Part 10

1037 Words
Kaivan Bedanya wanita baik-baik dengan wanita kurang baik terletak saat menghadapi kemarahan orang tuanya. Jika wanita baik-baik, begitu terciduk saat sedang pacaran pasti akan begitu ketakutan sampai wajahnya memucat. Sama seperti yang terjadi pada Sayangku-Lujeng. Kalau wanita kurang baik, pasti akan santai saja saat tepergok pacaran. Cenderung nggak peduli dan masa bodo. Itu menurut gue aja sih. Pengalaman berhubungan dengan banyak wanita membuat gue tahu, tidak hanya tentang lekuk tubuh mereka, melainkan juga tentang kepribadian mereka. Meski sedikit. Setelah mendapat telepon dari Ibu, Wilujeng termenung dengan wajah pucat pasi di hadapan gue. Gue nggak tega melihatnya, tapi juga merasa lucu. Wanita gue, kesayangan gue, merasa sangat bersalah hanya ketahuan lagi pacaran. Gue sih yakin yang ada dipikiran Ibu sekarang, kami sudah melakukan hal yang tidak-tidak. Padahal kami cuma sekedar menempelkan bibir kok. Tangan gue juga nggak bergerilya kemana-mana, karena gue sekarang sadar, gue meyayangi seluruh hidup Lujeng tanpa terkecuali. Jadi, gue nggak akan menodainya sebelum pernikahan kami terlaksana. Tapi kalau icip-icip pipi atau bibirnya, tolong tolerir gue untuk yang satu itu. Sebagai mantan playboy, susah buat gue untuk pacaran tanpa bersentuhan fisik sama sekali. Gue mendekap tubuh Lujeng yang rapuh. Tapi dia tidak menangis. Gue usap punggungnya lembut, sementara gue mencoba menahan hasrat yang coba gue redam sejak tadi. Desakan dari arah bawah sana, membuat pikiran gue sedikit kacau. Tapi gue nggak boleh lepas kendali, kalau memang ingin mendapatkan Lujeng lengkap dengan restu dari Hendra dan Ibunya. "Kita pulang ya. Nanti biar aku yang bilang ke Ibu." Gue bicara selembut mungkin padanya. "Kita kan cuma ciuman doang, jadi jangan takut." Kali ini nada bicaraku sedikit menggodanya. "Iiih Kai!" Lujeng memukul punggung gue. Dia kesal tapi bisa gue rasakan dia juga tersenyum. "Loh emang iya kan, kita cuma ciuman. Kalau gara-gara ciuman doang kita dinikahin, aku siap aja sih." Lujeng menarik dirinya dari dekapan gue. Mukanya tidak setegang tadi, tapi berganti bibirnya sedikit mengerucut. "Kamu tuh, kalau ngomong. Emang kamu udah siap kalau Hendra tahu hubungan kita? Dia pasti nanti marah sama aku, begitu tahu aku pacaran sama teman dekatnya." Sejak awal gue memutuskan untuk mendekati Lujeng, gue sudah mempertimbangkan sikap Hendra saat tahu hubungan kami dikemudian hari nanti. Dan mungkin sekarang saatnya kami memberi tahu Hendra setelah mencoba backstreet darinya selama dua bulan. "Apa pun yang terjadi aku siap, Yang. Hendra berhak tahu, kalau aku memang menyayangi kakak perempuannya dan ingin memilikinya." Kugenggam lagi jemarinya saat mengatakan itu. "Aku sayang kamu, Lujeng. Kita akan hadapi apa pun yang menghalangi hubungan kita. Bersama." Kukecup buku-buku jarinya pelan. "Janji sama aku apa pun yang terjadi, kita harus sama-sama berjuang." Lujeng balas menatapku. Tatapan kami saling terhubung menghantarkan kekuatan cinta yang masih baru bersemi. Gue tahu jalan kami tidak akan mulus untuk menuju jenjang yang lebih tinggi lagi. Akan ada banyak penolakan, baik dari keluarganya, terutama Hendra, mengingat masa lalu gue yang buruk. Dari keluarga gue sendiri, sejujurnya gue setengah bohong saat mengatakan keluarga gue akan menerimanya. Mungkin iya, tapi jelas jalannya tidak mudah. Statusnya yang pernah gagal menikah akan menjadi sedikit kendala. Tapi gue akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat Lujeng diterima di keluarga gue. Jika keluarga gue pun akhirnya susah menerima Lujeng, gue nggak peduli ... gue akan tetap nikahin Lujeng dengan atau tanpa persetujuan keluarga gue. Kami sampai di rumahnya 45 menit kemudian setelah Ibu menelepon. Wajah Lujeng menampakkan ketakutannya meski tak separah tadi. "Semua akan baik-baik aja," kata gue mencoba menenangkan Lujeng lagi saat dia memberikan helmnya. Lujeng hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan gue. "Sekarang justru aku yang takut," kata gue lagi sambil tertawa bodoh. Mataku melirik pada Avanza hitam yang terparkir lebih dulu sebelum gue dan Lujeng sampai. Lujeng mengikuti arah lirikan gue, lalu mengembuskan napas panjang. Dia menatap gue iba, "kamu beneran siap?" tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran. Sepertinya Lujeng paham betul sifat adiknya yang bisa meledak jika miliknya diganggu orang lain. Dalam hal ini tentu kakaknya yang diam-diam sudah gue kencani. Hendra tidak akan segan membikin muka gue babak belur jika gue berani merusak miliknya. "Aku siap." Kami melangkah pelan menuju pintu utama dengan bergandengan tangan. Sebetulnya gue yang enggan melepaskan tautan tangan kami. Gue ingin menunjukkan pada Hendra dan Ibu, jika gue memang serius akan menjadikan Lujeng milik gue. Belum sempat kami mengucapkan salam, pintu sudah terbuka dari arah dalam, menampakkan wajah Ibu yang merah padam. Matanya langsung tertuju pada tautan tangan kami yang bergenggaman erat. "Bu." Aku menyapa Ibu sambil tetap tersenyum meski dalam hati ketar ketir. Tanganku menyalaminya dengan takzim. Untunglah Ibu tidak menolak gue. Lujeng menggoyangkan tautan tangan kami. Melalui isarat matanya, dia meminta gue melepas tangannya. Dan akhirnya gue lepas juga. "Maaf, Bu, tadi Lujeng lupa nggak ngabarin," ucapnya pelan. Lebih seperti cicitan sebetulnya. Lujeng juga mencium tangan Ibu. "Ayo, masuk," titah Ibu dengan aura Ibu Negara-nya. Tegas dan tak terbantahkan. Yang pasti tanpa senyum. Selangkah kaki gue memasuki rumah Lujeng, aura ketegangan jelas menguar dari ruang tamu rumah Lujeng. Di tambah lagi di ujung sofa sudah ada sosok yang sekarang terlihat menyeramkan. Siapa lagi kalau bukan adik lelaki Lujeng--yang tak lain sahabat gue--Hendra. Gue menatap Hendra sekilas sebelum mendaratkan tubuh gue di sofa tak jauh darinya. Sementara Ibu dan Lujeng duduk di seberang gue, bersisihan. "Lo masuk aja ke kamar!" Hendra berkata dengan dingin dan tatapannya tajam pada Lujeng. Sudah lama gue nggak melihat wajah marahnya seperti sekarang. Gue seperti membangunkan singa dari tidurnya kalau begini. "Gue mau di sini." Kekeh Lujeng menatap Hendra tak kalah dingin. "Apa pun yang akan Ibu dan Hendra sampaikan ke Kaivan, Lujeng berhak tahu. Apalagi kalau ini menyangkut hubungan yang sedang kami jalani." Gue tersenyum samar mendengar penutururan Lujeng yang ingin menemani gue di sini. Setidaknya, itu menandakan jika wanita dewasa itu menyatakan tersirat untuk berjuang bersama menghadapi Ibu Negara juga singa jantan yang siap menerkam. "Jadi bener lo pacaran sama cecunguk ini?" Hendra menoleh sekilas ke arahku saat melempar pertanyaan sarkastis itu pada Lujeng. Gue nggak masalah mau dibilang apa. Yang penting jalan gue berhubungan dengan wanita kesayangan gue dipermudah. Lujeng menatap gue sekilas lalu mengangguk. "Berengsek!" Tanpa ada yang menduga, Hendra menarik krah baju gue. Dan ... Bugh. Gue terhuyung ke sofa dengan sakit di salah satu sudut bibir gue, karena pukulan telak yang dilayangkan Hendra. "BERENGSEK! KENAPA HARUS LUJENG? KENAPA HARUS KAKAK GUE, BANG-KAI? FU**!" Bersambung Singa ngamuk
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD