Prolog

518 Words
"Mommy! Apakah aku dilahirkan ke dunia ini hanya untuk menyakiti orang orang yang aku sayang?" Matahari memancarkan warna merah kegelapan saat senja kala itu. Gadis bergaun putih, masih duduk di tepian kuburan di sampingnya. "Sejak kecil sampai aku sudah mengerti dengan apapun. Aku selalu menghibur diriku sendiri. Kala semua orang mengatakan akulah yang merenggut nyawamu. Akulah alasan terbesar dari kematianmu. Akulah penyebab redupnya mata kebahagian dari daddy." Tidak beberapa meter dari tempat gadis tersebut berada. Seorang pria dengan sabar dan tenang menunggunya. "Di saat dewasa pun, wanita pembawa sial masih melekat pada diriku. Karena, aku jugalah penyebab kesedihan dari pria yang aku cintai. Bersamanya, aku telah menyusun rencana masa depan dengan penuh kebahagian. Sampai aku baru menyadari. Ternyata cintanya kepadaku hanyalah untuk menyakitiku pada akhirnya." Gadis itu menghapus air mata yang jatuh ke pipinya. "Mommy, tahukah kamu betapa aku merindukanmu. Bolehkah aku setiap hari datang ke rumah mu ini? Aku kesepian, mommy. Orang yang aku cintai membenci dan meninggalkanku. Sahabat yang aku sayangi juga marah kepadaku. Aku tidak tahu harus melakukan apa di rumah seorang diri. Tanganku tidak bisa berfungsi lagi untuk melukis. Mataku juga tidak bisa melihat betapa indahnya dunia ini," Gadis itu kembali menangis sesegukkan. Semua bayangan kejadiannya menimpanya hadir kembali. "Mommy, sampaikan kepada Tuhan. Jangan penglihatanku saja yang Dia ambil. Minta kepadaNya agar aku bisa bertemu denganmu. Aku kesepian, mommy." Pria yang tadinya hanya menatap tenang ke arah Adhiti. Melangkah pelan mendekati Adhiti. "Non Adhiti, hari sudah mulai gelap. Kita harus pulang," kata Pak Kardi sang sopir. Yang selalu mengantarkan Adhiti ke makam ibunya. Dengan sabar, pak Kardi memegangi tangan Adhiti. Menjadi sandaran untuk gadis tersebut agar tidak salah langkah. "Adhiti minta maaf ya, pak. Adhiti delalu merepotkan pak kardi." Pak Kardi tersenyum sedih. Hatinya pilu, tidak menyangka. Dia yang selalu bersama Adhiti sejak gadis itu lahir. Menjadi saksi hidup suka duka perjalanan anak dari majikannya. *** "Dia meninggalakanmu?" Tanya Shania. Sahabat terbaik Adhiti. Adhiti mengangguk pelan dan sedih. "Dia sengaja melakukan hal itu, bukan?" Tanya Shania lagi. "Aku tidak tahu," jawab Adhiti berbisik. "Adhiti sadarlah!!" Bentak Shania. " Dia tidak mencintaimu!. Albian tidak pernah mencintaimu! Dia hanya berpura pura." Adhiti tidak bersuara untuk membantah satu kata dari mulut Shania. "Adhiti," bisik Shania mendekati Adhiti. "Kamu sudah pernah tidur dengan Albian?" Tanya Shania merendahkan suaranya. Agar Adhiti tidak tersinggung. Bukan jawaban yang Shania dapatkan. Dengan lembut Adhiti menghapus air mata yang jatuh ke pipinya. Senyum terpaksa dikeluarkan Adhiti. "Shania coba katakan kepadaku. Apakah langit sudah mulai gelap? Jam berapa sekarang? Bantu aku kembali ke rumah," pinta Adhiti memegangi tongkatnya. Shania masih diam di tempat duduknya. Dia tahu, sahabatnya ini sedang mengalihkan pembicaraan. Karena belum mendapatkan respon dari Shania. Adhiti berkata. "Tidak apa apa, Shania. Dia pantas pergi meninggalkanku. Ini adalah dosa yang harus aku tanggung. Lagipula, lelaki mana yang ingin bersama dengan wanita buta." Jantung Shania terasa dihantam oleh batu. Shania menatap sahabatnya itu. Adhiti yang menurut Shania begitu banyak berubah. Bukan karena kecelakaan yang baru saja dialaminya. Shania menyadari perubahan diri Adhiti terjadi setelah kecelakaan tragis beberapa tahun sebelumnya. Kecelakaan yang merenggut dua nyawa. Kecelakaan itu pula yang hampir membuat Adhiti berhenti bernafas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD