Part 3

929 Words
 Wilujeng   Ini kedua kalinya aku dan Kai pergi bersama. Tak sengaja sebenarnya. Saat dia tiba-tiba datang ke rumah untuk menemui Hendra dan ternyata Hendra sedang pergi ke luar kota. Jadilah hari ini dia yang mengantarku ke toko kue, menemaniku membeli bahan-bahan kue yang dibutuhkan Ibu. Kami sampai di toko kue di pasar langganan Ibu setelah menaiki Grab Car, karena aku tidak mau membonceng di motor besarnya.   Bisa dibayangkan belanja banyak dan membonceng motor besar? Bisa sakit pinggang lah aku.   "Mbak, udah semua?"   Aku meneliti kembali belanjaan di tangan Kai dan catatan yang diberikan Ibu.   "Kayaknya udah deh."   "Akhirnyaaa. Kita makan bakso dulu yuk, Mbak," ajaknya. Mukanya benar-benar minta dikasihani dan itu membuatku tak tega. Mungkin dia kelelahan.   "Iya deh ayo."   Akhirnya kami mampir di warung bakso yang masih berada di sekitar pasar. Kami memesan menu yang sama. Bakso urat dan es jeruk.   "Mantep banget, Mbak, baksonya," puji Kai setelah menyesap es jeruknya untuk mengurangi rasa pedas di mulutnya. Sementara wajahnya yang memerah dan berkeringat, membuatku tertawa. Menggemaskan.   "Nambah aja kalau mau."   "Nggak ah takut kekenyangan ntar malah ngantuk lagi. Kan habis ini mau nganterin Tuan Putri pulang," kelakarnya.   Dahiku mengernyit dalam, mencoba mencerna ucapannya. Tuan Putri? Maksudnya aku?   "Tuan Putri Gendis Wilujeng," jelasnya yang seketika membuatku memukul lengannya. Nyindir apa gimana sih dia?   "Sakit, Mbak." Kai mengaduh sambil mengusap-ngusap lengannya. "Dipuji bukannya seneng malah nabok."   "Kualat lo ngeledek orang tua."   Kai mendekatkan tubuhnya padaku. Lalu dia bicara sedikit berbisik, "Orang nggak ada yang ngira kalau umur kita beda lima tahun dan lebih tuaan Mbak."   Kan nyebelin si Kai ini. Sebelas dua belas sama Hendra.   Aku kembali memukulnya.   "Bilang aja lo mau ngatain gue pendek. Iya kan?" Kesalku.   Bukannya menyesal, Kai justru tertawa terbahak-bahak. Ganteng-ganteng, nyebelin. Dasar.   Kami pulang menaiki angkutan umum. Oh, tentu saja aku yang memutuskan dan sukses membuat Kai memberengut dari semenjak naik ke dalam angkot sampai kami tiba di rumah.   "Mbak, sumpah ya gue nggak mau lagi-lagi naik angkot. Panas, desak-desakkan lagi." Keluhnya saat kami sudah tiba di rumah dengan Kai yang mendaratkan b****g di sofa ruang tamu.   "Nih, minum dulu." Kuberikan segelas orange juice padanya dan dia segera menenggaknya hingga tandas.   "Memangnya tadi pulangnya beneran naik angkot, Mbak?" tanya Ibu yang baru saja bergabung dengan kami.   Aku mengangguk mantap, "Sengaja, biar Kai tau rasanya naik angkot. Dia kan pasti belum pernah, Bu." Alibiku, padahal aku berniat mengerjainya karena dia sudah berani meledekku.   "Tuh, Mbak Lujeng jail banget kan, Tan. Kalau sampai tercyduk sama gebetan Kai, malulah Kai."   Kulempar bantal ke arahnya. Dasar sok ganteng—eh tapi emang ganteng sih—bisa-bisanya masih mikirin gebetannya.   "Lo, dasar playboy cap kodok."   "Mbak ih, kasar banget sih jadi cewek."   "Lagian, lo tuh jadi manusia pedenya kebangetan."   "Yang ngajarin kan si Hendra, Mbak."   Kulihat Ibu berdiri, "Ibu mau ke belakang lagi aja, pusing lihat kalian kayak tom and jerry. Awas ntar jadi cinta lo." Dan selanjutnya Ibu menghilang di balik tembok. Sementara aku dam Kai hanya saling pandang.   "Lo sih."   "Mbak, jangan galak-galak deh ntar nggak laku gimana hayoo ...."   "Emang gue barang, sialan!" Kulemparkan lagi bantal ke arahnya.   "Mbak ih, gue cium juga nih." Ancam Kai yang kemudian menggenggam kedua tanganku. Saat ini kami saling memandang, menyelami wajah satu sama lain. Sejenak aku terpesona pada seraut wajah tampan yang tengah menatapku intens.   Kai adalah salah satu makhluk paling nyebelin karena wajahnya yang nyaris sempurna tanpa cela. Hidung mancung dengan rambut lurus dan poni terlempar ke arah kiri. Alisnya yang tebal, bibir tipis dan tubuh tingginya yang membuatku harus mendongak ketika kami berbicara dengan posisi berdiri. Apalagi kulitnya yang putih bersih dan yang paling buat ku iri, licin. Iya licin. Kalian bisa bayangin Lee Min Ho untuk visualisasinya.   Aku yang masih mengagumi ciptaan Tuhan di depanku ini, tiba-tiba tersadar saat sebuah benda kenyal menyentuh bibirku. Aku mengerjap beberapa kali, ketika baru menyadari Kai mengikis jarak diantara kami. Matanya terpejam, bibirnya bergerak lembut dibibirku yang mengatup rapat. Dan tangannya ... tangannya yang kurang ajar meraba punggungku, membuatku nyaris terlena karena pesona dan sentuhannya. Dengan kesadaran yang sudah terkumpul, kudorong keras hingga Kai terjengkal, hampir jatuh ke lantai jika keseimbangan tubuhnya buruk.   Hening beberapa saat. Aku yang masih shock dengan perlakuan Kai. Dan dia yang hanya menekuri lantai, entah menyesal atau apa aku tak bisa menerkanya.   "Pulang sana," kataku kemudian seraya berdiri.   Kai mendongak menatapku dengan selarik senyum di wajahnya.   "Mbak."   Aku menatapnya. "Apa?"   "Jadi pacar gue mau ya, Mbak?"   Hah?   Blank. Pikiranku tiba-tiba blank.   . .   Kaivan   Gue masih memukul-mukul mulut gue yang lancang ini. Lancang karena sudah berani mencium Kakak temen gue sendiri. Yang lebih dewasa lima tahun dari gue dan dia juga jendes, man.   Gue yang selalu berganti gebetan setiap bulannya, entah kenapa mengucapkan kalimat yang membuat Lujeng meradang.   "Jadi pacar gue mau ya, Mbak?"   Lujeng diam sesaat. Lalu setelahnya dia menjewer telinga gue. "Kesambet setan mana sih kamu? Bukannya minta maaf main nyosor aja, malah nembak aku. Nggak inget gue siapa?"   "Mbak serius sakit telinga gue. Lepasin."   Lujeng melepas jewerannya. Kali ini dia berkacak pinggang dengan wajah seriusnya.   "Kamu harus inget, aku Kakak Hendra dan umurku lima tahun lebih tua dari kamu. Jadi ...."   "Konsisten dong, Mbak. Kadang aku-kamu kadang lo-gue." Lujeng melotot dan justru wajahnya semakin, lucu dan menggemaskan.   "Udah sana pulang!"   Dan ya setelah itu gue pulang ke rumah gue yang masih gue cicil hingga detik ini dengan perasaan kecewa. Kecewa karena Mbak Lujeng justru marah-marah dan bukan terpesona karena sudah gue cium dan gue tembak.   Mikir apa sih lo Kai? Mana mau dia sama lo, yang kere begini. Rumah nyicil, motor nyicil.   Eh tunggu, kok gue jadi penasaran sama mantan suami Mbak Lujeng ya?   Bersambung                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD