Cheating the Death

1069 Words
Ucapan Wilson terus tergiang dan Tyrex mencoba untuk melupakannya. Menganggap bahwa itu hanyalah sekedar ucapan konyol seorang pria tua yang kesepian. Hari ini Tyrex tidak berniat melakukan apa pun. Entah apa yang ada di benaknya, tapi pemuda itu menghabiskan hari itu hanya berdiri di pinggir jalan. Beberapa pejalan kaki melemparkan uang kecil untuknya dan Tyrex tertawa kecil. ‘Inikah cara orang memandangku? Menyedihkan dan butuh belas kasihan?’ Tyrex merasa malu akan kondisi dirinya sendiri. Tubuhnya segar bugar dan sehat. Seharusnya ia bekerja keras dan berpacu seperti anak muda lainnya mengejar karir. Namun apa daya? Ia tidak pernah bersekolah dan hanya puas melahap buku-buku tua perpustakaan untuk menambah pengetahuannya. Pukul enam sore kurang lima menit, ketika matahari hampir tenggelam sepenuhnya, Tyrex berdiri dan mulai melangkah meninggalkan tempat ia duduk selama berjam-jam. Beberapa orang yang mengenalnya mencibir juga menggodanya, tapi Tyrex tidak peduli. Biasanya ia akan meluncurkan kepalan tangannya dan menghajar mereka tanpa ampun. Sudah tak terhitung berapa kali ia masuk keluar penjara, Tyrex seakan kebal menjadi kriminal. Kakinya seakan memiliki keinginan sendiri untuk mengarahkan dirinya menuju ke minimarket Bill. Dari jauh pria itu melihat kedatangan Tyrex dan jengkel menguasai hatinya. Semenjak Tyrex ia pecat karena ketahuan mencuri stok makanan dari gudangnya untuk dijual kembali, Bill membenci pemuda itu setengah mati. Tyrex masuk dan langsung menuju kasir. Hanya ada dua pengunjung saat itu. Seorang gadis remaja yang berpenampilan kusut, dan pria berjas yang sedang memilih alkohol di depan rak minuman. “Kau sudah kuperingatkan berkali-kali, Tyrex! Sepertinya kau harus kuberi ancaman lebih keras lagi!” bentak Bill dengan murka. Tyrex memandang pria setengah baya tersebut dengan pandangan sedih. “Aku pun berpikir mungkin kau satu-satunya harapanku untuk mengakhiri derita ini, Bill.” Pemilik minimarket itu tersentak. Tidak memahami apa maksud dari kalimat Tyrex. “Aku bosan hidup menjadi pecundang. Aku mohon akhiri nyawaku, dan anggap aku perampok yang berusaha mencuri dari tokomu,” pinta Tyrex. Bill melebarkan mata dan tidak percaya akan ucapan yang terlontar barusan. “Ja-jangan mengertak dan membuatku lengah, Tyrex!” ucap Bill seraya mengacungkan telapak tangannya, seperti meminta Tyrex untuk tidak mendekat. Tidak ada pistol yang Bill keluarkan kali ini. Ada sebersit rasa iba yang menelusup hati Bill melihat kondisi Tyrex yang tampak kacau dan putus asa. “Aku tidak pernah meminta apa pun darimu. Sudahi hidupku sekarang, Bill,” pinta Tyrex lirih. Bill tertegun mulutnya terbuka, tapi ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tyrex berdiri dengan bahu terkulai dan tampak rapuh. Jaketnya terlihat kumal dan penutup kepalanya hampir terlepas. Dulu Bill sempat mempercayai dengan sepenuh hati pemuda yang seumuran dengan anaknya tersebut. Semenjak putra satu-satunya mati karena n*****a, Bill memilih untuk hidup seorang diri dan bercerai dengan istrinya. Kehilangan anak bisa membuat segalanya kacau. Tapi Tyrex mengecewakan Bill begitu mendalam. Entah apa yang ada dalam pikiran Tyrex hingga tega mencuri barang dari tokonya. Sebagian isi gudangnya dikuras habis oleh tiga orang, salah satunya adalah Tyrex sendiri. Meskipun saat penangkapan hanya Tyrex yang polisi temukan, Bill justru menemukan sisi lain Tyrex yang lebih menyedihkan. Pemuda itu juga mengkhianati dua rekan pencurinya! “Aku tidak akan membunuhmu, Tyrex! Kau sakit dan butuh bertemu dengan psikolog!” desis Bill tajam. Remaja perempuan yang bertampang kusut muncul di belakang Tyrex dan tampak linglung. Bill ingin segera menyudahi drama ini. Pengunjungnya akan lari ketakutan jika Tyrex berbuat konyol. “Bahkan untuk mati saja, aku tidak memiliki orang yang mau membantuku,” ucap Tyrex getir. “Kau masih punya kesempatan untuk memperbaiki, Tyrex!” teriak Bill tidak bisa menahan rasa kesal atas rengekan Tyrex yang menurutnya menyedihkan tersebut. Mata Tyrex yang berwarna biru menatap Bill dengan sendu. Mata itu menyiratkan putus asa yang begitu mendalam. “Kesempatanku sudah habis,” ucap Tyrex dengan pelan, tapi penuh penekanan. Bill melihat satu sosok pria berseragam masuk dengan pistol teracung ke arah Tyrex. Belum sempat ia berteriak memperingatkan Tyrex, serentetan peluru berhamburan dan menghujani tubuh Tyrex juga gadis yang ada di belakangnya! Bill berteriak histeris dan melompati meja kasir untuk menghampiri Tyrex. Tubuh pemuda itu penuh dengan darah dan sepertinya mustahil masih bernyawa. Bill membopong tubuh Tyrex tanpa berpikir jauh lagi. Teriakan polisi yang memintanya untuk tidak melakukan apa-apa tidak dipedulikan. Bill seperti kalap dan kesetanan. Ia meletakkan Tyrex di belakang truknya dan melarikan ke rumah sakit dengan segera! #_# Lexi mendengar Dean berteriak padanya untuk menyiapkan ruang operasi. Seorang pria baru saja tiba dengan membawa seorang pemuda gelandangan dengan tubuh penuh dengan warna merah. Tidak lama kemudian, datang ambulans membawa pasien kedua, seorang gadis dengan kondisi yang sama. “Kau, bawa pemuda ini! Lakukan operasi segera, aku akan menangani gadis yang satunya lagi!” perintah Dean dengan buru-buru. “Aku masih dokter magang!” teriak Lexi gugup. “Dan kau yang terbaik setelah aku! Dengar Lexi, aku tidak punya waktu berdebat dan mendengar bantahanmu! Lakukan operasi segera dan selamatkan jiwanya! Itu tugasmu sebagai dokter!” teriak Dean seraya menjauh darinya, mengikuti gadis yang tergeletak di atas damkar, menuju ruang operasi. Dokter magang yang satu angkatan dengannya, Chloe, mengangguk dan memberi Lexi dukungan penuh. “Dia sudah memberimu perintah. Jika itu adalah aku, tidak akan bertanya lagi!” timpal rekannya yang selalu membantu mengerjakan laporan tersebut. Lexi menarik napas panjang untuk mendapatkan keyakinan dalam dirinya sendiri. “Siapkan ruang operasi nomor dua, aku butuh lima perawat dan satu dokter anestesi!” teriak Lexi seraya memberi perintah pada semuanya. Operasi berjalan selama enam jam dan Lexi berhasil mengeluarkan semua peluru yang ada di dalam tubuh pemuda tersebut. Sementara pada jam ketiga, Dean sempat masuk dan membantunya mengeluarkan satu peluru yang ada di kepala Tyrex. "Kau lanjutkan, aku harus kembali pada pasienku!" Dean pergi dan membiarkan Lexi kembali meneruskan. “Apa yang terjadi padamu? Kenapa mereka menyerangmu begitu brutal? Kurasa hidupmu sama kacaunya denganku,” gumam Lexi seraya menjahit semua bekas sayatan pisau bedahnya. Sesekali ia menoleh dan menatap wajah pemuda tampan yang ia yakin tidak jauh berbeda dari usianya. Cukup tampan, jika pemuda itu mau mencukur rambut di wajahnya. Bentuk mukanya mirip seseorang, tapi Lexi tidak bisa mengingat dengan baik. Wanita itu melepas sarung tangan medisnya dan melenggang keluar. Masker penutup wajah ia tarik begitu saja, Lexi kembali menoleh untuk kesekian kali. ‘Siapakah dia?’ batinnya begitu ingin tahu. Tidak ada identitas, kartu asuransi juga pengenal lainnya. Pria yang disebut sebagai John Doe* ini membuat Lexi begitu penasaran. *John Doe untuk laki-laki atau Jane Doe untuk perempuan, adalah nama fiktif yang dipakai untuk terdakwa yang nama aslinya tidak diketahui pada saat gugatan disampaikan dalam suatu perkara hukum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD