1. Langit Berduka
Umi, jika Allah nanti memanggil diriku, sampaikan kepada putra-putri kita agar mereka meneruskan perjuangan ini. Jangan sampai menyerah sebelum Allah memperlihatkan janji-janji-Nya. Didiklah mereka agar menjadi alim dan alimah sehingga mereka benar-benar paham, akan apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya," pesan Kiai Jazuli kepada Umi Hamidah ketika ajal hendak menjemputnya.
Desa Serambi berduka lagi. Belum genap satu tahun, telah wafat dua ulama yang menjadi panutan. Pertama, Kiai Abdul Hafidz yang usianya belum genap empat puluh tahun. Kedua, Abahku, Kiai Jazuli, telah wafat menyusul Kiai Hafidz yang merupakan salah satu ulama terkemuka di desa Serambi. Usia abahku lebih tua bila dibandingkan dengan Kiai Hafidz. Usianya sudah tujuh puluh dua tahun. Suasana di rumahku masih terasa hening. Dirindangi oleh suasana duka nestapa. Wajah Umi Hamidah masih pucat sebab menangis, meskipun tidak sederas air hujan yang turun dari langit. Kilat petir kepedihan atas kewafatan Abah masih menyambar-nyambar hatinya. Akan tetapi, Umi Hamidah lebih suka memendam tangisnya di dalam hati karena dirinya merupakan figur yang dijadikan teladan bagi para santri Pesantren Darul Falah usai Abah meninggal dunia. Kakakku, Neng Nafisah menjadi shock gara-gara Abah wafat. Ia pingsan tidak sadarkan diri padahal ia sedang mengandung untuk yang ketiga kali. Matanya masih sembab. Pikirannya membuncah. Abah selalu membayang-bayanginya. Ia belum siap berpisah dengan Abah untuk selamanya.
Aku juga masih belum bisa melupakan bagaimana sosok abahku yang selalu tampak dalam bayang-bayang. Mataku barkaca-kaca. Air mataku selalu meleleh membasahi pipiku, meskipun sudah aku usap dengan kedua telapak tanganku.
Aku hanya bisa mengadukan perasaan duka ini kepada-Mu, ya, Allah. Engkaulah yang dapat membebaskan diriku dan keluargaku dari belenggu kesedihan. Seandainya tangis ini masih saja berlangsung, aku takut daun-daun akan berguguran karena duka nestapa merembet ke dalam diri mereka. Begitu juga kepada binatang- binatang ternak. Mereka tidak akan mau diam dan tenang. Mereka bertebaran entah ke mana, padahal waktu sudah menunjukan pada mereka untuk menempati kandangnya. Jika hal ini dibiarkan, maka seolah-olah kiamat sudah datang sebelum waktunya. Mungkinkah ini kiamat sughra?' Jawabannya ada kepada diri kita masing-masing- Tanda diangkatnya ilmu Allah sudah ada, berupa wafatnya seorang ulama yang diumpamakan seperti gunung gunung yang kokoh.
Jika gunung-gunung kian hari semakin habis karena keserakahan manusia, lalu dengan kita akan mencegah gempa apa bumi? Jika air mata kesedihan ini dibiarkan mengalir terus tanpa henti, dikhawatirkan akan dapat membanjiri Bumi. Banjir akan menelenggelamkan umat manusia. Mereka akan tenggelam, sebab jauh dari ayat-ayat Tuhan. Mereka lalai dari halal dan haram, sebab tidak adanya orang yang mengingatkan. Jika risalah ketuhanan sudah lenyap, manusia akan hidup seperti binatang. Yang menang semakin menang dan kalah akan semakin tertindas. yang Itulah pentingnya peran seorang ulama dalam menuntun umat manusia dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang. Jalan yang diridhai Tuhan.
Semasa hidupnya, Ia selalu mengingatkan manusia akan ayat-ayat- Nya. Hidupnya selalu menerangi dunia. Ulama semacam ini adalah sebenar-benarnya ulama, bukan sekadar gelar semata yang tersemat. Hujan tangis bertebaran di mana-mana, tidak hanya dari keluarga yang ditinggalkan. Para santri putra dan putri Pesantren Darul Falah juga tidak kuat membendung luapan air mata yang ingin keluar. Terlebih, santri putri yang menjadikan tangis sebagai k*****s dari suatu kesedihan yang diderita. Ada sebagian darinya yang tidak bisa mengontrol diri sehingga membuat mereka pingsan. Neng Robiah Al-Adawiyah sampai tidak sadarkan diri ketika mendengar abahku wafat. Ia masih ada hubungan keluarga dengan Abah. Ia adalah putri Kiai Ahmad Shaleh di Surabaya, yang merupakan adik kandung Abah. Sama-sama putra dari Kiai Ali bin Kiai Fathudin bin Syaikh Ahmad Thaha atau Syaikh Serambi.
Kiai Serambi ini adalah peletak batu agama Islam di desa Serambi. Beliau pula yang menurunkan kiai-kiai yang mengasuh Pesantren Serambi. Namanya diabadikan sebagai nama perguruan tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Serambi (STAIS). Neng Aulia Hasanah atau yang biasa dipanggil Neng Lia juga tidak bisa membendung tangisnya. Meskipun tangisnya tidak sedalam tangisan Neng Adawiyah, tapi Kiai Jazuli, baginya, akan selalu terkenang dalam hatinya. Ilmu-ilmu Abah yang sudah mengalir dalam diri Neng Lia bagaikan darah yang mengalir dalam tubuh manusia.
Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari darah yang mengalir di dalam tubuh, sehingga darinya ruh dapat bertahan. Hubungan kiai dengan santrinya tidak bisa dipisahkan. Kiai adalah ayah yang mengatur ruh, sedangkan orangtua kita adalah ayah bagi jasad. Ruh ada kaitannya dengan hati. Jika hati baik, baiklah jasad kita. Akan tetapi, jika hati berwarna hitam sehitam warna yang paling hitam, jasad kita akan buruk. Buruk bukan berarti buruk rupanya, melainkan perilaku yang ditimbulkan sebab pancaran hati yang gelap gulita.
Kiai Jazuli adalah sosok yang dianggap Neng Lia dapat menjadikannya sebagai muslimah yang kenal akan agamanya, menjadi wanita yang akan bahagia di dunia dan akhirat.
Duka kesedihan atas kepergian abahku tidak hanya dirasakan oleh manusia saja.
Langit pun sepertinya ikut berduka dengan menurunkan air hujan yang biasanya tidak terjadi di musim kemarau. Mereka seolah-olah menangis dengan tetesan air hujan. Sebab amal kebaikan abahku sudah tidak akan melewati setiap saf-saf langit sampai ke langit ketujuh, untuk dilaporkan kepada Yang Maha Kuasa.
Duka dan nestapa hampir menyebar di mana- mana. Terlebih desa Serambi yang menjadi tempat tinggal abahku. Progam kegiatan belajar mengajar hampir libur semua, begitu juga kegiatan perekonomian. Warga desa Serambi berduyun-duyun menuju ke kediaman abahku untuk melakukan penghormatan yang terakhir.
Hari wafatnya seorang ulama memang tidak bisa dibuat main-main oleh penduduk desa Serambi yang mayoritas muslim. Kehidupan mereka sangat kental dengan yang namanya kiai atau ulama. Hingga sudah menjadi kebiasaan bagi penduduk desa Serambi, sebelum beranjak ke mana-mana, terlebih dahulu putra-putri mereka diserahkan kepada kiai untuk dididik babakan? masalah agama Islam. Terlebih perempuan. Perempuan dapat mempengaruhi karakter pribadi anak-anaknya. Minimal, putra-putri mereka menerima ajaran tauhid yang ditransmisi dari kiai menuju anak tadi agar keimanan mereka menjadi kuat dan kokoh, tidak tergoyahkan oleh iming-imingan apa pun.
"Abah, mengapa engkau tinggalkan diriku di saat aku masih haus dengan ilmumu?" Aku bergeming dengan penuh kesedihan. Aku merasa sangat kehilangan. Selain kehilangan sosok Kiai Jazuli, aku juga kehilangan ilmunya yang belum aku ambil kecuali hanya sebagian kecil saja. Secuil ketika aku masih kecil dan secuil lagi ketika ada liburan dari pesantren. Bagi para santri Pesantren Darul Falah diasuh Abah, mereka sangat kehilangan sosok pengasuh yang menjadi teladan dalam kehidupan kesehariannya untuk meniru suri tauladan yang bersambung dengan Rasulullah. Ilmunya belum aku serap sebanyak-banyaknya sebab sejak kecil aku sudah disuruh mondok, yaitu sejak aku yang al tamat dari Madrasah Ibtidaiyyah Mambaul Ulum Serambi. Mulanya aku disuruh mondok di Pesantren Tahfidzul Qur'an Kudus untuk menghafal Al-Qur'an selama lima tahun.
Setelah tamat dari Pesantren Tahfidzul Qur'an, aku mondok di Pesantren Sarang untuk memperdalam makna yang terkandung dalam Al-Qur'an. Belum genap tiga tahun aku mondok di An-Nur, Sarang, abahku sudah meninggalkanku tanpa nyawa karena pendarahan otak (hersenbloeding). Dr. Sobirin sudah berusaha untuk mengeluarkan darah tersebut agar berkurang rasa sakitnya. Namun, Allah telah berkehendak lain. Sebelum mengembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, yaitu ketika sudah dalam kondisi yang sangat kritis, ia meminta agar dirinya dibawa pulang. la ingin wafat di rumah dengan dikelilingi malaikat- malaikat pembawa kabar gembira. Ketika sudah sampai di kediamannya, abahku mengembuskan Ia wafat dengan wajah tersenyum. Barangkali ia tersenyum karena melihat surga-Nya yang telah diperlihatkan kepadanya. Surga untuk orang-orang yang beriman dan bersedia menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah. napas terakhirnya.
Aku tidak melihat detik-detik kehidupan Abah ketika akan sowan ke hadirat Allah. Aku telat datang. Meskipun lyang digunakan untuk menjemputku dari pesantren melaju begitu kencang, ternyata masih lebih kencang makhluk yang khusus diciptakan Allah untuk mencabut nyawa. Malaikat Izrail lebih dahulu sampai untuk mencabut nyawa Abah daripada aku. Kedatangannya sungguh sangat cepat sekali. Aku sangat bersedih sebab melihat Abah Jazuli sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Di saat suami Kak Nafisah, Kak Bukhari Afandi, menjemputku mobil untuk pulang, Abah sudah terbujur dan terbungkus kain kafan putih berlapis tiga di atas keranda terbuka yang ditaruh dekat tempat pengimaman Mushalla Darul Falah Putra yang biasa Abah gunakan untuk mengimami shalat berjamaah. Mayat Abah dikelilingi banyak orang yang membaca kitab suci Al-Qur'an dan tahlil.
Mereka sungguh benar-benar berduka atas kepergian sang kiai. "Sudahlah, Za! Jangan bersedih terus! Doakan saja abahmu. Insya Allah dia sudah tenang di akhirat." Umi Hamidah berusaha menghiburku. Aku hanya bisa menatap raut muka Umi Hamidah yang menenangkanku, lalu memejamkan mataku lagi. Aku meresapi kesedihan ini di dalam hatiku. Umi Hamidah tidak kuasa melihat diriku menangis di dekat jenazah Abah. Ia langsung mengajakku menuju kamarku. Bagi Umi Hamidah, tindakanku itu dinilai kurang baik. Tidak baik bagi seorang putri kiai terlalu larut dalam kesedihan, terlebih di hadapan orang banyak.
Dengan pakaian berkabungnya, yaitu pakaian yang dipakai oleh seorang perempuan dalam kondisi 'iddah. Umi Hamidah berusaha keras ingin menunjukan kepada anak dan santrinya agar tidak larut dalam kesedihan. Terlebih, kepada diriku yang jarang sekali melihat Abah dan kepada Kak Nafisah yang sedang hamil tua. Karena kesedihan yang berlarut, tidak akan membuahkan hasil yang baik. Hal itu hanya akan mengantarkan kepada penyesalan yang tidak ada gunanya. Di saat mayat abahku diberangkatkan, terdengar gemuruh suara laailahaillallah yang begitu nyaring. Shalat jenazah untuk almarhum abahku dikerjakan sebanyak dua puluh kali, sembilan belas kali dilakukan di Mushalla Darul Falah Putra dan sekali dilakukan di Masjid Serambi. Ketika dishalatkan di Masjid Serambi, jamaah yang turut menshalatkan lumayan besar jika dibandingkan dengan yang ada di Mushalla. Para kiai, santri, warga, dan pejabat berbondong-bondong untuk mengiring jenazah abahku menuju pemakaman komplek pesarean Syaikh Ahmad Thaha Serambi. Pemakaman ini dikhususkan bagi keturunannya. "Selamat tinggal, Abah. Semoga Allah menyambutmu di pintu surga-Nya dengan segala macam anugerah-Nya," ucapku masih dalam geming, saat suara laailaahaillallah sudah mulai tidak jelas karena jaraknya sudah semakin jauh. Tak kuat menahan sedih, aku langsung mendekap Umi Hamidah yang melihat jenazah Abah dipikul menjauh. Dengan terisak-isak aku luapkan isi hatiku kepada umiku.
"Umi, kasihan Kak Daniel, ya? Di saat kepergian Abah ia tidak ada di rumah?" Aku mengungkap perasaanku terhadap Kak Daniel kepada Umi Hamidah. Dengan menyembunyikan kesedihan, Umi Hamidah menimpali, "Iya, Za. Insya Allah cepatatau lambat kakakmu Daniel akan segera pulang. Tadi dia sudah telepon. Katanya, dia sudah membeli tiket dari Saudi Arabia, tapi pulangnya beberapa hari lagi karena ada syaikhnya yang belum dia sowani. Dia juga bilang, katanya abahmu sudah dishalati di Ribaths Darul Ulum asuhan Syaikh Alawi, shalat gaib.
Jumlah jamaah yang ikut shalat sekitar seribu orang." "Syukurlah kalau begitu, Umi. Semoga Allah menerima segala amal kebaikan Abah Jazuli dan mengampuni segala kesalahannya." "Amin." Jujur, dalam kondisi seperti ini, aku sangat mengharapkan kehadiran Kak Daniel. Dialah satu- satunya putra Abah yang diharapkan untuk mengasuh pesantrennya. Ialah satu-satunya putra lelaki Abah yang sudah digadang-gadang akan menjadi sosok ulama yang akan memperjuangkan agama Allah untuk mengasuh Pesantren Darul Falah. Namun, sayangnya, belum sampai sepuluh tahun ia belajar di Makkah, abahku sudah lebih dulu wafat. Sebenarnya, Kak Daniel sudah punya cita-cita ingin belajar di Ummul Qura sampai memperoleh gelar doktor di bidang tafsir Al-Qur'an. Ia baru sampai S2 dan baru saja mengurus progam S3. Allah berkehendak lain. Mau atau tidak, Kak Daniel harus segera pulang ke Indonesia untuk menggantikan tugas Abah. Syaikh Alawi juga mengusulkan agar Kak Daniel segera kembali ke Indonesia. Bagi Syaikh Alawi, menghidupkan pesantren itu lebih baik daripada mengejar gelar akademisnya.
Rencananya, Kak Daniel akan menuntaskan S3 di Indonesia Yogyakarta, sembari Universitas Islam mengasuh pesantren yang ditinggalkan Abah. Pesantren Darul Falah memang membutuhkan sosok pengasuh yang alim seperti Abah Jazuli. Selain untuk tafaqquh fiddin", pesantren ini juga menyediakan wadah bagi para santri yang ingin menghafal Al-Qur'an dan ingin mendalami qiraah sab'ah-nya". Makanya, abahku selalu mengutamakan tahfidz Al-Qur'an bagi putra-putrinya terlebih dahulu sebelum beranjak memperdalam kajian Islam yang lain. Semua keluargaku menghafal Al-Qur'an. Abahku menghafal Al-Qur'an dengan bimbingan kakekku, Kiai Ali. Setelah itu, Abah menyempurnakan hafalannya di Krapyak Yogyakarta dengan bimbingan Kiai Munawwir sembari memperdalam qiraah sab'ah-nya. Karena merasa masih haus akan ilmu, Abah melanjutkan studinya ke Pesantren Lirboyo untuk memperdalam kajian fikih dan gramatika Arab hingga benar-benar matang. Ia juga sering mengaji dengan cara kilatan saat bulan Ramadan tiba.
Sasarannya adalah pesantren-pesantren yang sudah banyak mengeluarkan ulama dan tangguh dalam bidang agama, seperti Pesantren Langitan, Pesantren Ploso, Pesantren Sarang, Pesantren Sidogiri, Pesantren Singosari Malang dan Pesantren Mbareng Kudus. Abahku menghabiskan umurnya untuk mencari ilmu agama. Ia menikah dengan Umi Hamidah ketika berumur tiga puluh tiga tahun, sedangkan Umi Hamidah berumur dua puluh tahun. Umi Hamidah menghafal Al-Qur'an di Kudus sebagaimana diriku dan Kak Nafisah, yaitu di Pesantren Tahfidzul Qur'an yang diasuh oleh Kiai Hanbali Kak Daniel menghafal Al-Qur'an di Singosari, Malang. Karena kecerdasannya, atas usul Kiai Nawawi, Kak Daniel disuruh untuk melanjutkan studinya di Ummul Qura dengan mengambil jurusan tafsir Al-Qur'an. Ia sengaja berangkat ke Makkah lewat jalur Malang, meskipun sebenarnya sekolah Serambi juga ada hubungan baik dengan universitas atau ribath di luar negeri, khususnya Timur Tengah. Sekolah itu adalah Nahdlatul Wathan. Sekolah untuk kajian ilmu salaf" saja.
Berbeda dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Serambi (STAIS) yang sudah mengikuti standar akademis yang diatur oleh pemerintah. Adapun, Kak Bukhari, meskipun dirinya terkenal dalam kajian gramatika Arab, ia juga penghafal Al- Qur'an. Ia menghafal Al-Qur'an ketika sudah tamat dari Madrasah Ghozaliyah Sarang. Selain pakar nahu dan saraf, Kak Bukhari juga orang yang hafal Al-Qur'an.
Namun, hafalannya itu tidak diketahui oleh orang banyak. la menghafal Al-Qur'an secara sembunyi-sembunyi, kemudian disetorkan kepada Kiai Amin Haidar, salah satu pengasuh Pesantren Sarang yang hafidz Al-Qur'an. Aku adalah anak ragil dari sepuluh bersaudara Kiai Jazuli dan Umi Hamidah. Saudaraku dari pasangan semuanya meninggal dunia kecuali dua, yaitu Kak yang merupakan putri pertama Abah, Kak Danish Daniel anak kelima, dan yang terakhir diriku, Azza.
Orang Nafisah memanggilku dengan sebutan Neng Azza. Kakakku Neng Naila, meninggal ketika masih berumur lima tahun. Neng Wafiq Azizah wafat ketika baru lahir. Neng Maghfiroh wafat ketika sudah berumur dua tahun. Neng Kholisatun wafat ketika masih dalam kandungan. Neng Muslihah wafat ketika masih dalam gendongan Umi Hamidah, sekitar umur dua tahun. Neng Zainab wafat ketika sudah berusia remaja. Dan Neng Sofiyah wafat ketika masih bayi. Jarak antara satu dengan yang lainnya kebanyakan dua atau tiga tahun. Tidak heran jika putra-putri abahku jumlahnya banyak.
Mendiang abahku pernah berpesan kepada Umi Hamidah agar kelak aku menjadi perempuan yang alimah untuk meneruskan perjuangannya menyebarkan agama Islam. Syaratnya harus memahami gramatika Arab. Setiap kali pesantren libur, aku selalu pulang untuk menemuinya. Ia sering sekali memberi wejangan kepada diriku. Wejangannya menjadi panutan yang bukan hanya sekadar lahiriyah saja, melainkan juga batiniah. Itu tidak kalah penting, bahkan harus diutamakan karena ia dapat mempengaruhi karakter seseorang. Batiniah adalah sifat yang asli. Meskipun ia disembunyikan sedalam-dalamnya, kelak juga akan kelihatan apa yang disembunyikannya itu.
Pesan abahku yang disampaikan Umi Hamidah kepadaku masih mengiang-ngiang di telingaku. Aku sangat takut sekali jika tidak bisa menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya sebagaimana keinginan abahku. Aku harus berjuang mati-matian untuk menjadi yang terbaik di antara yang baik agar Abah merasa senang di alam sana. Tentunya, dalam mencari pasangan aku juga tidak boleh gegabah. Calon suamiku harus alim sebagaimana kealiman suami Kak Nafisah atau seperti Kak Daniel. Kalau bisa, ia adalah orang yang alim seperti abahku dan ahli dalam berbagai macam cabang ilmu agama.
Memprihatinkan sekali jika pesantren ini tidak diasuh oleh orang yang hafal Al-Qur'an, karena pondok Darul Falah ini termasuk salah satu pondok tahfidz. Jika salah satu dari kiai atau nyainya tidak ada yang hafal Al-Qur'an, tentunya santri-santri yang ingin menghafal Al-Qur'an akan meninggalakan pesantrenku. Mereka akan mencari pesantren yang cocok dengan tujuan mereka ketika berangkat dari rumah. Alhamdulillah aku sekarang sudah hafal Al-Qur'an. Aku hanya tinggal menunggu jodohku nanti. Seperti apakah dia? Semoga saja, ia seperti abahku agar situasi pesantren penuh dengan ilmu seperti ketika Abah yang mengasuhnya. Sebenarnya, untuk mengasuh pesantren selama dalam kekosongan itu sudah ada kakak iparku, Kak Bukhari. Namun, ia juga diserahi amanah untuk mengasuh pesantren abahnya, Kiai Arifin, di Tuban. Jadi, waktunya harus terbagi. Tiga hari ia di Tuban, mengajar di Pesantren Al-Hidayah milik abahnya. Tiga hari lagi ia gunakan untuk mengajar di Pesantren Darul Falah atas permintaan abahku. Satu hari digunakannya untuk perjalan antara Darul Falah dan Al-Hidayah. Ia juga aktif mengajar di Nahdlatul Wathan Banin dan Nahdlatul Wathan Banat Kak Bukhari dijodohkan dengan Kak Nafisah atas permintaan Abah sendiri.
Ia ingin sekali mempunyai menantu yang alim dalam masalah gramatika Arab. Apa pun syaratnya, Abah akan memenuhinya, asalkan tidak melanggar syariat Islam. Akhirnya, dengan penuh perjuangan, Abah dapat melamar Kak Bukhari lewat perantara Kiai Makmur yang notabe adalah kiai Kak Bukhari ketika mondok di Pesantren Sarang. Bagi Abah, dengan memperdalam gramatika Arab akan mengantarkan seseorang untuk lebih memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist.
Pepatah Arab mengatakan, “Barang siapa yang menyegeral6 dalam satu ilmu (ilmu nahu)" niscaya dia akan menguasai segala ilmu." Meskipun abahku wafatnya Selasa pagi, suasana duka masih terasa hingga empat puluh hari berikutnya. Hari pertama sampai ketujuh para pelayat masih datang berduyun-duyun untuk melaksanakan penghormatan terakhir. Pelayat tidak hanya datang dari desa Serambi saja, tetapi dari desa lain, bahkan dari luar kabupaten hingga sampai luar provinsi. Mereka yang telat datang seolah- olah merasa bersalah sebab sudah tidak bisa melihat jenazah Kiai Jazuli untuk yang terakhir kali, seperti Kiai Syukron. Ia datang jauh-jauh dari Sumatra karena santri Abah tersebar di mana-mana, hampir di seluruh Indonesia. Ketika ia mendapat kabar kematian Kiai Jazuli, dirinya segera membeli tiket untuk pergi ke Pati. Karena jarak yang begitu jauh, sangat muhal' sekali ia bisa menempuh jarak itu sesuai keinginannya agar ia bisa melihat jenazah abahku. Namun, Kiai Syukron masih bersyukur sebab masih diberi kenikmatan untuk sowan kepada Kiai Jazuli, meskipun jasadnya sudah terbujur di liang lahat yang berada di pesarean Syaikh Serambi.
Bukan hanya Kiai Syukron saja yang merasa sangat kecewa karena tidak bisa hadir di acara pemakaman Abah, melainkan juga Kiai Lutfi. Alumni Pesantren Darul Falah asal Tegal itu ketika mendapat kabar Abah wafat lewat f*******:, sedang berada di Malaysia untuk menghadiri pertemuan ulama se-ASEAN yang dihadiri oleh Habib Umar dari Yaman. Ia hanya dapat melakukan shalat gaib bersama ulama yang mengikuti kongres yang dipimpin langsung oleh Habib Umar. Masih banyak lagi alumni pesantren yang tidak bisa hadir. Jaraknya mereka yang jauh dengan desa Serambi, tidak memungkinkan bagi mereka untuk hadir dalam acara pemakaman.
Kiai Jazuli adalah sosok yang dituakan, sesepuh desa. Selain Kiai Jazuli, ada juga ulama lain yang dituakan, seperti Kiai Subki, Kiai Abdul Hadi, Kiai Abdullah Qosim, Kiai Imam Rofii, dan Kiai Hasan. Semua kiai-kiai ini adalah pengasuh pesantren di desa Serambi. Kiai Abdul Hadi pengasuh Pesantren Darul Furqon. Kiai Abdullah Qosim pengasuh Pesantren Djannatul Huda. Kiai Rofii pengasuh Pesantren Darul Mubarok. Kiai Subki pengasuh Pesantren Miftahul Jannah. Kiai Ridwan Pengasuh Mushalla Al-Izzah. Meskipun cuma mengasuh Mushalla, Kiai Ridwan adalah sosok yang alim. Ia merupakan salah satu keturunan Syaikh Serambi. Kiai-kiai ini adalah sesepuh desa Serambi. Kedudukan kiai sepuh biasanya disandang oleh pengasuh pesantren di desa Serambi atau oleh kiai alim yang ikut berkiprah di desa Serambi. Selain kiai sepuh, ada juga pihak lain yang dimintai pertimbangan atas suatu masalah jika terjadi pertikaian. Jabatan yang ditinggalkan Abah begitu banyak. Selain mengasuh Pesantren Darul Falah, Abah juga menjadi Mudir' Am Madrasah Nahdlatul Wathan. Ia juga menjadi takmir Masjid Serambi, menjadi salah satu pengajar di STAIS dan mengajar tafsir di Masjid Serambi. Ia juga aktif di kepengurusan PBNU tingkat provinsi. Ia menjadi ketua syuriah untuk daerah Jawa Tengah. Sebenarnya, Wathan itu harus segera dilakukan, mengigat pentingnya keberadaan seorang pemimpin. Tatkala Rasulullah meninggal dunia, yang jadi prioritas utama adalah mencari pemimpin untuk hal ini bisa ditanggulangi dengan menunjuk pemimpin sementara.
Sebagai wakil Abah, ditunjuklah Kiai Subki pergantian pemimpin Nahdlatul mengurus s masalah kenegaraan. Namun, untuk memimpin pesantren sementara. Kalau disamakan dengan masa Rasulullah jelas terlalu jauh berbeda sebab ruang lingkupnya lebih luas. Desa Serambi hanya menaungi satu daerah saja. Selain itu, desa Serambi sudah ada kepala desanya, Bapak Sumardi, namanya. Yang menjadi sorotan lebih bagi warga Serambi sepeninggal Abah adalah pengajian tafsir selenggarakan di Masjid Serambi setiap selapanan sekali. Pengajian ini merupakan kajian ilmiah yang penting yang hampir diikuti oleh sebagian besar warga desa Serambi dan desa-desa terdekat. Abah biasa mengajar dalam kajian itu. yang di- Ia sangat mumpuni untuk mengajar tafsir. Selain hafidz, ia juga menguasi qiraah sab'ah dan juga mualim dalam kajian fikih. Untuk menjadi pengajar tafsir, harus melalui seleksi yang ketat serta mendapat persetujuan dari para kiai.