Bab 3

1319 Words
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Bila bekerja di klub malam harinya. Tapi bedanya, malam ini Bila sedikit tidak bisa fokus. Lagi-lagi pria tampan itu datang ke klub tempatnya bekerja. Bahkan sejak Bila masih baru masuk ke klub itu, pria bernama Jac itu sudah duduk dengan santainya di meja yang berada di pojok. Kali ini dia hanya sendirian, tanpa teman dan tanpa wanita yang mendampinginya. Hanya seorang diri. Tumben sekali dia bisa bebas seperti itu, berkeliaran tanpa ada wanita yang menguntitnya. Dan apa yang dilakukannya sendirian pada jam ini di klub? Hei, jangan berpikir terlalu jauh, Bila! Bisa saja dia masih menunggu teman-temannya. Berkali-kali Bila mencoba membuang pikiran anehnya tentang Jac, tapi tetap saja tidak bisa. Pesona pria tampan itu memang tidak bisa ditolak. Sangat menarik. Bila merasa dirinya sama saja seperti kebanyakan wanita yang mendekati Jac saat ini. "Bil, lo baik-baik aja kan?" Pertanyaan Mona membawa kembali Bila ke alam nyata. Pikirannya kembali pada tubuhnya. Bila mengangguk. "Iya, gue baik-baik aja. Selalu, Mon." "Senyum dong, Bil. Dari tadi kayaknya lo murung mulu." Bila akhirnya memamerkan senyumnya. Melupakan semua pikirannya. Membuang Jac dari pikirannya lebih jelasnya. Tapi masalahnya Jac ada di tempat yang selalu masuk dalam jangkauan matanya. Malam ini rasanya sangat lama. Dan entah kenapa, Bila merasa dirinya sangat lelah. Sangat, sangat lelah. Bila melangkahkan kakinya, menuju halte dimana dia bisa mendapatkan taksi untuk pulang. Tidak jauh sebenarnya, biasanya bahkan dia akan berjalan pulang melalui jalan pintas. Tapi kali ini rasanya sangat lelah hingga harus menunggu taksi. Dengan langkah gontai, bahkan wajahnya tertunduk, tak melihat jalan di depannya. Bila duduk di kursi halte. Jalanan malam ini masih cukup ramai. Banyak kendaraan yang melintas dan beberapa orang juga masih dalam langkahnya. Kota ini masih terbangun pada jam ini. Sebuah mobil sedan berhenti di depan Bila. Bukan, itu bukan taksi yang sedang ditunggunya. Dan jangan bilang di dalam sana seseorang yang akan berniat jahat padanya. Membayangkannya membuat Bila bergidik ngeri. Matanya langsung terbuka penuh, menyelidik siapa yang ada di balik kaca hitam itu. Seorang pria keluar dari kursi kemudi. Tanpa dibuat-buat, gayanya sangat cool menurut Bila. Dan dari siluet itu, Bila bisa menebak siapa yang kini di depannya. Dia Jac. "Nunggu siapa?" tanya Jac berbasa-basi. "Oh, lagi nunggu taksi," jawab Bila sedikit kikuk. Jac memperhatikan ke arah jalanan. Memang masih ramai, tapi tak terlihat ada taksi. "Bagaimana kalau aku yang mengantarkan? Sepertinya tidak ada taksi. Aku hanya tidak ingin ada gadis secantik kamu harus terlantar di sini pada jam ini," tawar Jac. Bila lagi-lagi memperhatikan sekeliling. Benar kata Jac, sepertinya tidak ada taksi. Bila mengangguk lemah. Pria itu sepertinya tulus membantunya. Tidak ada niat lain terselubung. "Kenapa kamu baik sama aku?" tanya Bila. "Karena aku punya adik perempuan. Aku pikir kamu sudah melihatnya. Dan aku hanya ingin memperlakukan wanita dengan baik agar adikku juga diperlakukan baik oleh orang lain." Jawaban yang jauh dari dugaan Bila. Katakan saja Bila terlalu berharap sebelumnya. Memang kenyataannya seperti itu. Dia hampir saja mengharapkan pria itu mengatakan hal lain. Tapi jawaban itu sedikit aneh. Bukankah Jac senang bermain-main dengan wanita? "Nah, yang itu." Bila menunjuk sebuah rumah bercat putih dimana dia selama ini tinggal. Tidak terlalu besar. Rumah yang biasa saja. Jac menepikan mobil tepat di depan rumah itu. Bila menatap Jac. "Makasih," katanya tulus yang dibalas senyuman oleh Jac. "Call me Jac." "Oh, makasih Jac. Sorry udah ngerepotin." "Never mind. Lain kali bisa mengobrol kan?" Bila mengangguk dan seulas senyum ada di bibirnya. "Bye." Tubuh lelah Bila sangat butuh istirahat setelah aktivitasnya yang cukup melelahkan. Tapi yang ada malah dirinya semakin tidak bisa memejamkan mata. Bayangan Jac memenuhi pikirannya. Senyum pria itu yang sangat menggoda membuatnya tak bisa berpikiran jernih. Jantungnya bahkan tidak normal hanya dengan membayangkan senyuman itu. Oh, dia seperti orang gila sekarang. *** Deringan ponselnya membangunkan Bila dari tidurnya. Akhirnya dia bisa tertidur setelah adzan subuh berkumandang. Ternyata baru dua jam dia tidur. Rasanya masih ingin tidur lagi. Tapi deringan itu tak juga berhenti. Memaksa Bila membuka matanya. "Hallo." "Hallo kakak cantik. Kakak tidak ke sekolah Ridhaan hari ini?" "Maafin kakak, Ri. Kakak lagi capek, baru pulang kerja dan belum cukup istirahat. Besok saja ya kalau kakak sempat. Maafin kakak Ri." "Oh nggak apa-apa kak. Berarti besok Ridhaan ajak kak Rehaan juga ya?" "Terserah kamu, sayang. Sudah ya, kakak mau istirahat lagi." "Oke kakak cantik. Bye." Uh, Bila teringat bocah lucu itu. Bocah yang katanya ingin mengenalkannya dengan kakaknya. Bila mengakui pria dalam gambar itu juga tampan. Seperti apa yang dikatakan Ridhaan. Bila kembali melanjutkan istirahatnya. Dia takkan sanggup menjalani hari yang melelahkan tanpa istirahat yang cukup. Setidaknya dua jam lagi. *** "Gimana laporan kemarin Gab?" tanya Jac pada Gaby, sekretarisnya tanpa menghentikan langkah kakinya. Gaby tau betul kebiasaan CEO itu. Dua tahun bekerja untuknya adalah waktu yang cukup lama untuk memperlajari segala kebiasaan sang CEO. Dengan sigap Gaby mengambil map yang berisi laporan yang diinginkan oleh bosnya dan berjalan cepat memasuki ruangan besar itu. High heels-nya yang cukup tinggi tak menyusahkannya. Laporan itu dibaca sekilas oleh Jac. Cukup bagus. Tidak ada komentar dari Jac kali ini. Hal ini membuat kesedihan sendiri bagi Gaby karena tak bisa berlama-lama berada di ruangan itu. Tak bisa menerima balasan cinta dari Jac, setidaknya bisa menikmati wajah tampannya yang akan semakin tampan saat serius. Tak ada yang tau kalau Gaby telah menerima penolakan dari Jac. Gadis itu sangat profesional untuk menyembunyikan perasaannya saat berada di lingkungan kantor. Tak ada seorangpun yang tau hal itu di kantor ini kecuali mereka berdua. Ketukan di pintu menghentikan aktivitas Jac pada monitor di hadapannya. Tatapannya kini tertuju pada gadis yang muncul dari balik pintu. Siapa lagi kalau bukan adiknya yang cerewet itu. Dan apa yang direncanakannya lagi pagi ini. "Nggak usah pasang muka jutek gitu kali kak. Aku nggak ngerencanain apa-apa yang buruk. Dan aku yakin semua untuk kebaikan kakak juga." Jaz mengambil posisi di sofa ruangan kerja kakaknya. "Oh ya, gimana kalau aku kerja di sini aja kak? Kalau di luar itu nggak bisa sesuka hati kak, harus nurut sama aturan. Kalau sama kakak kan bisa kompromi," bujuk Jaz. Selama dua tahun ini Jaz memang bekerja di perusahaan lain. Bukan apa-apa. Dulu malah dia yang meminta bekerja di luar dengan alasan ingin lepas dari bayang-bayang keluarga. Tapi sepertinya dua tahun cukup membuatnya bosan. Bukan karena lelah, tapi tidak suka dengan aturan yang mengikatnya. Selama dua tahun ini bertahan hanya karena kontrak yang sudah ditandatanganinya. Dan telah berakhir minggu lalu. Tidak ingin memperpanjangnya lagi. "Yang ada malah kamu bikin kacau kalau begitu. Bukannya malah baik buat kakak juga perusahaan. Kamu tau kan, kakak tidak akan rela perusahaan yang sudah kakak bangun kembali ini terulang mengalami masa pahit?" "Aku jadi asisten kakak aja kalau begitu. Kan bisa bantuin kakak," desak Jaz. "Tapi jangan disiksa juga, atau aku bakal laporin ke bunda kalau kakak tidak baik sama aku. Kakak nggak mau kan?" Jaz malah mengancam kakaknya itu yang membuat Jac tertawa ringan. "Ya udah. Apa yang bisa kamu lakukan untuk kakak?" tanya Jac. "Nyomblangin kakak," kata Jaz dengan tawa lepas. Tawa yang tak bisa dibendungnya saat berhasil mengelabui kakaknya yang dikatakan cerdas itu. Jac menghembuskan nafasnya kasar. "Itu bukan asisten namanya, tapi cenayang." Jaz semakin tertawa lepas. "Beda tipis lah kak. Aku jadi cenayang hanya untuk kakak aja, jadi sama aja namanya jadi asisten kakak. Kenapa? Mau nggak? Bukannya kakak lagi mengincar cewek cantik yang kemarin?" katanya setelah puas menertawakan kakaknya. Sampai-sampai matanya juga berair melihat kakaknya yang cengok. "Kamu pikir kakak ini apa, tidak bisa mendapatkan cewek yang kakak suka. Itu gampang kali. Selama ini kan kamu udah lihat juga. Sampai-sampai mereka yang datang memohon sama kakak. Udah ah, kakak mau ada rapat. Kamu mau di sini?" Jaz menggeleng lalu melihat jam tangannya. "Aku ada pesta perpisahan nanti jam sembilan. Setelah itu aku balik lagi ke sini, kita makan siang bareng ya kak," pinta Jaz. "Semoga saja klien kakak tidak lama. Ya sudah, kakak pergi dulu." Jac pergi dengan membawa tabletnya. Gaby dan Steff pasti sudah menyiapkan semua keperluan untuk rapat kali ini. Tidak ada yang perlu diragukan tentang pekerjaan keduanya. Jaz turut serta meninggalkan ruangan mewah itu. Ia butuh waktu hampir setengah jam dari kantor ini menuju tempat kerjanya yang lama. Mungkin dia akan sedikit terlambat nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD