Part 5

1904 Words
Wilujeng   "Aku harap ini untuk yang terakhir kita pergi bareng," ucapku kala itu.   Kupikir saat aku mengucapkan kalimat itu, Kai akan biasa saja, karena toh pada dasarnya kami memang tidak memiliki hubungan apa pun. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin menjaga diri dari omongan orang-orang, yang hanya melihat kehidupanku dari versi mereka. Aku tidak ingin dicap sebagai janda yang berpacaran dengan berondong, padahal kenyataannya tidak. Untung saja kalimat nyinyir yang dilontarkan ibu-ibu tetanggaku tempo hari tidak sampai di pendengaran Ibu. Andai Ibu dengar, sudah kupastikan beliau akan meraung semalaman meratapi nasib anak perempuannya. Sudahlah janda, diomongin pula.   Air muka Kai yang sejak di depan rumahku begitu cerah b*******h, berubah muram. Ada segurat kekecewaan meski dia mencoba untuk tetap tersenyum.   Dosa nggak sih bikin orang ganteng kecewa?   "Kenapa, Mbak? Karena omongan ibu-ibu tadi?" Kai menatapku datar. Dan aku mencoba untuk tetap tersenyum meski hatiku menginginkan lain. Inginku menangis akan takdir yang menimpaku.   "Salah satunya iya." Kami memutus pandangan, dan beralih menatap lautan lepas. Pantai masih sepi. Mungkin karena ini masih terhitung hari kerja.   Kudengar Kai berdecak kesal. "Gue serius soal kita pacaran, Mbak. Gue nggak peduli status Mbak janda atau perawan. Gue mau kita bukan sekedar teman," ucapnya lantang.   "Kamu tahu massa iddah?" Aku menoleh. Menikmati wajah tampan yang kini terlihat kesal.   "Tahu lah, Mbak."   "Massa iddahku belum selesai, Kai."   "Jadi karena massa iddah, Mbak nggak mau kita punya hubungan?" Kai masih saja ngeyel.   "Bukan cuma itu Kai. Kita aja baru semingguan kenal. Masa iya langsung menjalin hubungan. Hubungan macam apa yang mau kita jalani," ujarku berargumen. "Kamu itu cuma terobsesi sama aku." Tembakku.   "Ok, kita pedekate lagi setelah massa iddah Mbak selesai."   Setelah mengatakan itu Kai mengajakku makan di warung tenda masih di sekitaran pantai dengan pakaian basah. Sepanjang menikmati makanan kami berbicara banyak hal. Mulai dari obrolan remeh temeh, membahas gosip terkini di lambe turah, politik tentang gugatan Pilpres oleh Pak Prabowo ke MK maupun tentang kehidupan pribadi kami masing-masing. Satu hal yang aku salut dari Kai, meski usianya masih 23 tahun, ia cukup obyektif menanggapi kisruh pilpres.   "Gue akan tetap jadi oposisi meski yang jadi presidennya orang yang gue suka, Mbak. Kalau semua pro dengan pemerintah, saat pemerintahan itu sendiri membuat keputusan yang lebih banyak merugikan rakyat, maka nggak ada lagi yang membela hak rakyat."   Suara klakson motor menyentakku dari lamunan. Ojek pesanananku datang. Aku segera beranjak setelah menunggu selama delapan menit sambil melamun. Sudah seminggu aku menjadi pengajar di Taman Kanak-Kanak. Muridku-muridku berjumlah seratus orang yang terbagi empat kelas dengan rentang umur mereka dari empat sampai enam tahun. Dan itu artinya, sudah dua minggu aku dan Kai tidak bertemu sejak terakhir kali kami pergi ke Pantai bersama.   "Terima kasih, Pak." Aku memberikan ongkos sesuai jumlah yang tertera di aplikasi, dengan melebihkan sedikit.   "Selamat pagi, Miss Lujeng." Salah satu siswaku menyapa begitu aku melewati depan kelasnya.   "Pagi, Lathif." Aku mengelus pipi gembulnya. "Tunggu Miss, ya. Miss mau simpan tas dulu. Nanti kita belajar bareng lagi."   "Asshiiiap, Miss," sahut bocah kecil berumur lima tahun itu menirukan gaya Atta Halilintar, salah satu Youtuber tenar asal Indonesia.   ...   Jam kerjaku hanya sebentar, tidak lebih dari tiga jam aku sudah bisa pulang ke rumah. Pukul setengah sebelas, aku menunggu gojek yang kupesan di halte depan sekolah.   "Hai, Miss." Bocah kecil bernama Lathif kembali menyapaku. Aku yang sejak tadi sibuk dengan ponsel di tangan, ber-chat ria dengan teman satu fakultasku, lantas menatapnya sembari tersenyum. Lathif ditemani ibunya tersenyum ke arahku.   "Hai, Lathif," balasku. Lalu aku beralih tersenyum pada ibunya. "Selamat siang, Bu," sapaku.   "Siang, Miss. Sedang nunggu jemputan, Miss?"   "Iya, ini saya sedang nunggu Gojek."   "Silakan duduk dulu, Bu," ucapku mempersilakan. Dan diikuti oleh kedua anak dan ibu itu. "Tumben, Ibu nggak bawa motor?" tanyaku, mengingat biasanya wanita di sampingku ini menjemput Lathif dengan motor matic-nya.   "Oh, ini. Ayahnya Lathif mau jemput. Jadi saya nggak bawa motor."   Kami kemudian berbincang mengenai perkembangan belajar Lathif di sekolah. Aku hanya bisa menjawab yang kuketahui, karena aku masih terbilang pengajar baru di sekolah ini. Tak lama sebuah Pajero hitam berhenti di hadapan kami. Detik berikutnya sosok pria dengan tampilan rapi, celana cino slim fit dengan kemeja lengan pendek, turun dari mobil.   "Ayah!" Lathif berseru girang dan berlari ke arah pria itu. Pria itu menyejajarkan tubuhnya setinggi Lathif, lalu mereka berpelukan.   "Mereka udah seminggu nggak ketemu." Ibu dari Lathif memberitahu.   Lalu mereka bertiga pergi setelah lebih dulu pamit dan menawarkan tumpangan untukku. Aku hanya tersenyum. Ada rasa iri yang menelusup melihat kebahagiaan mereka. Bukan. Bukan iri yang tak suka melihat kebahagiaan orang lain. Aku hanya berharap semoga hari esok entah siapa pendampingku nanti, aku bisa seperti mereka, mengantar atau jemput putra-putri kami bersama-sama.   ...   Kaivan   Sudah dua minggu gue menahan diri untuk tidak menyambangi rumah Lujeng. Gue kangen, iya. Tapi setelah mendapat warning darinya, dan terbentur massa iddahnya yang belum habis, gue mengalah. Lebih baik gue menjaga jarak lebih dulu, dari pada dia mendapat nyinyiran lagi dari tetangganya.   Gue akui, gue termasuk salah satu spesies cowok berengsek di muka bumi ini. Bilang ingin berpacaran dengan Lujeng, tapi dengan sadar tetap berhubungan dengan salah satu koleksi gebetan gue. Seperti pagi ini, pukul sepuluh gue baru keluar dari villa sewaan di Baturaden, bareng Siska. Setelah memberinya sekian lembar uang ratusan ribu, gue memesankan dia Grab Car, karena gue malas mengantarnya pulang. Sempat mendapat protes dari wanita yang menemaniku semalaman ini, akhirnya dia menurut setelah gue ancam nggak akan menghubunginya lagi, kalau dia merengek meminta diantar pulang sama gue.   Gue melajukan kuda besi berwarna merah ini, melewati jalanan yang cukup ramai. Matahari mulai meninggi, sinarnya mulai terasa menyengat di kulit. Dan badan gue mulai basah karena keringat yang mulai merembes keluar dari pori-pori badan. Gue semakin memacu kuda besi gue, supaya cepat sampai di rumah. Hari ini jatah gue libur ngantor di Warung Gokil. Giliran Hendra yang mengawasi kinerja karyawan kami itu. Dan saat melewati sebuah sekolah TK, mata gue terpaku pada siluet tubuh yang berhasil mengacak-ngacak pikiran gue akhir-akhir ini.   Gue menepikan motor, yang seketika membuat si pemilik nama Lujeng itu sedikit terkejut melihat kehadiran gue.   "Gue antar, Mbak," kataku menawarkan diri sambil berjalan ke arahnya.   "Nggak usah Kai. Aku Gojek aja," tolaknya lagi. Masa iya, harus gue paksa kayak kemarin supaya dia mau gue antar pulang.   "Perlu kaya waktu itu, supaya Mbak mau gue antar pulang."   Lujeng menatap gue tajam. "Kai, kita udah pernah bahas ini ya. Kamu nggak usah sok akrab, sok baik sama aku. Aku nggak mau dengar nyinyiran mereka lagi gara-gara dikira pacaran sama kamu. Gue janda, Kai. Gue janda." Ada nada frustrasi di kata-kata terakhirnya.   "Ikut gue." Sedikit kasar gue menarik tangan Lujeng. Gue nggak bisa menahan diri lagi. Gue kangen sama wanita dewasa ini. Gue kangen senyumnya, gue kangen tabokannya.   "Kai lepasin!"   "Gue kangen, Mbak." Gue paksa tubuhnya untuk menghadap gue. Pandangan kami bertemu. Gue menelisik wajahnya yang hari ini dilapisi make up tipis. Cantik.   "Kai, mau kamu apa sih?"   "Kita ngobrol. Berdua."   "Aku mau pulang, nanti Ibu nyariin," tolaknya.   "Yaudah, gue ikut pulang."   "Kai, kamu tahu kan ibu-ibu di komplekku pada rese. Kamu seneng banget emang ya, kalau aku dinyinyirin mereka terus."   Gue tertawa sumbang. " Yaudah kalau gitu kita cari tempat lain buat ngobrol."   "Kai ...."   "Gue janji sebelum maghrib, gue anter Mbak pulang."   Lujeng mendengus, tapi akhirnya wanita itu mengangguk lemah. Gue langsung memintanya naik ke motor, dan detik berikutnya gue arahkan motor ke rumah gue.   Sepanjang jalan kita lebih banyak diam. Lujeng mungkin masih sedikit kesal, karena sejak tadi wajahnya ditekuk. Kusut seperti kanebo kering. Tapi gue pura-pura nggak ngeh, yang penting gue bisa berduaan sama dia. Sebelum tiba di rumah gue mampir sebentar ke minimarket, membeli beberapa camilan dan minuman kaleng.   "Kamu tinggal di sini sendirian?" Lujeng bertanya begitu dia mendaratkan bokongnya di sofa.   "Iya. Papi sama Mami kan tinggal di Jakarta," jawab gue sambil melenggang ke dapur mengambil buah potong di dalam kulkas.   "Untuk ukuran cowok sih, rumah kamu termasuk bersih." Gue bisa mendengar suara Lujeng di ruang tamu meski gue sekarang sedang di dapur. Ah ya, karena rumah gue kecil, ukuran perumahan pada umumnya, hanya sedikit lebih besar. Tipe rumah gue ukuran 32, terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan halaman depan yang cukup untuk parkir mobil.   "Bersih dong, yang punyanya aja ganteng." Narsis gue sambil berjalan menuju ruang tamu. Gue letakkan buah semangka dan nenas potong di atas meja.   "Pe-de banget sih kamu, makannya apaan sih?" sewotnya. Membuat gue tergelak.   "Makan cewek-cewek cantik dong," jawab gue sambil mengerlingkan sebelah mata.   Dan Bug! Bantal sofa mendarat tepat di kepala gue. Lagi-lagi gue kena pukul Lujeng.   Untung Kakaknya Hendra, kalau bukan ... udah gue sekap dia sekarang juga. Setan di diri gue berujar.   Gue mengambil potongan buah dengan garpu, lalu mengarahkan ke mulut Lujeng. "Makan, Mbak, biar nggak marah-marah terus."   Lujeng menatap gue garang, tangannya dengan cepat menyambar garpu di tangan gue. "Gue bisa sendiri Kaivan." Lalu memasukkan potongan buah itu ke dalam mulut mungilnya. Mulut yang ... ah, s**t!   Gue buka sekaleng cola untuk meredam bayang-bayang kejadian dua minggu lalu. Di mana gue yang mencuri ciumannya yang membuatnya memberengut hingga detik ini. Kami sama-sama terdiam. Lujeng dengan sepiring buah di tangannya. Sedangkan gue dengan sekaleng, dua hingga kaleng ketiga. Akhirnya gue menyalakan TV untuk mengusir keheningan di antara kita berdua.   "Kamu ini udah lulus apa belum sih kuliahnya?" Lujeng bertanya setelah sekian lama terdiam.   "Nggak harus kuliah kan kalau mau jadi orang sukses," tukas gue dengan cengiran yang membuat Lujeng mendelik tajam.   "Sombong banget lo!" Semprotnya. "Itu pasti elonya aja yang udah males mikir!" Kan Lujeng mah gitu, nggak konsisten. Kadang lo-gue. Kadang aku-kamu.   "Nah itu tahu."   "Ya ampun, Kai. Hendra aja yang jadi mahasiswa abadi, aku udah kesel banget. Apalagi kalau aku punya adek kayak kamu. Bisa cepet tua aku tuh, sumpah deh."   "Lebay banget sih, Mbak."   "Nah iya dong, ortu kamu sanggup biayain tapi kamunya malah males-malesan. Asal kamu tau, aku bisa kuliah sampe lulus juga sambil kerja. Bukan maksud ngelupain jasa Ayah sama Ibu, tapi jujur kalau nggak sambil kerja sampingan, aku juga pasti susah buat lanjut kuliah," jelas Lujeng dengan suara terdengar beda di telinga gue.   Dan panjang lebar, Lujeng menasehati gue. Persis orang tua yang sedang menasehati anaknya. Tapi gue sama sekali nggak menyimaknya. Justru suara Lujeng seperti gerombolan tawon yang lewat di telinga gue.   "Di luar sana bahkan banyak anak-anak yang mengubur cita-citanya karena terbentur biaya, Kai. Kamu harusnya lebih bersyukur."   Gue yang sejak tadi pura-pura fokus ke layar TV seketika menoleh. Dan mendapati wajah wanita dewasa di samping gue, sudah basah oleh air mata.   "Mbak kok jadi nangis gini? Aduh jangan nangis dong, belum juga diapa-apain," goda gue berusaha menghiburnya. Sumpah ya, Kakak Hendra cengeng banget, untung gue ... gue apa ya? Suka? Cinta? Gue juga nggak tau pastinya gue kenapa.   "Kai nggak lucu." Lujeng menghapus jejak-jejak air matanya dengan kesal.   "Ya udah nggak usah nangis. Lagian perasaan tadi kita bahas kuliah, kenapa Mbak malah nangis."   "Aku sedih, karena kamu tuh nyia-nyiain kesempatan yang ada."   "Gue udah males mikir, Mbak. Lagian setelah lulus juga ujung-ujungnya cari kerja, cari uang kan. Nggak usah nunggu lulus, gue udah bisa cari uang dan menghidupi diri sendiri, Mbak."   "Tapi ...."   "Udah ya, Mbak. Gue nggak mau berdebat lagi masalah kuliah. Kita bahas yang lain aja." Potong gue.   Dan siang hingga sore, kita habiskan dengan menonton film Bollywood di laptop yang gue sambungkan ke TV, biar Lujeng puas nontonnya. Gue dipaksa lebih tepatnya, karena gue nggak pernah nonton film Bollywood selain Kuch-Kuch Ho Ta Hai. Dan yeah, akhirnya baru sepuluh menit film diputar, gue tertidur.     Bersambung                                          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD