The Broken Souls

1153 Words
Lexia Dixon Bagian gawat darurat rumah sakit di New York itu penuh dengan korban kecelakaan. Lexia Dixon, dokter magang bedah, yang baru menjalani pekerjaannya sebagai dokter di rumah sakit selama enam bulan bulan terlihat kelelahan. “Setiap hari kematian dan pisau nomor sepuluh!” serunya seraya meletakkan file rekam medis pasien yang baru saja selesai menjalani operasi. Perawat yang menjadi asistennya hari itu mengambil file dan tersenyum samar. “Selamat menjadi malaikat pencabut nyawa!” timpal perawat itu dengan kedipan mata jenaka. Lexi, panggilan dokter muda itu, memberikan senyum miring dan dengan malas melangkah ke arah dokter residen yang menjadi atasannya. Sebetulnya hari ini ia tidak sanggup menjalani kegiatan berat. Konsentrasinya berkurang dan tidak ada satu pun yang bisa ia pikirkan selain ingin tidur. Pertengkaran dengan ibunya semalam, meninggalkan kesan yang begitu mendalam dalam dirinya. Ia berteriak dan memanggil ibunya p*****r! Lexi bisa melihat air mata yang mengalir di kedua pipi wanita yang melahirkan dirinya, namun ia merasa sangat puas bisa menyakiti ibunya. Perselingkuhan yang ibunya lakukan selalu terekam dengan baik dan ia tidak bisa menghilangkan dalam benaknya. Sudah berlalu selama sepuluh tahun, tapi Lexi belum bisa memaafkan ibunya. Gwen Dixon bahkan masih menggunakan nama belakang ayahnya, yang akhirnya menjadi almarhum karena serangan jantung. Seminggu setelah kedua orang tua Lexi berpisah, ayahnya, Liam Dixon, meninggal dunia. Sebagai darah campuran, ayahnya kulit hitam dan ibunya adalah wanita cantik berambut pirang, Lexia beruntung memiliki penampilan sebagai wanita eksotis yang sangat rupawan. Tapi karena pengalaman pahit yang ia alami, Lexia menjadi pribadi yang getir. Pria maupun wanita tidak pernah menarik minatnya. Pertama kali b******a adalah ketika kuliah tahun pertama, dan itu terjadi karena tantangan dari seniornya yang mengatakan jika Lexia adalah lesbian. “Hidup sangat konyol dan takdir selalu bercanda pada kita!” cetusnya saat menghadapi dokter residen yang bersiap memberi tugas berikutnya. “Apakah kau baik-baik saja, Dokter Dixon?” tanya Dean Taylor, atasannya tersebut dengan wajah heran. Lexi biasanya bersemangat menjalani hari-hari, tapi kali ini, dia tampak berbeda. “Tidak! Aku tidak baik! Hidupku tidak akan pernah baik!” jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Dean mengerutkan dahi dan mendekat pada Lexi. “Kau bisa istirahat dan kembali besok pagi,” ucapnya lembut. Pria itu memang sudah lama menaruh hati dan ingin mengajak Lexi berkencan. Sayangnya, Lexi adalah gadis yang selalu serius dan menutup obrolan hangat. Tanpa mengucapkan terima kasih, Lexi berlalu dari hadapan Dean seraya melepas jas putihnya dengan langkah gontai. Benaknya dipenuhi bayangan kejadian semalam lagi. “Jangan mencampuri hidupku lagi, Gwen! Aku tidak ingin kau terlibat dalam lingkaranku selamanya!” Itu adalah kalimat yang Lexi lontarkan ketika Gwen mencoba untuk memberinya kado kejutan pada hari ulang tahunnya, sehari kemudian. Lexia sudah mencoba memberi kesempatan dan Gwen merusaknya. Semenjak ia memergoki ibunya tidur dengan lelaki lain, Lexi pun berhenti memanggilnya ‘mama’. Ini tidak akan pernah berakhir. Lexi kadang benci akan kisah hidupnya. Seandainya bisa menghapus memori ini, ia akan melakukan dengan senang hati. Benarkah beban hidupnya begitu berat? Gwen Dixon Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, tapi Gwen masih terbaring dengan wajah tanpa ekspresi di tempat tidurnya. Pertengkaran dengan putrinya tadi malam meninggalkan luka yang begitu membekas di hatinya.Lexi berhak marah dan kecewa. Ia sudah mendapatkan kesempatan, tapi karena ambisi dan pekerjaannya, Gwen melupakan hari ulang tahun dan kencan makan malamnya bersama Lexi. Hidupnya penuh dengan kesuksesan dan harta yang berlimpah. Tapi tidak sedikit pun kebahagian yang ia dapatkan. Semenjak mendiang suaminya meninggal, Gwen terpuruk dan tidak lagi bisa menjalani hubungan yang sehat. Semua pasti berakhir dengan buruk.Terutama sejak Lexi menutup akses untuk dirinya menjadi bagian dalam hidup putrinya tersebut, Gwen semakin terpukul. Pelariannya adalah pekerjaan. Namun justru karena itulah, Gwen menjadi pengacara handal yang sangat sukses di kota New York. Memiliki biro hukum swasta sendiri, Gwen selalu memenangkan kasus besar dan menjadi pembicaraan tiap pesaing juga kliennya. Dari seluruh daftar keinginan seseorang, memang hampir mustahil untuk mewujudkan semuanya. Gwen mungkin memiliki semua impian masa kecilnya, kecuali satu hal. Menjadi ibu yang baik. Dia tidak pernah menyesal berselingkuh dari Liam. Suaminya tersebut adalah pria pemarah dan egois yang selalu mengekang dirinya serta meminta waktu terlalu banyak. Sementara itu, Liam selalu tenggelam dalam pekerjaan sebagai dokter bedah syaraf terbaik dan mengabaikan dirinya sebagai istri. Tidak ada waktu dan kesempatan untuk menjelaskan mengenai hal itu pada Lexi. Gwen sendiri tidak ingin memberikan kesan buruk tentang Liam. Bagi Lexi, Liam adalah pahlawannya dan Gwen membiarkan itu terjadi. Tapi mengalah dalam waktu yang sangat lama, tidaklah mudah dan melelahkan. Hatinya terus tergores oleh luka yang kini mungkin sulit untuk disembuhkan. Ia meninggalkan pria yang ia cinta, Richard Potter, demi Lexi. Gwen beringsut bangun dan berjalan sembari menyeret kaki menuju meja minibar yang tak jauh darinya. Ia menuangkan whiskey yang harganya cukup fantastis, lalu menenggak dengan cepat. Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiran dari hal-hal yang membuat batinnya tersiksa. Inilah cara Gwen melenyapkan desakan nurani juga beban hidup yang mendera jiwanya selama ini! Ben Hardy Detektif yang baru berusia empat puluh tahun itu kembali menyerahkan file kasus yang baru saja terungkap. Richard Potter, atasannya tersenyum bangga. “Good job, Ben!” pujinya. Ben melambaikan tangan acuh dan melenggang pergi. “Aku libur dua hari!” serunya sebelum lenyap dari pandangan Richard. Ben menyetir mobil SUV-nya menuju sebuah areal pemakaman yang ada di perbatasan kota New York. Lelaki itu mampir sejenak untuk membeli tiga buket mawar yang paling indah. Langkah kakinya begitu bersemangat, dan kini ia tiba di depan dua nisan yang bertuliskan nama belakang yang sama dengan dirinya dulu. Laura Rey-Flemming Cathleen Flemming Dua manusia yang pernah menjadi pusat hidupnya kini terbaring di bawah tanah. Ya, putri tunggal dan istrinya telah meninggal sembilan tahun yang lalu dan dia masih belum bisa melupakan momen mengerikan tersebut. Jika saja ia mendengarkan Richard Potter yang mengatakan untuk membatalkan liburannya, maka keluarganya masih hidup. Ben baru saja menyelesaikan sebuah kasus yang melibatkan Black Domino, mafia yang sangat terkenal dan menjadi buron kepolisian New York kala itu. Black Domino memang tidak pernah tertangkap, tapi Ben berhasil menghentikan ‘human trafficking’ yang diprakarsi oleh mafia tersebut. Ketika dalam perjalanan menuju keluar kota, sebuah truk menabraknya hingga jatuh ke jurang. Black Domino membalas dendam dan ingin membuatnya mati bersama keluarga. Sayangnya, hanya putri dan istrinya saja yang meninggal. Ben selamat dan harus menjalani hidup penuh penyesalan dan tenggelam dalam neraka jahanamnya sendiri! Puluhan terapi ia jalani untuk memulihkan mentalnya, tidak terhitung banyaknya operasi untuk mengembalikan konstruksi wajah dan tubuhnya yang hampir hancur. Richard memberi identitas baru demi menghilangkan jejak bagi Black Domino untuk mengejar anak buahnya tersebut. Craig Flemming berganti menjadi Ben Hardy dan ia menjalani kehidupan baru dengan penampilan berbeda. Tidak ada yang mengetahui karena Craig Flemming telah dinyatakan mati. Ben meletakkan dua buket bunga di atas kuburan istri dan anaknya, lalu terakhir di atas kuburan yang nisannya bertuliskan Craig Flemming. Masa lalunya mungkin terkubur dalam-dalam, namun jiwanya masih menyimpan luka yang belum dan mungkin tidak akan pernah sembuh. Dendam itu masih membara dan Ben Hardy telah menyiapkan diri bertahun-tahun untuk pembalasan yang setimpal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD