Siapa yang akan menikah?

1269 Words
Waktu sudah menunjukkan tengah malam dan Shafira tampak mengernyitkan dahinya, merasakan sedikit nyeri pada pergelangan tangannya. Ia sama sekali tidak mengingat bahwa pagi tadi ia baru saja melakukan hal bodoh dengan menghabisi dirinya sendiri lantaran tak ingin merasakan kesedihan yang sudah lama ia simpan seorang diri. "Iisshh ...." desis Shafira ingin membuka kedua matanya. "Dia sudah sadar!" suara seorang perempuan terngiang di telinganya. "Siapa itu?" tanya Shafira dalam benaknya. Shafira lantas membuka kedua matanya perlahan. Samar-samar ia melihat seorang wanita mengenakan pakaian pelayan berlari keluar pintu kamar. Shafira melihat kesisi kirinya dan begitu jelas tampak sebuah tiang untuk menggantung sekantung darah yang mengalir ketubuhnya. "Heeemm? Darah?" gumam Shafira masih belum mengingat apa yang terjadi padanya tadi pagi. Lantas Shafira melirik pada pergelangan tangannya yang di perban. Semua ingatan tadi pagi yang terjadi padanya, langsung mencuat di dalam otaknya. "Aaahh, kesalnya! Kenapa aku tidak mati?" ucap Shafira dalam hatinya merasa kesal. Shafira memejamkan kedua matanya sejenak, lalu matanya kembali terbuka disaat ia mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Sosok pria yang merenggut kehormatannya terlihat melangkah menghampiri dirinya yang masih terbaring lemah. "Akhirnya kau sadar." ucap Leo saling bertatapan dengan Shafira. Kemudian Leo duduk di samping Shafira dan mencengkram wajahnya dengan kuat. "Tu-tuan ...." suara Shafira bahkan masih terdengar begitu lirih. "Kau pikir kau bisa mati secepat itu, hah?" ucap Leo mencengkram kuat wajah Shafira sembari melotot kesal padanya. "Tanpa izin dariku, kau tidak akan bisa pergi kemanapun, bahkan ke nereka sekalipun! Jadi jangan pernah sekalipun kau mengulangi apa yang kau perbuat tadi pagi ... jika kau menginginkan kematian, maka akulah yang akan membunuhmu dengan kedua tanganku karena kau adalah milikku!" ucap Leo lalu melepaskan cengkramannya dengan kasar. "Aku tidak mengenalmu, bagaimana bisa kau melakukan ini padaku, tuan? Apa salahku?" tanya Shafira dengan linangan air matanya saat menatap Leo. "Kesalahanmu adalah karena kau telah membangkitkan gairahku yang terkubur selama bertahun-tahun." sahut Leo yang membuat Shafira sama sekali tidak mengerti maksud dari ucapannya. "Kau memperkosaku!" ucap Shafira menuduh Leo. "Aku memperkosamu, hah? Apa kau lupa, semalam aku sudah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk membiayai operasi serta pengobatan ibumu selama dirumah sakit? Semua uang yang aku keluarkan semalam sepedan dengan apa yang aku ambil darimu!" sahut Leo. Shafira kembali teringat pada ibunya yang sedang terbaring dirumah sakit setelah menjalani operasi. Tiba-tiba Shafira berusaha untuk bangkit dari ranjang itu, bahkan ia sempat mencabut selang yang menstranferkan darah ketubuhnya. "Apa yang kau lakukan???" teriak Leo kaget melihat Shafira bergegas turun dari atas ranjang. Shafira tak menggubris teriakan Leo padanya. Ia terus saja berjalan dengan langkahnya yang gontai. Bbrruukk.... Shafira terhuyung lalu jatuh terduduk di lantai kamar. Leo segera menghampirinya dan menopang tubuhnya yang begitu lemah. "Kau begitu keras kepala!" gerutu Leo terlihat kesal pada Shafira. Leo lantas menggendong Shafira dan membaringkannya kembali ke atas ranjang tidur. "Aku ingin melihat ibuku." ucap Shafira dengan suaranya yang terdengar begitu lirih dan lemah. "Pikirkan dirimu sendiri ... kau bisa mati!" kata Leo. "Itu lebih baik dari pada aku hidup tanpa kasih sayang." sahut Shafira. Leo terperanjat sambil menatap mata Shafira yang sayu. "Ada masalah lain yang membuat gadis ini ingin mengakhiri hidupnya!" ucap Leo dalam hatinya. Shafira kembali tak sadarkan diri. Tak ingin terjadi sesuatu pada gadis belia itu, akhirnya Leo membawanya kerumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan. Keesokan harinya, Reno mendapatkan segala informasi mengenai diri Shafira. Ia segea mengatakan semua yang ia ketahui kepada Leo. "Tuan, semua informasi mengenai gadis itu sudah saya dapatkan," ucap Reno yang menemui Leo di ruangan kantornya. "Katakan!" seru Leo ingin mendengarnya. "Tuan, nona Shafira salah satu siswi di sekolah biasa. Ia mengambil kerja paruh waktu untuk membantu perekonomian keluarganya." kata Reno. "Ada hal lain yang mengejutkan, tuan." kata Reno lagi. "Apa itu?" tanya Leo. "Wanita yang anda biayai dirumah sakit, ternyata bukan ibu kandung nona Shafira." kata Reno. "Lalu?" tanya Leo lagi. "Wanita itu adalah adik dari mendiang ibu kandung nona Shafira ... semenjak ibu kandungnya meninggal, nona Shafira di besarkan oleh wanita itu." jawab Reno. "Apa dia tau kalau wanita itu bukan ibu kandungnya?" tanya Leo semakin tertarik ingin mengetahui segala kehidupan yang selama ini Shafira jalani. "Menurut informasi yang saya dapatkan, nona Shafira mengetahuinya, namun ia tetap ingin menganggap wanita itu sebagai ibu kandungnya. Bahkan nona Shafira begitu menyayanginya walaupun wanita itu selalu pilih kasih terhadapnya." sahut Reno. "Apa maksudmu?" tanya Leo bingung. "Wanita itu memiliki anak perempuan bernama Vani, dan mereka berdua sering memperlakukan nona Shafira dengan semena-mena." jawab Reno. "Heh, jadi karena itu dia begitu terlihat menyedihkan!" gumam Leo dalam hatinya mengingat bagaimana raut wajah dan sorot mata Shafira yang mencerminkan kesedihan. Ceklek.... Pintu terbuka. Leo dan Reno sontak menoleh kearah pintu. "Leo putraku!!!" seru Miya datang bersama suaminya, Gustaf. Leo auto tepok jidat sementara Reno tampak tersenyum tipis lantaran mengetahui apa yang akan terjadi pada majikannya tersebut. "Selamat datang tuan ... nyonya." ucap Reno pada Gustaf dan Miya. "Hei, Reno ... kapan kau akan menghabiskan waktu bersama wanita? Apa kau ingin terus melajang dan menemani majikanmu, hah?" ucap Gustaf yang memiliki selera humor tinggi. Reno hanya tersenyum kaku mendengar setiap kalimat yang dilontarkan majikannya tersebut. "Reno, sekali-kali kau ambil cuti dan bersenang-senang bersama wanita ... siapa tau kau menemukan wanita yang cocok untukmu dan kau akan menyusul majikanmu menikah!" sambung Miya. "Itu benar, sayangku!" seru Gustaf merangkul mesra istrinya. Leo kembali mencerna perkataan ibunya barusan. "Siapa yang akan menikah?" tanya Leo. "Kau!" seru Gustaf dan Miya sembari menunjuknya. "Hah?" Leo terperangah setelah mendengar bahwa dirinya akan segera menikah, padahal ia tak tau siapa calon wanita yang dimaksudkan oleh kedua orang tuanya. "Ppppfftt ...." Reno menahan tawanya melihat ekspresi Leo. "Reno, hentikan! Kau dilarang untuk tertawa selama satu tahun!" pekik Leo kesal. "Ma-maaf tuan ... saya permisi." ucap Reno langsung kabur dari ruangan itu. Miya dan Gustaf duduk bersama dengan putra mereka. Raut wajah Leo tampak begitu kesal atas ucapan yang baru saja kedua orang tuanya berikan. Ia melirik semua contoh kartu undangan yang dibariskan ibunya diatas meja. "Leo, kau pilih satu dari semua contoh undangan ini ... mama akan mencetaknya," kata Miya. "Semua keperluan pernikahan serahkan pada papa dan mama, kau dan gadis kecilmu itu hanya perlu duduk manis di pesta pernikahan kalian nanti." sambung Gustaf menimpali. "Gadis kecil yang mana???" teriak Leo kesal. "Tentu saja yang akan memberikan kami cucu!" seru keduanya terlihat sangat bahagia. "Cucu apanya? Aku tidak mengerti apa yang papa dan mama bicarakan! Lagian, apa lagi ini? Aku tidak butuh undangan pernikahan! Tidak ada yang akan menikah!" teriak Leo lagi melemparkan semua contoh kartu undangan yang berada di atas meja hingga berserakan jatuh kelantai. "Leo, kau harus bertanggung jawab atas gadis yang kau bawa kerumahmu waktu itu!" bentak Miya marah pada putranya. "Uuugghh, sialan! Padahal aku sudah mewanti-wantu semua orang agar tidak mengatakannya pada mama, tapi mama tetap saja tau kalau aku membawa Shafira waktu itu." gerutu Leo dalam hatinya. "Aku tidak akan menikah!" sahut Leo menolak. "Jika kau tidak mau menikahinya, lalu kau akan mempermainkan gadis itu saja, hah? Kau ingin mencari yang bagaimana lagi ... hanya gadis itu yang bisa menyembuhkan penyakitmu, kan?" kata Miya. Leo hanya diam tak ingin menanggapi perkataan ibunya. Gustaf sangat tau apa yang tengah dirasakan putranya saat itu. "Eeehherrmm, begini saja ... kalau Leo tidak ingin bertanggung jawab dengan menikahi gadis itu, lebih baik gadis itu kita bawa saja ke Autralia. Jika dia mengandung cucu kita, maka kita akan menganggapnya sebagai putri kandung kita, tapi kalau dia tidak mengandung cucu kita, maka kita akan mencarikan pria baik untuk menikahinya." kata Gustaf memancing reaksi putranya. "Tidak ada yang bisa membawa Shafira pergi kemanapun!" teriak Leo terpancing. "Kalau begitu kau harus menikahinya, kalau tidak kami akan membawanya," sahut Gustaf berbicara dengan tenang sambil bersandar pada sofa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD