Part 4

1682 Words
  Apa kabar teman-teman? Ada yang nungguin Kai? . . Lujeng   Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seseorang selain dicintai hingga akhir khayatnya. Tidak ada. Apalagi saat ini, di jaman yang menurutku perselingkuhan bukan lagi sebuah aib. Mereka ... ya, sebagian dari mereka bahkan terang-terangan melakukannya, mempertontonkan hubungan mereka pada khalayak seolah itu bukanlah sebuah dosa.   Hari ini aku dibuat kagum sekaligus iri pada sosok Mantan Presiden kami, Bapak SBY yang menangis karena kepulangan Sang Istri ke Rahmatullah. Aku turut menitikkan air mata melihat betapa Pak SBY begitu terpukul sekaligus tabah, melepas kepergian wanita yang selama berpuluh tahun menemaninya dalam suka dan duka. Aku iri, tentu saja. Teringat Mas Bekti tega menghianatiku, memilih kembali kepada mantan pacarnya padahal aku masih hidup, masih sehat, masih mampu melayaninya baik lahir maupun batin. Hanya memang Tuhan belum mempercayakan padaku untuk bisa merasakan menjadi seorang ibu.   "Mbak, kenapa kok nangis?" Ibu menatap heran padaku yang menangis sementara mataku terfokus pada layar televisi.   "Ikut sedih lihat kisah cinta Pak SBY sama Bu Ani, Bu."   Aku mendekap Ibu. Tergugu, ketika memori menyedihkan itu berputar kembali. Saat Ayah meninggal karena kecelakaan motor, di saat aku dan Hendra masih sama-sama kecil. Lalu Ibu yang harus menghemat demi bisa membiayai sekolah kami. Ibu yang rela hanya makan dengan nasi, agar aku dan Hendra bisa makan dengan lauk yang pantas. Dan kemudian saat hakim mengetuk palu, ketukan yang terdengar seperti ledakan bom, yang menandakan rumah tanggaku dengan Mas Bekti berakhir sudah. Rumah tangga yang aku jalani dengan penuh cinta dan pengabdian, harus kandas karena cinta Mas Bekti ternyata tak pernah ada untukku. Mas Bekti memiliki cinta yang lain yang masih bersemayam di hatinya, meski statusnya menjadi suamiku. Cinta di masa lalunya, yang belum sepenuhnya punah. Dan aku hanya bisa menguatkan hati, mempersiapkan diri menyandang status JANDA. Status yang di mata umum dipandang sebagai aib.   "Sama seperti cinta Ibu dan Bapak. Langgeng sampai maut memisahkan," kataku lirih. Sedih, sedih sekali rasanya kisah cintaku sangat bertolak belakang dengan kisah cinta Bapak dan Ibu, maupun Pak SBY dan Bu Ani.   "Ndo, apa pun yang sekarang menimpa kamu ... sudah menjadi kehendak Allah. Ikhlaskan Bekti ...."   "Tapi sakitnya nggak bisa dilupain Buk."   "Iya, Ibu paham. Tapi kamu nggak boleh terus-terusan sedih. Kamu harus bergerak maju. Ibu yakin, Allah sudah menyiapkan jodoh yang InsyaAllah lebih baik dari pada si Bekti itu." Ah, Ibu memang tempat terbaik untuk berkeluh kesah. Mendengar semua tuturnya membuat hatiku damai kembali.   "Makasih Bu." Ku cium pipi Ibu.   "Ibu pengin kamu cari kerja lagi. Udah cukup kamu malas-malasannya."   "Siap Bu Bos," sahutku seraya memperagakan gerakan hormat pada Ibu. Membuat wanita yang begitu kucintai itu tersenyum.   Esoknya paginya setelah aku dan Ibu sarapan bersama, tanpa Hendra karena dia masih di luar kota, aku memutuskan untuk mendatangi sebuah sekolah taman kanak-kanak. Untuk melamar pekerjaan tentunya. Setelah mendapat info dari kawan kuliahku jika di sana tengah membutuhkan pengajar.   Begitu aku membuka pintu depan, mataku terpaku pada satu sosok yang sejujurnya enggan kutemui. Lelaki muda yang tengah berdiri membelakangiku di samping motor besarnya. Siapa lagi kalau bukan Kai.   Dia menoleh, saat aku mencapai pagar rumahku.   "Hai, Mbak," sapanya terdengar begitu ramah disertai senyum mengembang.   "Hai," balasku tanpa melihat kearahnya. Sementara jemariku memutar tuas pagar, membukanya.   Aku berdiri sedikit berjarak dengannya. Menatap ponsel untuk mengecek posisi Gojek yang ku pesan.   "Mbak, mau kemana? kok udah rapi gini." Tubuhnya yang menjulang telah berdiri tepat di sampingku.   "Nyari kerja."   "Aku anterin ya."   "Nggak usah Kai, aku udah pesen gojek."   "Di-cancel aja."   "Nggak Kai," tolakku lagi. "Kamu mendingan ke kafe atau kemana gitu. Lagian ngapain si, kamu pagi-pagi kesini," sinisku. Jujur saja aku masih tersinggung dengan perlakuannya padaku kemarin.   Perdebatan kami terjeda karena kehadiran dua ibu-ibu yang akan melintasi kami. Aku mengangguk sembari tersenyum pada keduanya saat berada di depan kami. Mereka berdua yang kukenali sebagai tetangga yang hanya berbeda rumah dengan rumahku membalas senyumanku.   "Mbak Lujeng udah pacaran lagi? Cerainya aja baru sebulanan lho," ucap salah satu ibu-ibu yang berdandan menor itu dengan sinis.   "Iya, lho Mbak," satunya lagi menyahut dengan wajah tak kalah sinis. Tatapannya beralih pada Kai. "Kamu bukannya temannya Hendra ya?" Kai mengangguk lemah.   Dan posisiku jelas semakin terpojok. Aku yakin setelah ini kata-kata yang keluar dari mulut ibu-ibu itu akan lebih tajam dari belati.   "Belum lama cerai. Sekarang malah pacaran sama berondong."   Kalau boleh aku menimpuk mereka, akan kutimpuk sekarang juga. Sayangnya Ibu telah mengajariku untuk tidak bersikap kurang ajar pada orang yang lebih tua. Jadi yang sekarang bisa kulakukan hanya diam, sambil menahan kesakitan di hati yang bahkan belum sembuh sempurnah karena luka yang digoreskan Mas Bekti.   "Iya ya. Hati-hati ya Mbak Lujeng. Sama suami dula aja yang seumuran kamu ditinggal selingkuh, apalagi nanti kalau sama yang ini."   Ya Tuhan itu mulut apa nggak pernah disekolahin atau gimana sih?   "Semoga anak cucu Ibu nggak akan pernah mengalami nasib seperti saya. Diselingkuhi suami dan menjadi janda," kataku datar namun berhasil membungkam mulut keduanya.   "Status saya memang seorang janda tapi saya masih tahu batasan. Dan saat ini hubungan saya dan Kai nggak lebih dari sekedar teman."   Tepat saat aku menyelesaikan kalimatku. Ojeg pesananku datang. Aku segera naik ke atas motor, meninggalkan dua ibu-ibu yang berhasil mengaduk-aduk emosiku pagi ini.   ...   Kaivan   Sekuat tenaga gue mencoba menahan emosi gue saat dua ibu-ibu mengata-ngatai Lujeng. Gue nggak keberatan saat mereka mengira gue dan Lujeng pacaran. Hanya saja saat gue melihat raut wajah yang terlihat sedih dan menahan marah gue nggak tega. Lujeng terlalu baik untuk dikata-katai sedemikian kasar.   Menatap kedua ibu-ibu itu tajam selanjutnya gue menyusul Lujeng yang sudah lebih dulu pergi bersama ojek pesanannya. Gue mengutuk kedua ibu-ibu tadi, karena gara-gara mereka rencana gue mengantarkan Lujeng pagi ini gagal. Untung saja, gue masih bisa mengejar ojek yang ditumpanginya. Dengan sedikit menambah kecepatan, gue susul motor matic yang berjarak dua puluh meter di depan gue. Setelah berada di samping motor matic itu, gue membuka helm, dengan sedikit berteriak gue meminta Mas ojeknya berhenti. Gue bisa melihat wajah kesal Lujeng saat gue meminta menghentikan motornya, bahkan ia pun melarang mas ojek berhenti. Namun bukan Kaivan namanya kalau pantang menyerah. Setelah memastikan jalanan lengang, gue salip mereka dan dua meter di depan mereka gue berhenti dengan posisi melintang menghadang mereka. Bodo amat dengan teriakan orang-orang yang memaki gue. Dengan cepat gue turun, menarik sedikit paksa lengan Lujeng, lalu menyelipkan uang pecahan biru pada si Mas Ojek.   Lujeng tanpa menolak langsung naik ke motor gue, begitu gue minta. Mungkin dia merasa malu pada orang-orang yang memandang kita aneh, karena kenekatan gue yang mencegatnya atau mencegah supaya kita nggak mendapat masalah karena kita berhenti di tempat yang tak seharusnya.   Gue melajukan CBR gue cukup kencang, menuju ke arah selatan. Meski mendapat protes dari cewek di belakang gue, gue tetap melajukan motor gue dengan tenang. Satu hal yang gue inginkan, gue cuma ingin menghibur Lujeng dan menebus kesalahan gue atas perlakuan sembroni gue kemarin. Meski gue tahu hari ini dia akan pergi untuk melamar pekerjaan.   Motor terus melaju ke sisi timur kota ini. Melewati perkampungan penduduk, membelah jalanan yang pagi ini masih lengang. Lujeng mengeratkan tangannya ke jaket kulit gue, meski awalnya dia menggerutu tapi akhirnya ia terdiam menikmati perjalanan ini. Ku lirik dari kaca spion ia sesekali tersenyum saat melewati persawahan yang menghijau membentang sepanjang jalan.   "Mbak, belum pernah kesini kan?" Setelah menempuh perjalanan dua jam, akhirnya kami sampai di sebuah pantai favorit gue. Pantai Menganti yang terletak di Kabupaten Kebumen.   "Belum, Kai." Lujeng menjawab sambil menggeleng. Ia hendak melepas helm yang masih terpasang di kepalanya dan sebagai cowok gentle gue membantanya. Melepaskan kaitan helm lalu melepasnya perlahan. Dan yeah ... untuk kesekian kali gue bisa melihat wajah Lujeng dari dekat. Bersih tanpa noda jerawat dan satu hal yang gue suka semuanya alami. Alis, bibir, hidung dan matanya terbentuk alami. Meski wajahnya sedikit kotor terkena debu jalanan, tapi tak mengurangi kecantikkannya.   Gue berdeham, menetralkan pikiran kotor gue yang tiba-tiba ingin menyentuhnya lagi.   Come on, Kai. Dia Kakaknya Hendra, lo masih punya stok segudang cewek buat ngelampiasin keliaran lo. Jangan Lujeng. Dia wanita baik-baik. Malaikat di hati gue berujar.   "Ayo, Mbak."   Kami berjalan beriringan. Meninggalkan motor kesayangan gue di parkiran, menuju tepi pantai.   "Kamu udah sering kesini?"   "Udah."   "Sama pacar kamu?"   Gue berhenti sejenak, lalu menatapnya. Kenapa mesti harus pertanyaan macam itu yang diucapkan Lujeng.   Menurut gue, saat dua insan berlainan jenis sedang jalan bareng. Entah itu mereka sekedar teman, gebetan, apalagi pacar, nggak usahlah menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan pacar atau sejenisnya. Buang-buang waktu dan belum lagi kalau justru yang nanya kemudian baper dengan jawaban yang ditanya, lalu jadi diem-dieman dan berujung masalah. Hal sepele, tapi merusak suasana. Jadi, jalanin apa yang ada di depan mata sekarang.   "Enggak," jawab gue singkat.   "Masa sih?"   Gue hanya mengendikkan bahu. Lalu melepas sepatu, celana, dan jaket yang gue pakai. Menyisakan celana boxer dan kaos bertulislan Bloods dan meninggalkan begitu saja di atas pasir. Gue berlari mengejar ombak yang kebiruan. Sudah lama gue nggak main air, terakhir setahun yang lalu gue berhenti main surfing karena cidera otot. Dan sedikit membuat gue kapok untuk melakukan olahraga air itu lagi.   "Mbak, ayo!" Gue berseru pada Lujeng yang terbengong melihat aksi gue. Wanita itu hanya menggeleng, kemudian dia memilih duduk di atas pasir.   Gue masih asik bermain air. Membiarkan tubuh gue tenggelam dan muncul kembali seiring dengan datang dan perginya ombak ke bibir pantai. Puas dengan kesenangan gue, akhirnya gue menghampiri Lujeng yang tersenyum. Manis.   "Harusnya tadi kita beli minum dulu, Mbak," ujar gue yang mengikuti Lujeng, duduk di atas pasir.   "Mau aku beliin?"   "Nggak usah lah. Ntar kita sekalian cari makan aja, ya."   Lujeng mengangguk tipis. Lalu pandangannya jauh ke depan sana, ke laut lepas yang tak berujung.   "Mbak." Dia menoleh dengan dahi berkerut, penuh tanya.   "Sorry untuk yang tadi pagi."   Lujeng kembali menatap lautan. Gue menatapnya dari arah samping. d**a gue berdesir, ada perasaan aneh yang nggak pernah gue rasakan. Entah apa itu. Lujeng yang manis. Lujeng yang sederhana. Lujeng yang nggak suka dandan.   Kudengar dia meraup napas sebanyak mungkin, lalu mengembuskannya dengan sedikit sentakan. Perlahan bibir tipis kemerahan, yang membuat gue gagal fokus itu bergerak. Dan sebaris kalimat yang meluncur dari bibir itu membuat hati gue seperti diremas.   "Kai, aku harap ini yang terakhir kita pergi bareng."   Bersambung                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD