Wilujeng
"Selamat siang, Tuan Puteri." Suara riang Kai menyapaku begitu aku keluar dari area sekolah. Tak lupa senyumnya merekah indah, menampilkan giginya yang berderet rapi.
"Hai," jawabku. "Udah lama?" tanyaku sambil memindai penampilannya yang selalu terlihat keren.
"Enggak kok, baru aja. Mau pulang sekarang atau mau ke mana dulu gitu?"
"Pulang aja deh, aku capek." Hari ini aku memang benar-benar lelah karena menemani para murid bercocok tanam. Hampir dua jam kami berada di halaman sekolah dan terpapar sinar matahari langsung. Aku memang tidak bisa berlama-lama berada di bawah sinar matahari, suka pusing sesudahnya.
"Pulang ke rumahku mau? Nanti aku pijitin." Kai bertanya dengan wajah jailnya.
"Nggak usah omes gitu pikirannya." Kupukul lengan Kai cukup kencang demi menyatakan keberatanku tentang idenya.
"Dih ... siapa yang omes sih, Sayaang. Aku tuh baik nawarin mau mijitin, malah digaplok. Untung cinta," gerutu Kai sambil mengusap lengannya dengan mimik wajah dibuat-buat seperti orang kesakitan.
"Kai, Ya Allah mulut disensor tolong."
Setelah Kai berjanji tidak akan berbuat aneh-aneh, akhirnya aku menurut ikut ke rumahnya lebih dulu. Kami berboncengan seperti biasa, dengan kedua tanganku melingkari pinggangnya. Kai tidak mengizinkan tanganku beranjak dari sana.
"Mau beli apa dulu nggak?" Kai memelankan kecepatan motor saat bertanya.
"Aku mau rujak."
Ciiittt.
Secara mendadak Kai menghentikan motornya di sisi jalan, membuat tubuhku semakin merapat padanya. Dan kepalaku yang terbentur helm di kepalanya. Untung pakai helm, jadi nggak begitu sakit.
"Apa sih Kai?"
Kai melepas helm lalu menoleh ke belakang. "Aku kan belum ngapa-ngapain kamu, kok kamu udah ngidam aja sih."
"Apa?" tanyaku. Sama sekali tidak paham dengan ucapannya.
"Itu kamu pengin rujak. Kamu nggak lagi tekdung kan, Yang?"
Ya ampun, Kai benar-benar lebay. Memangnya cuma orang ngidam saja yang pengin makan rujak. Ibu-ibu tetanggaku hampir tiap hari malah pada ngumpul sambil ngerujak. Aku yang tiap pulang mengajar melihatnya saja bosan. Dan apa para ibu itu bisa dikatakan sedang ngidam?
Aku tertawa lebar menanggapi kecurigaan Kai, alih-alih tersinggung. Jangan lupakan fakta, kalau aku ini wanita kurang subur. Buktinya sekian tahun menikah dengan Bekti belum juga bisa hamil. Dokter bilang juga kandunganku sedikit bermasalah. Entahlah bahasa kedokterannya apa, aku tidak begitu paham. Yang pasti intinya, aku kurang subur meski kemungkinan aku mengandung itu masih ada.
"Kok ketawa sih, Yang. Kamu bener nggak lagi ngidam kan? Aku kan belum ngapa-ngapain kamu."
Kucubit gemas kedua pipi Kai yang bersemburat merah karena terpapar mentari. "Aku cuma pengin makan yang seger-seger, bukannya lagi ngidam," jelasku. "Lagian aku nggak mau bikin kecewa Ibu, kalau sampai aku MBA. Makanya sebisa mungkin kita nggak boleh melebihi batas."
Kai hanya mengangguk. Lalu dia mengusap pipiku pelan dan kembali menjalankan motornya. Motor berhenti di penjual rujak yang mangkal di tepi jalan, dan kami membeli dua bungkus rujak buah potong. Motor kembali melaju menuju rumah Kai.
Sesampainya di rumah, Kai membawaku masuk ke dalam. Aku melepas blazer dan meletakkan di punggung sofa, sementara tas kerjaku kuletakkan di atas meja kaca. Kuperhatikan Kai yang saat ini sudah mengganti celana jeans-nya dengan celana rumahan. Dia melangkah ke dapur dan kembali ke ruang tamu membawa minum untuk kami.
"Kok belum dimakan?" tanyanya sembari melesakkan tubuhnya di sisiku.
Aku meyalakan TV yang menayangkan acara nggak jelas untuk mengisi keheningan rumah Kai. Menoleh pada Kai, aku tersenyum. Kai terlihat segar sehabis mencuci muka. Sisa air dari rambut yan menetes ke wajah imutnya, membuat Kai terlihat ....
Cup.
Tanpa kuduga, Kai mengecup pipiku pelan. Tanpa menjauhkan wajahnya dari wajahku, dia menatapku lekat sembari tersenyum. "I love you," ujarnya pelan.
Aku tersenyum kikuk. Seperti anak ABG yang baru merasakan jatuh cinta pertama kali, malu-malu tapi cinta.
Kucoba menatapnya juga. Menyelami bening matanya yang memancarkan jutaan rasa sayang yang sempat kurasakan dari pernikahanku dulu, namun pernah lenyap karena kehadiran orang ketiga.
Wajah Kai semakin mendekat. Aku memejamkan mata sebagai sebuah penerimaan pada tindakan selanjutnya. Bibir kami saling bertaut, intim. Bergerak seirama, menikmati gairah yang menyulut kami berdua. Kai menyatukan jemari kami, menggenggamnya erat. Aku terbuai oleh permainan Kai. Hingga entah berapa lama kami saling mencecap dan akhirnya Kai melepas tautan bibir kami lebih dulu.
Nafas kami sama-sama memburu oleh gairah yang melambung tinggi tetapi mencoba kami padamkan. Aku salut pada Kai yang mampu mengontrol dirinya. Kening kami saling bersentuhan. Aku masih memejamkan mata untuk menetralisir debaran jantung yang tak berirama.
Lalu sentuhan lembut oleh jemari Kai kurasakan di bibirku yang membengkak. "Maaf," bisik Kai begitu pelan. "Aku nggak bisa untuk nggak nyium kamu."
Kai kembali mendaratkan bibirnya di bibirku, tetapi hanya sekilas.
"Kamu cantik, Wilujeng," pujinya terdengar tulus di runguku.
Kubuka mata untuk melihat wajah Kai yang ternyata juga sedang menatapku. Aku tersenyum. Tanganku kemudian tergerak untuk mengusap pipi mulus Kai. Lembut kurasakan, sementara kini berganti Kai yang memejamkan matanya, menikmati sentuhanku yang kini menelusuri bibirnya yang memerah.
"Aku sayang kamu, Kaivan," ucapku lalu mengecup sudut bibirnya sekilas.
Kai akhirnya membuka matanya dan tersenyum lembut. Tatapan kami bersirobok, saling mengunci dan menghantarkan pendar-pendar cinta yang menyeruak di antara kami.
Aku sadar dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku memang menyayangi lelaki muda di hadapanku ini. Entah apa yang akan terjadi ke depannya. Jodoh atau bukan kami berdua, aku akan mencoba menikmati setiap momen bersama Kai.
Kami bercerita banyak hal soal kehidupan pribadi kami masing-masing sambil makan rujak yang tadi sempat kami cuekkin karena asyik dengan aktivitas kami sendiri.
Kai ternyata bertiga saudara, dan dia adalah anak bungsu. Juga satu-satunya anak lelaki. Kedua kakaknya perempuan, yang satu sudah menikah dan satunya lagi katanya akan menikah dalam waktu dekat.
"Nanti kamu datang ya, sekalian aku kenalin ke keluarga besarku."
Aku hanya memandangnya ragu. Apa secepat ini? Kalau nanti kehadiranku tidak diterima oleh keluarga Kai karena statusku janda dan kemudian hubungan kami berakhir, padahal baru saja dimulai, apa aku siap?
"Jangan khawatir, keluargaku pasti akan menerima kamu," kata Kai menenangkanku. Tangannya mengusap lembut kepalaku.
Aku mengangguk saja, tidak mau membantah. Setidaknya untuk saat ini.
"Kamu punya sosmed Kai?" tanyaku kemudian. Sudah sekian lama kami berhubungan, tetapi kami belum bertukar akun sosmed kami masing-masing.
Aku sering mencari akun sosmed Kai, bahkan sampai stalking di akun Hendra. Kubuka satu per satu akun teman Hendra demi mendapati akun Kai, tapi nihil hingga sekarang. Jujur aku penasaran dengan kehidupan Kai.
"Em ... itu udah aku non aktivin, Yang." Kai menjawab ragu-ragu. "Nggak perlu lah pake sosmed, lebih enak ketemu langsung gini."
"Tapi Kai ...."
"Kenapa Yang? Kamu pengin foto kita dipajang di sosmed? Kalau iya nanti aku bikin baru deh."
"Nggak usah deh. Kalau memang kamu udah nggak main sosmed, ya udah."
Dering ponsel dari dalam tasku kemudian mengalihkan obrolan kami. Aku segera meraih benda pipih tersebut dan mendapati nama Ibu menyala-nyala di layar.
"Ya Bu."
"Assalammu'alaikum. Salam dulu kalau jawab telepon."
Aku tersenyum malu pada Kai yang kuyakin mendengar teguran Ibu.
"Wa'alaikumsalam. Maaf Bu, Lujeng lupa."
"Kamu di mana?" Suara Ibu terdengar cemas. Wajar karena anak lajangnya-tapi bukan gadis-belum pulang, beliau pasti menungguku. Mendadak aku merasa bersalah karena tadi tidak menghubungi Ibu lebih dulu.
"Wilujeng, kamu di mana?" Suara Ibu kini bercampur marah. "Pacaran ya kamu?" tuduhnya yang tepat sekali.
"Lagi main sama Kai, Bu," jawabku tidak menjawab sejujurnya. Andai Ibu tahu aku masuk ke rumah laki-laki dan hanya ada aku dan Kai di rumah ini, Ibu pasti akan marah besar. Lebih baik aku berbohong sedikit.
"Di mana?"
"Di ...." Otakku bekerja ekstra memikirkan jawaban agar Ibu tidak curiga. Lagian Ibu tumben sekali sih, tanya sampai mendetail begini.
"Wilujeng, jangan bilang kamu lagi pacaran di rumah Kaivan."
Kutepuk kening sebagai bentuk kegagalan berbohong pada Ibu. Wanita selain punya feeling kuat saat suaminya main serong, juga saat anaknya berbuat yang tidak-tidak.
"Bu, tapi kita cuma ngobrol di sini," cicitku.
"Pulang sekarang!" titah Ibu menggelegar yang membuat nyaliku ciut.
Aku menggigit bibir, menatap Kai meminta pertolongan. Ibu pasti marah besar. Meski aku dan Kai tidak melakukan hal di luar batas. Sampai rumah nanti, kuyakin ceramah Ibu jika dibuat novel bisa mencapai 500 halaman.
Bersambung
Maafkan baru bisa update, ya. Tengkyu.