Bab 2

2043 Words
Istirahat empat jam sudah sangat cukup bagi Bila. Pagi ini tidak ada pekerjaan yang menuntutnya. Dia bisa meluangkan waktunya untuk berkunjung ke TK dimana teman baiknya mengajar. Rena, teman baiknya sejak dia tinggal di rumah neneknya. Gadis manis itu mengajar di TK komplek rumah mereka begitu lulus. Gadis itu memang sangat menyukai anak kecil. Dia tidak peduli dengan gelar sarjana ekonomi yang diperolehnya. Dia hanya ingin menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak. Bahkan tawaran ayahnya untuk bekerja di perusahaannya ditolak sama sekali. Bila segera bersiap, dia sudah meniatkan hari ini untuk mengunjungi Rena. Dan rencananya, dia akan langsung ke cafe setelah dari sana. "Hai Ren," sapa Bila melihat Rena yang menggandeng seorang anak perempuan yang sangat imut. Dengan rambut yang dikepang dua membuat gadis kecil itu semakin manis. Dia adalah keponakan Rena yang sekolah di tempat itu. "Eh, Bila. Tumben kesini. Nggak kerja?" tanya Rena dan mendekati Bila yang menunggu di depan gerbang. "Lo ngeledek gue?" seloroh Bila membuat keduanya tersenyum lalu melangkah memasuki area gedung sekolah. "Nanti siang gue masuknya. Emang selalu siang sih ke cafe," lanjutnya lagi. "So, pagi ini berniat bantuin gue ngurusin anak-anak? Lo kan jago juga jagain bayi," balas Rena. Bila tersenyum mendengar celotehan sahabatnya. Memang niatnya pagi ini ingin menghibur diri dengan bermain bersama anak kecil yang lucu-lucu. Menemani mereka melakukan kegiatan yang pastinya akan menarik, lebih menarik dibanding harus berdiri seharian di balik meja kasir yang akan membuat kedua kakinya pegal. Atau berjalan kesana kemari memenuhi keinginan pelanggan. "Ren, menurut lo gue sanggup nggak kerja di Benedict's Group?" tanya Bila tiba-tiba saat jam istirahat tiba. Rena menatap sahabatnya itu dengan tidak percaya. Apa yang membuatnya menjadi seperti itu? Bukannya Bila yang dia kenal itu penuh percaya diri? "Lo beneran Bila sahabat gue kan?" tanya Rena membuat Bila mengerutkan keningnya. "Percaya diri lo yang selama ini mana? Kok lo jadi ciut gitu sih? Apa karena perusahaannya besar? Lo sanggup kali, Bil." Bila tersenyum ragu. Iya sih, kemana percaya dirinya yang selama ini? "Tapi, tunggu. Kenapa tiba-tiba lo jadi pengen kerja di sana? Ada sesuatu yang gue nggak tau?" desak Rena. "Kemarin-kemarin perasaan lo nggak masukin lamaran di sana. Nggak mungkin tiba-tiba saja mereka manggil lo. Ada apa?" Bila menggeleng pelan. "Nggak sih. Tiba-tiba aja kepikiran. Tapi kalau gue kerja di sana, gue nggak akan sebebas ini ngunjungin lo ke sini. Pastinya gue bakal sepanjang hari terkurung di dalam gedung tinggi itu." "Eh, gue nggak ngerti deh maksud lo. Bukannya semua perusahaan akan seperti itu? Dan lo bisa seperti sekarang ini karena lo kerjanya di cafe dan klub yang masuknya malam. Tapi gue saranin, mendingan lo berhenti aja kerja di klub. Gue nggak tega liat lo kerja sampai subuh. Lo juga harus jaga kesehatan kali, Bil." Keduanya saling terdiam. "Dari perusahaan bokap gue belum ada panggilan juga?" tanya Rena kemudian. Bila menggeleng pelan. Memang sih, dia tidak sepintar itu untuk mendapatkan panggilan yang cepat. Dia hanya gadis biasa saja. Tidak pintar, tapi juga tidak bodoh. Kelebihannya hanya selalu ceria dan senyumnya manis. Tapi apa gunanya senyum manis untuk melamar pekerjaan. Memangnya kerja apaan? Rena menarik nafas dalam. "Eh, nggak usah sampai ngomong ke bokap lo. Gue bisa sendiri kok. Paling juga nggak lama lagi bakall dipanggil," kata Bila menghibur diri. Seorang anak laki-laki datang menghampiri keduanya yang duduk di bangku taman. "Kakak cantik, kakak mau nggak jadi kakak ipar aku? Kakak aku ganteng loh," celutuknya yang membuat Bila dan Rena saling pandang. Pertanyaan itu ditujukan pada Bila, gadis yang sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini dan anak laki-laki itu selalu melihatnya. Bukan sekedar melihat, tetapi juga menilainya sebisa yang dia lihat. Bocah itu terlalu cepat dewasa untuk memikirkan hal seperti itu. Bila mensejajarkan wajahnya dengan anak itu. "Mana coba, biar kakak lihat kakak kamu yang ganteng itu seperti apa," tantang Bila. Anak kecil itu berlari memasuki kelasnya, meninggalkan Bila dan Rena dalam kebingungan. Tak lama, anak itu kembali lagi dengan sebuah gadget mahal di tangannya. Astaga, anak sekecil dia saja sudah punya gadget keluaran terbaru seperti itu. Jari mungil itu bergerak-gerak menyentuh layar ponsel pintar miliknya, sedang mencari sesuatu di dalamnya. Bibir mungilnya juga ikut bergerak seakan sedang menggumam tapi tidak mengeluarkan suara. "Ini," katanya menunjukkan layar ponselnya pada Bila. Bila menatapnya ragu setelah memberikan tatapan tak percaya pada Rena. Mata Bila mengamati gambar yang terlihat di layar berukuran lima inchi itu. Disana terlihat seorang pria dewasa dengan pose cool-nya. Mata coklatnya menatap dengan tajam. Benar kata anak kecil itu, kalau kakaknya memang tampan. Benarkah itu kakaknya? Iya, mereka sedikit mirip. Mata bulat Ridhaan, anak laki-laki yang kini di hadapan Bila menatapnya dalam. Penuh harap kalau Bila akan menyetujui permintaannya. Entah apa yang ada dalam pikiran anak kecil itu. "Kamu Ridhaan, bukan?" tanya Bila setelah melihat foto itu. Ridhaan mengangguk cepat dengan senyuman yang terukir di bibirnya. "Sini duduk di sebelah kakak," ajak Bila dan membantunya duduk di antara dirinya dan Rena. Anak itu hanya menurut saja. "Kakak mau nggak?" tuntutnya lagi dengan tidak sabar. "Kakak aku baik loh, dia juga pintar, banyak duitnya," tambahnya. Hal itu membuat Bila dan Rena tak sanggup menahan senyumannya. Darimana anak berusia lima tahun itu mengambil kesimpulan kalau wanita akan menyukai hal-hal seperti itu. "Siapa nama kakak kamu?" tanya Bila penasaran. "Rehaan," balas Rhidaan cepat. Mata bulat-coklatnya menatap penuh harap pada Bila, kemudian beralih sebentar pada Rena, ibu guru cantiknya. Rena hanya memberikannya senyuman tipis. Seakan sedang menyetujui apa yang sedang dilakukannya. "Ceritakan sama kakak tentang kakak ganteng kamu itu," pinta Bila membuat Ridhaan semangat menceritakan segala sesuatu tentang kakaknya. Kakaknya yang usianya sangat jauh di atas Ridhaan itu adalah seorang arsitek di bawah naungan perusahaan besar yang Ridhaan lupa namanya. Pekerjaannya membuat Rehaan menghabiskan waktu di dalam ruangan membuat gambar-gambar, desain bangunan. Menurut Ridhaan, kakaknya itu tidak pernah berkencan dengan wanita, dia seorang pria yang berkelakuan lurus. Karena sifatnya yang sedikit pendiam membuat Ridhaan ingin membantu kakaknya dalam hal yang satu ini. Pertemuannya beberapa kali dengan Bila membuat anak kecil itu memutuskan kalau Bila cocok untuk kakaknya yang berusia dua puluh empat tahun itu. Menurutnya Bila seorang gadis yang baik dan ramah. Ia menyukai Bila. Awalnya ia ingin ibu guru cantik, Rena yang dia jodohkan. Tapi begitu melihat Bila, keputusannya berubah. Cerita itu membuat Bila dan Rena tertawa. Anak kecil itu sungguh mampu membuat suasana lebih ringan. "Nanti Ridhaan akan ajak kak Rehaan aja deh kesini, biar kakak cantik lihat sendiri," kata Ridhaan setelah mengakhiri ceritanya. Bila mengelus kepala Ridhaan. "Kakak kan nggak setiap hari kesini. Kakak hanya berkunjung saja ke sini, bukan mengajar seperi ibu guru Rena. Bagaimana bisa Ridhaan tau kalau kakak kesini?" tanya Bila. Sebuah ide muncul di kepala kecil Ridhaan. "Ah, Ri minta nomor kakak, nanti Ri kasih tau kakak kalau kak Rehaan ikut kesini, jadi kakak cantik bisa datang." Bila menggeleng pelan tak percaya dengan anak cerdik di sebelahnya. Tapi dia tetap memberikan permintaan anak kecil itu. "Eh, kakak udah mau kerja nih, kakak pergi dulu yah. Lagian kalian kan udah mau belajar lagi," kata Bila. Rena mengangguk pelan, demikian juga dengan Ridhaan. "Nanti aku telepon ya kakak cantik," katanya senang. Bila hanya tersenyum. Ada-ada saja kelakuan anak kecil jaman sekarang, batinnya. "Gue pergi dulu ya, Ren. Kapan-kapan berkunjung lagi ke sini." Bila melangkah meninggalkan sekolah TK itu, menunggu angkutan yang akan membawanya ke cafe tempatnya bekerja. Ia harus tiba disana sebelum jam sebelas. Mimi Cafe & Ice Cream, tempatnya bekerja sudah berisi cukup banyak pelanggan. Mulai jam segini cafe bergaya barat itu memang biasanya akan penuh. Bila sudah siap dengan seragamnya dan kini berdiri di balik meja kasir. Bayangan tentang Ridhaan tadi membuatnya mengulum senyum, tapi tak lantas membuatnya lupa akan banyaknya pelanggan yang harus dia hadapi. "Ayolah, kak. Kakak harus coba ice cream di sini. Kapan sih kakak bisa nyenengin adek sendiri. Kakak bisanya nyenengin pacar-pacar kakak saja." Suara rengekan itu mampu menarik perhatian Bila. Dilihatnya ke arah sumber suara. Sepertinya dia pernah melihat pria yang lengannya kini ditarik seorang gadis cantik. Mendengar kata-katanya tadi, sepertinya itu adiknya walau wajah mereka tidak mirip. Bila yang kebetulan melayani keduanya kini sedang menunggu beberapa pesanan yang sedang disiapkan. Bila mengingat-ingat kembali kapan dia bertemu dengan pria itu. Ah, iya. Dia kan Jacqueline, pengusaha muda yang terkenal itu. Diketahui dia memang mempunyai seorang adik perempuan yang sangat cantik dan manja. Ternyata itu orangnya. Memang sangat cantik. Saat bila mangantarkan pesanan mereka, pria itu menatap Bila tak percaya. Dia ingat betul dengan wajah itu. Bagaimana dia bisa lupa. Wajah polos itu yang pertama kali membuatnya menjadi gugup tak menentu. Jantungnya berdebar melihat mata coklat gelap itu. Bentuk wajahnya sangat proporsional. Rambut hitam yang dia yakini cukup panjang itu digelungnya, hingga memamerkan leher putihnya yang jenjang. Astaga, Jac menginginkan gadis itu menjadi miliknya. Menurutnya jauh lebih indah dari semua gadis yang selama ini menemaninya. Gadis yang duduk di hadapan Jac memperhatikan gerak-gerik kakaknya. Sebuah senyum mengembang di bibir tipisnya. Gadis bernama Jaz itu juga memperhatikan Bila yang sudah berjalan menjauh membawa nampan kosong. "Cantik ya kak," celutuk Jaz menyadarkan kakaknya. Jac memandang adiknya penuh ancaman, membuat Jaz terkikik geli. "Udah ah, makan aja nih. Ini adalah ice cream paling enak. Coba aja kalau nggak percaya. Kakak sih taunya klub paling banyak berisi cewek seksi doang," cibir Jaz. Tapi sebuah ide muncul di kepalanya untuk mempertemukan kakaknya dengan pelayan cantik tadi. Jac memang menyantap hidangan di hadapannya. Tapi pikirannya tidak pada makanan lezat itu. Dia memikirkan kenapa gadis itu sama sekali tidak berniat menerima tawarannya kemarin. Kenapa gadis itu tidak muncul di kantornya, malah muncul di cafe ini dan menjadi pelayan lagi. Sebenarnya ada berapa banyak tempat yang dia jadikan tempat bekerjanya? Berapa kali dalam sehari dia menjadi pelayan seperti itu? Memikirkan hal itu membuat Jac meringis. "Kakak suka sama cewek tadi?" tanya Jaz. Jac menatap tak percaya pada adiknya. Jaz malah hanya tersenyum. Jac menggelengkan kepala membuang semua perkiraannya tentang adiknya yang cerewet. Terlalu banyak kata-kata yang menurutnya tidak bisa dipercaya. Gadis yang sepenuhnya dia sayangi itu. Selalu saja berbuat seperti itu, bahkan tak segan berbuat aneh yang melibatkannya. "Please deh kakak, kali ini aku yakin gombalan kakak yang biasa kakak gunakan buat cewek-cewek di klub tidak akan mempan buat yang satu ini. Tapi ngomong-ngomong, kakak udah kenal dia? Tadi kayaknya pandangan kakak beda sama dia." Celotehan Jaz masih saja berlanjut. "Kakak pernah melihatnya di Moon Club," jawab Jac singkat. Mata Jaz melotot tak percaya. "What? Di klub? Kakak yakin tidak salah orang?" tanyanya. Jac menggeleng. "Nggak. Kakak malah sempat mengobrol sebentar dengannya." Jaz mencoba memikirkan hal itu. Gotcha! "Oh, aku tau. Dia jadi pelayan juga disana?" tebak Jaz yang tepat sasaran. Jac mengangguk. Kadang otak adiknya memang berjalan dengan baik. "Jangan merendahkan orang lain seperti itu. Sekalipun sifat kakak seperti ini, kakak tidak pernah menganggapnya rendah." Jaz menganga melihat kakaknya. Ini benar-benar kakaknya, bukan orang lain. Tapi sejak kapan kakaknya yang gila wanita itu menjadi bijak seperti ini. "Hai Jac," sapa seorang wanita yang membuat keduanya mengalihkan pandangan pada sumber suara. Hal ini sudah bisa diduga. Setiap kali Jac keluar pasti akan ada wanita yang mendekatinya. Oh, bukan hanya mendekatinya. Tetapi wanita yang sudah pernah dekat dengannya akan bertemu lagi, karena wanita-wanita itu seperti sudah tersebar di seluruh kota. Jaz berdiri menantangi gadis seksi di sebelahnya. "Sorry ya, mbak. Gue lagi quality time sama kakak gue. Kalau mbak mau kencan, nanti saja. Dan tolong, bajunya ditambal dulu deh." Kata-kata pedas Jaz berhasil membuat wanita itu mengerut kesal. u*****n-u*****n keluar dari bibir tebalnya yang dipoles lipstik merah darah. Jaz sendiri juga jadi kesal karenanya. Hilang sudah mood-nya untuk membuat pelayan cantik tadi dekat dengan kakaknya. "Kok kamu jadi galak sih?" seloroh Jac. "Siapa yang nggak kesal coba. Setiap kali kita keluar kayak gini, selalu saja ada cewek yang nyamperin kakak. Udah gitu tipenya sama semua lagi. Nggak ada yang bener. Bikin bad mood aja." Jaz menyeruput jus mangganya. "Kakak belum macam-macam kan sama cewek-cewek yang kayak begitu?" tanya Jaz menyelidik kakaknya. Yang dia tau, kalaupun kakaknya itu playboy akut yang bisa setiap hari berganti gandengan, tapi kakaknya tidak melakukan hal yang terlalu jauh. Jaz yakin hal itu. "Kakak masih waras kali, Jaz. Sekedar ngerasain bibir bisa lah," candanya yang membuat Jaz mencibir. "Masa iya sampai umur segini nggak bisa ngerasain bibir cewek sih?" sambungnya ketika melihat reaksi Jaz. Jaz menghela nafasnya. Tapi apa yang didengarnya lebih baik dari bayangan orang lain. Dan dia juga percaya itu. Sebaiknya Jaz mengundur rencananya. Lain kali dia akan mengajak Jac lagi ke tempat ini, atau ikut ke Moon Club bersama Jac. Oh, itu ide yang bagus. Dia bisa bertemu cowok mapan di sana seperti Jac. Mungkin yang sedikit lebih baik dari kakaknya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD