Kafetaria itu tidak terlalu ramai. Lexi sengaja memilih tempat yang dekat dengan rumah sakit untuk bertemu dengan ibunya.
Biarpun mereka tidak memiliki hubungan harmonis, ironisnya, kantor Gwen hanya dua blok dari rumah sakit tempat Lexi magang, dan bisa ditempuh dengan jalan kaki selama sepuluh menit.
Wanita dengan rambut pirang tebal yang diblow rapi itu berjalan ke arahnya. Baju kantor yang mahal dengan sepatu bermerk, membuat penampilan Gwen begitu eksklusif.
Lexi dengan seragam dokter magang yang berwarna biru, terlihat jauh berbeda dengan penampilan ibunya.
Wajah Gwen tampak ceria dan senyum menghiasi bibirnya yang terpoles lipgloss merah muda. Ibunya masih terlihat cantik dan rupawan.
Usai memesan, Gwen melepas blazer dan menggantungkan pada sandaran kursi. Keduanya duduk di luar dan udara New York yang cukup dingin tidak mengganggu keduanya.
“Terima kasih atas undangannya untuk minum kopi, Lexi,” ucap ibunya dengan senyum tidak lepas dari bibirnya.
Lexi mengangguk dan menyesap kopinya tanpa memperhatikan Gwen.
Harapan Gwen, sore itu ia bisa merengkuh kesempatan yang hilang dan hampir mustahil untuk dirinya dapatkan kembali. Tiba-tiba Lexia mengirim pesan dan mengajaknya bertemu. Jadi, bagaimanapun sikap Lexi, Gwen akan bersabar.
“Aku butuh bantuanmu.” Lexi harus berhenti bicara karena pesanan untuk ibunya datang.
Gwen mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantar pesanannya dan kembali menatap Lexi.
“Mengenai? Jika bisa dan mampu, aku pasti akan membantumu!” sahut Gwen dengan sigap.
Hatinya berbunga-bunga dan tidak bisa menahan kegembiraan.
“Ada sesuatu terjadi dan aku ….”
“Apakah kau hamil? Mau menikah? Atau butuh apartemen baru?” sambar Gwen tidak sabar.
Lexi mengernyitkan dahi atas pertanyaan ibunya yang bertubi-tubi.
“No!! Jangan buat asumsi sendiri dan menduga dengan tidak jelas, Gwen! Dan hamil? Menikah? Astaga! Aku tidak sekacau itu! Apalagi apartemen? Sejak kapan aku membutuhkan uangmu?!” tangkis Lexi dengan ketus.
Gwen terlihat lega dan tidak tersinggung dengan kalimat yang putrinya ucapkan. Mereka memang terbiasa melontarkan kata-kata ketus dan sinis.
“Syukurlah jika begitu! Berarti masalahmu tidak berat bukan?”
“Seorang detektif mendatangiku dan ….”
“Ya Tuhan! Apakah kau terlibat n*****a?!” pekik ibunya kini mulai panik kembali.
“Gwen! Bisakah kau berhenti menebak?!” bentak Lexi mulai jengkel.
Ibunya memajukan bibir dan mencoba menutup mulut supaya tidak membuat jengkel Lexi.
“Detektif Hardy memintaku untuk menghubungimu! Mereka membutuhkan pengacara untuk seorang tersangka yang seharusnya menjadi saksi!”
Mata Gwen memutar dan bersandar dengan ekspresi kecewa.
“Ben Hardy! Kenapa tidak memintaku sendiri?” sahut Gwen tidak terlihat berminat. “Oh, aku tahu jawabannya. Kasus itu terlalu sepele untuk pengacara besar sepertiku!”
Lexi kadang muak akan sikap arogan ibunya yang menganggap diri paling hebat dan terbaik. Namun kenyataannya, Gwen Dixon memang pengacara handal yang hampir tidak pernah kalah dalam setiap kasusnya!
“Tanyakan pada detektif Hardy sendiri! Tapi satu hal yang pasti, ini melibatkan pembunuhan putri dari kepala bagian keuangan New York. Mungkin satu keuntungan untukmu karena bisa menambah koneksi eksklusif!” Lexi tahu dengan pasti, bagaimana membuat ibunya tertarik dan akhirnya mengiyakan tawaran tersebut.
“Maksudmu, pembunuhan tempo hari? Anak dari Robert Palmer?!”
Lexi mengangguk dan kali ini mengambil rokok yang ada di depan, milik ibunya. Dengan santai, ia menyalakan satu batang sebagai pengusir rasa dingin.
Gwen masih tampak berpikir keras dan menimbang. Saat ini dirinya tidak memiliki kasus yang besar. Mungkin menerima kasus yang terkesan kecil itu akan memberinya peluang lagi untuk memancing proyek berikutnya.
Tapi mendadak terlintas dalam benaknya sebagai seorang ibu, Gwen baru menyadari jika Lexi menemuinya bukan karena ingin memperbaiki hubungan mereka.
“Jadi kau menemuiku karena hal ini? Demi orang lain dan bukan karena hubungan kita?”
Sejenak Lexi tersadar dan menjadi serba salah. Ia terjebak, tapi menjawab dengan kalimat tidak tepat akan membuatnya gagal.
Ibunya pasti serta merta menolak lalu meninggalkan dirinya tanpa peduli lagi. Ia tidak memahami, kenapa begitu sulit menjalankan peran sebagai anak dalam keluarganya?
Teman-temannya cukup bahagia dan menceritakan pengalaman bersama keluarga, terutama ibu mereka, dengan mimik yang menyenangkan.
Hatinya tidak bisa memaafkan begitu saja wanita yang telah melahirkan dan sempat menjadi sandarannya selama ini. Seandainya nenek Lexi mau menyempatkan waktu untuk ikut campur dan membenahi hubungannya dengan Gwen, mungkin tidak akan separah ini hubungan mereka.
Tapi neneknya juga setipe dengan Gwen. Seorang pensiunan hakim dan sangat keras.
Neneknya membesarkan ibunya seorang diri tanpa suami. Sepanjang ia memiliki konflik dengan Gwen, neneknya tidak sedikit pun hadir sebagai penengah, hingga ajal menjemputnya.
Keluarga ayahnya tidak mau menerima Lexi karena menganggap bukan berdarah n***o asli. Darah campuran yang mengalir dalam tubuhnya membuat Lexi tidak diterima oleh sisi mana pun.
Meski rambutnya cukup pirang, tapi kulitnya tetap cokelat terang.
“Aku tidak tahu bagaimana memulai ini semua. Tapi anggap saja, permintaan ini sebagai awal dari usaha untuk memperbaiki hubungan kita.” Akhirnya, kalimat itu tersusun dengan rapi dan terdengar tepat.
Gwen tidak percaya begitu saja. Ada sedikit kekecewaan yang menyusup dalam hatinya. Lexia belum sepenuhnya jujur dan memaafkan perbuatan Gwen yang telah berlalu sekian tahun.
Seandainya saja, ia tidak mengejar ambisinya menjadi pengacara terkenal, mungkin Gwen sudah berhasil memberi pengertian pada putri tunggalnya.
Namun hidup penuh dengan tuntutan yang biayanya tidak sedikit.
Selain karena Gwen terbebani oleh bayangan karir ibunya yang menjadi hakim hebat paling ditakuti, wanita itu juga menyiapkan masa depan Lexia sebaik mungkin.
Semua harta yang ia miliki telah tertulis dalam warisan untuk Lexia Dixon. Dia tidak sedikit pun memikirkan untuk menikah lagi karena cintanya pada Richard masih mengendap.
Memendam dalam-dalam kebahagiaannya adalah hal yang bisa ia lakukan sebagai penebusan menjadi ibu yang gagal.
Tidak ingin menambah daftar minus dalam benak putrinya, Gwen merelakan diri dicap sebagai wanita yang tidak setia dan bukan orang tua yang baik.
Hingga titik itu, Gwen rasa cukup.
Jika dirinya menjalani kehidupan dengan pria lagi, mungkin Lexia membencinya seumur hidup dan membenarkan tuduhan padanya selama ini.
“Baiklah. Sebagai permulaan, aku akan pertimbangkan. Bukan karena kasus ini sepele, tapi jika yang menjadi korban adalah putri dari Robert Palmer, maka dia bisa saja menghubungiku untuk menuntut tersangka itu.”
Lexi terlihat lega dan mengangguk. Ia cukup berusaha dan kini tinggal menunggu kabar baik.
“Tiramisu ini sangat lezat! Aku baru tahu ada kafe yang lumayan bagus di sini,” ucap Gwen kemudian.
Tidak ada hasrat ingin melanjutkan obrolan lagi dengan ibunya.
“Lexi! Kau tidak bertugas? Ada rombongan ambulan yang mengangkut korban kecelakaan!” seru Chloe yang muncul dari dalam kafe bersama dua teman magang mereka.
Merasa ini kesempatannya untuk melarikan diri, Lexia mengiyakan dan mengatakan akan menyusul.
“Aku harus kembali,” pamit Lexi dengan buru-buru.
Gwen manggut-manggut dan membiarkan putrinya melenggang pergi. Dengan perlahan ia meletakkan garpu kecilnya dan menarik napas panjang.
Seleranya untuk menikmati tiramisu lenyap seketika.