Sekali lagi, dia melihat layar ponselnya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab. Saat di dalam perpustakaan. Nada dering ponsel di matikan oleh Adhiti. Dia juga tidak mengganti nada dering menjadi bergetar. Maka dari itu, dia tidak menyadari adanya panggilan masuk. Dengan senyuma mengambang. Adhiti mengecek darimana panggilan tidak terjawab itu berasal. Dia begitu mengharapkan salah satu nama yang sudah dinantikannya. "Daddy," lirih Adhiti sedikit kecewa. Ternyata nama yang dinantikannya tidak kunjung tertera. Hanya ada nama, daddy, abangnya Revano dan sahabat tercintanya Shania. Saat Adhiti melamun kembali, dia dibuat terkejut karena deringan ponsel. Nama Shania tertera di layar. "Iya Shania," jawab Adhiti pada dering ke empat. "Lu kemana aja, Adhiti!" Seru Shania dengan suara kencang dan terdengar panik. "Gua ketiduran di perpustakaan," "Apa!!" Sorak Shania membahana. "Lu ketiduran di perpustakaan kampus! Jangan ngaco deh. Tadi siang kita sama sama keluar dari gerbang kampus. Jangan bohong! Lu kencan sama Albian sampai lupa waktu. Dan lupa menghubungi daddy lu!" Tuduh Shania. Terdengar helaan nafas Shania." Daddy lu beberapa kali menanyakan keberadaan elu. Yang gua sendiri tidak tahu lu dimana? Kalau mr Theo tidak apa apa, gua masih bisa menjawab dengan baik dan tenang. Abang lu nohhh!! Dia neror gua setiap lima menit. Gua sampai nggak bisa bernafas. Bahkan , waktu ke kamar mandi buat panggilan alam. Gua kudu bawa ni ponsel," cerocos Shania tanpa titik dan koma. Adhiti tersenyum mendengar kelucuan sahabatnya itu. "Bukan di perpustakaan kampus. Tapi, di perpustakaan kota. Barusan di bangunkan oleh satpamnya." "Bisa bisa nya elu tertidur di sana! Lu nggak bohongkan?" Tuduh Shania tidak percaya. Adhiti mengambil foto gedung perpustakaan. Lalu mengirimkannya kepada Shania. "Buat apa gua bohong, Shania. Gua setengah harian di sana. Ini baru jalan keluar buat cari taxi untuk pulang." Shania terdiam." Lu sendiri aja? Tidak ada Albian di sana?" "Sendiri, Shan. Albian kerja, mana bisa dia selalu di dekat gua selama dua puluh empat jam. Ngaco lu!" Shania mencoba mempercayai hal itu. "Ya sudah! Hati hati di jalan. Kalau nggak lu telpon Albian deh. Jam segini dia sudah pulang. Minta tolong jemput lu kesana. Kalau lu pulang naik kendaraan umum. Bisa bisa gua di gorok abang lu." Sekali lagi, Adhiti tertawa. Ucapan Shania yang jujur mampu membuat Adhiti tertawa. "Baiklah," hanya itu yang diucapkan Adhiti. *** Adhiti sama sekali tidak menghubungi Albian. Karena sejak dua hari yang lalu. Dia mencoba menghubungi pria yang dia cintai tersebut. Awalnya pria itu hanya mereject panggilan Adhiti. Setelahnya, dia sama sekali tidak bisa dihubungi. Adhiti juga tidak tahu mengapa. Akhirnya, gadis tersebut kembali ke rumah menggunakan transportasi online. "Darimana, nak?" Tanya daddy Adhiti yang bernama Mr Theo. Theo begitu khawatir dengan putri semata wayangnya. Adhiti jarang sekali tidak menjawab panggilan. Tadi hampir beberapa kali mecoba dan tidak kunjung mendapat jawaban dari putri tersayangnya. Membuat pikiran Theo semakin kalut. "Adhiti ketiduran di perpustakaan kota, dad. Aku minta maaf karena membuat daddy dan abang khawatir." Selain Theo, Revano juga ada di dekat mereka. Wajahnya juga sama khawatir dengan wajah daddy mereka. "Ya sudah! Yang penting kamu sudah pulang, nak. Kamu sudah makan?" Adhiti mengangguk, dia hanya ingin langsung ke kamarnya. Dia butuh istirahat. Selain tubuhnya yang lelah, pikiran Adhiti juga sama lelahnya. "Adhiti ingin mandi dan tidur," ucap Adhiti pelan. Mr Theo dan Raveno hanya menatap tenang ke arah Adhiti. Gadis itu berjalan menunduk ke arah kamarnya. "Ada apa, dek?" Tanya Revano khawatir. "Hmm..." geleng Adhiti cepat. "Hanya capek saja, bang." lanjutnya. Revano mengangguk paham." Baiklah, istirahlah, dek." *** Waktu sudah menunjukan pukul setengah dua malam. Mata Adhiti masih belum mau terpejam. Dia turun ke bawah menuju dapur. Sejak tadi siang, dia belum satupun memasukan makanan ke dalam perutnya. Hanya sarapan dengan dua lembar roti dan segelas s**u. Setelah itu, Adhiti tidak makan apapun. "Aku tidak bisa memasak," lirih Adhiti sambil menatap bahan makanan di dalam kulkas. Adhiti berpindah ke kulkas lain. Di kulkas kedua, banyak makanan yang siap dihangatkan atau di goreng. Adhiti hanya mengambil nugget, lalu menggorengnya beberapa. Hanya itu yang bisa dia kerjakan. Semua pekerjaan rumah sudah ada yang mengerjakannya yaitu bi Titin. Dia tidak mungkin membangunkan asisten rumah tangganya. Ini bukan waktu mereka bekerja. "Nak," panggil Theo mengejutkan Adhiti. Sejak turun ke dapur. Dia memperhatikan Adhiti menatap kosong ke arah kompor. Tidak ada pergerakan apapun yang di lakukannya. Karena sudah tercium aroma makanan gosong. Barulah Theo sedikit mengejutkan putrinya. "Daddy!" Pekik Adhiti mengelus dadanya. "Apa yang kamu pikirkan? Makananmu sudah gosong," lanjut Mr Theo. Segera Adhiti mematikan kompor dan memindahkan nugget yang sudah menghitam. Gadis itu merenggut pelan. Betapa bodohnya ia seharian ini. Dia sudah beberapa kali membuat kesalahan. "Maafkan Adhiti, dad." "Kamu lapar?" "Hmm..." Adhiti mengangguk. "Biar daddy yang masak. Kamu tunggu saja di meja makan." Adhiti tidak membantah. Perutnya benar benar keroncongan. Serta tidak ada waktu untuk membantah. Dia menunggu dengan tenang tanpa bersuara. Sampai Theo sudah menghidangkan makanan dan minuman di hadapan Adhiti. "Thank you, daddy." Theo menatap putrinya yang sangat dia yakini. Tidak dalam keadaan baik baik saja. Wajahnya sudah tersirat dengan jelas. "Ada apa, nak?" Tanya Theo sambil mengambil duduk di sebelah Adhiti. Adhiti menggeleng pelan. Dia melanjutkan makanannya, walau dia tidak menikmatinya. Theo membiarkan Adhiti makan. Dia tidak ingin bertanya apapun dulu. Sampai akhirnya, gadis itu bersuara. "Daddy," panggil Adhiti menatap Theo. "Ya," jawab Theo dengan lembut. "Aku merindukan mommy," Suara Theo tercekat. Seketika matanya menusuk ke dalam mata Adhiti. Jarang sekali Adhitu membahas tentang mommy nya. Kalau sudah seperti ini. Dia sangat yakin, Adhiti benar ada masalah yang mengganjal di hati. "Besok kita ke makam mommy mu," jawab Theo tidak kalah pelannya. Air mata menumpuk di pelupuk Adhiti. Bahkan saat makan, terdengar rintihan tertahan suara putrinya. Bahkan, suapan makanan tidak mampu menghentikan sesegukan tangis gadis itu. "Apakah daddy begitu mencintai mommy? Apakah daddy yang mengejar mommy dahulu? Apakah daddy yang mengatakan cinta kepada mommy terlebih dahulu?" Tanya Adhiti begitu banyak. Theo tersenyum lembut." Daddy begitu mencintai mommy mu. Dan...ya... daddy lah yang mengejar mommy mu." Air mata Adhiti jatuh ke pipi. Mungkin sekarang, ia mencoba memaksakan senyuman di pipi. "Adhiti," sahut Theo mengusap pipi putrinya. "Apakah kamu mencintai seseorang?" Tanya Theo. Adhiti diam membisu. Sesegukannya semakin keras. Segera, Theo menarik Adhiti ke dalam pelukannya. Saat itu juga, kesabaran yang telah di pupuk Adhiti. Runtuh, di dalam pelukannya daddy nya. Dia menangis menumpahkan apa yang sedang digundahkan oleh hatinya. "Pria yang aku cintai. Tidak pernah sekalipun mengatakan dia mencintaiku. Padahal kami sudah lebih enam bulan bersama,"sahut Adhiti di dalam hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD