Being Human with Mistake

1044 Words
Dean dan Lexi dipanggil oleh direktur rumah sakit atas tindakan mereka yang tempo hari. Dean dengan gegabahnya meminta Lexi melakukan operasi sendiri tanpa pengawasan dari dokter residen tetap. Ini adalah hal yang dianggap melanggar peraturan rumah sakit dan program magang. Setelah mendapat ceramah panjang serta surat peringatan, keduanya keluar dengan wajah menyimpan senyum. “Aku tidak menyesal melakukan itu. Menurutku, kau sangat kompeten dalam situasi genting yang menuntut keputusan instan!” tutur Dean dengan santai. “Tidak ada penyesalan dan mungkin aku akan melakukan kesalahan itu lagi jika ada kesempatan! Thanks, sudah mempercayaiku,” balas Lexi. Dean berhenti dan menarik lengan Lexi. Matanya menatap penuh harap ke arah gadis yang membuatnya penasaran setengah mati ini. “Ini kesekian kalinya aku mengajakmu untuk makan malam, Lex,” ucap Dean. Lexi terpana dan tidak menyangka jika Dean masih saja mengejar dirinya. “Dean, aku tidak bisa. Maaf,” sesal Lexi. Dengan segan, ia menarik lengannya dari genggaman Dean dan melangkah cepat meninggalkan lorong tersebut. Dokter tampan itu menatap Lexi dengan kecewa. ## Ben menunggu dengan sabar ketika akhirnya Lexi muncul dan tampak tidak ingin menghabiskan waktu lama-lama di ruangan Tyrex dirawat. “Kondisinya sudah mulai pulih, meskipun harus tetap berbaring di tempat tidur hingga luka pasca operasi mengering. Jika ada hal yang harus kau lakukan dan berkaitan dengan Trey, sepertinya harus kalian tunda hingga dokter Dean menyatakan Trey sehat sepenuhnya.” Lexi memberikan data pasien pada perawat dan bersiap untuk pergi. “Tunggu, bukan itu yang ingin kubicarakan!” seru Ben. Lexi urung dan berbalik kembali. “Aku menemukan sesuatu di rekaman CCTV dan aku ingin menunjukkan pada kalian berdua.” Ben menunggu reaksi Lexi dengan wajah serius. “Kau sudah tahu mengenai niat detektif Hardy, Trey?” tanya Lexi. Tyrex mengangguk. “Aku tidak keberatan.” Trey menunjukkan ekspresi datar dan tidak begitu semangat. Lexi menghela napas dan akhirnya menutup pintu kembali. Ben tersenyum dan mengeluarkan ponselnya serta memutar CCTV kejadian penembakan malam tersebut. Hanya sekitar satu menit lebih tiga belas detik total durasi video, tapi Lexi bisa mengambil kesimpulan yang cukup tepat mengenai tragedi tersebut. “Trey akan menghadapi tuntutan karena tuduhan perampokan dan juga penyebab kematian putri dari pejabat tinggi kita. Sayangnya, bukan itu yang terjadi. Dugaanku tempo hari benar, ada seseorang yang dengan sengaja menembakkan peluru bukan ke arah Trey, namun langsung tertuju pada gadis malang tersebut!” “Ya, jelas terlihat dari sudut penggambilan gambar bahwa oknum polisi itu tidak menargetkan Trey,” timpal Lexi dengan setengah bergumam. “Jadi apa yang akan terjadi padaku?” tanya Tyrex sembari menelan ludah. “Hukuman mati?” “Apa yang kau bicarakan, Trey? Aku dan dokter Dean sudah menyelamatkan nyawamu dan sekarang kau memilih hukuman mati?! Yang benar saja!” tukas Lexi dengan kesal. Ben menoleh pada Trey dan mengernyitkan dahinya. “Kau sengaja memancing mendiang Bill untuk menembakmu? Apakah kau mencoba bunuh diri, Trey?” tanya Ben dengan tajam. “Mendiang Bill telah …. Oh Tuhan! Seharusnya aku yang mati!” ratap Trey dengan kalut. Penyesalan karena baru tahu jika Bill telah mati, membuat Tyrex terpukul. “Bill mati karena menjadi saksi utama kejadian aslinya. Kau akan selamat karena berada dalam perlindunganku! Jadi, berhentilah merengek karena aku membutuhkanmu!” bentak Ben dengan kesal. Trey membuang muka dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak pernah berharap akan selamat. Menyerahkan nyawa dan mengakhiri hidupnya adalah tujuan dari mendatangi Bill. ‘Kenapa aku harus terlibat dalam konspirasi bodoh ini?’ keluh Tyrex dengan putus asa. Lexi menyilangkan tangan di d**a dan mulai tidak sabar dengan semua perdebatan. “Ok! Jadi apa yang kau inginkan dariku, Detektif Hardy?” tanya Lexi. Ben menyimpan kembali ponselnya sementara mencoba meredam emosi yang sempat muncul tadi. “Aku butuh ibumu. Gwen Dixon akan menjadi pengacara Trey sementara aku menyelidiki siapa dalang sebenarnya!” “Ibuku? Kurasa aku tidak bisa membantumu, Detektif! Kau bisa mengatakan sendiri pada pengacara hebat tersebut!” “Aku mohon!” seru Ben dengan suara yang agak tinggi. “Gwen pasti akan menolak jika melihat catatan kriminal Trey. Tapi kita berdua tahu dengan pasti, ada kejahatan yang jauh lebih besar dari yang terlihat saat ini. Orang tua dari gadis tersebut memintaku secara pribadi dan CCTV ini sengaja kucuri demi menutupi pelacakan!” Lexi mengumpat dan duduk dengan sikap kesal. “Kenapa harus menutupi pelacakan? Bukankah akan lebih terbantu jika pihak kepolisian mengetahuinya?” tanya Lexi masih enggan mengiyakan permintaan tersebut. “Karena oknum yang menembak adalah polisi, Lexi! Mustahil mereka menguak siapa pelaku dan pasti ada pihak dalam yang terlibat!” sambar Trey. “Cerdas! Jadi, bisakah kau membantu kami dan menjadi tim rahasia?” tanya Ben masih berharap dan mungkin akan terus meminta hingga berulang kali. Bicara dengan ibunya adalah hal yang paling Lexi hindari. Rasanya malas menghubungi kembali Gwen, karena rusaknya hubungan mereka adalah hal yang sengaja ia lakukan. Lexi ingin menjauhi ibunya dan tidak lagi berhubungan dengan wanita tersebut hingga kapan pun! “Tidak ada kewajiban untukku membantumu. Hidupku sendiri sudah sangat kacau dan aku senang tidak harus bicara dengan Ibuku lagi!” Lexi bangkit dan tidak ingin mengubah keputusannya. “Seharusnya kau memaafkan dia!” seru Ben dengan keras. Langkah Lexi terhenti. “Aku dan Trey mungkin tidak seberuntung dirimu yang masih memiliki keluarga dan bisa diandalkan. Apa pun kesalahan Gwen, dia hanya seorang manusia yang mencoba berperan menjadi ibu, Lexia Dixon. Jelas sempurna bukan salah satu sifat dan karakter makhluk seperti kita, bukan?” Dokter wanita itu tidak segera menjawab. “Kau adalah seorang dokter dan telah mengucapkan sumpah untuk menyelamatkan hidup manusia. Anggap saja, kau sedang menyelamatkan hidup Trey. Dia akan semakin rusak dan mungkin berakhir mati jika kau tidak peduli.” “Hei! Jangan bawa-bawa aku!” protes Tyrex dengan kesal. Lexi akhirnya membalikkan tubuh kembali dan menatap Ben dengan mata sendu. “Suatu waktu, dengan masalah dan situasi yang berbeda, kau akan berada dalam posisi ibumu lalu berbuat salah. Kita hanyalah manusia yang menjadi manusia pada umumnya. Salah, jatuh, terpuruk dan bangkit kembali.” Kalimat Ben menyentuh Lexi dan akhirnya wanita itu luluh. “Aku tidak janji!” sahut Lexi dengan suara yang seperti kering. Ben tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Lexi!” Dengan langkah cepat dan panjang, Lexi meninggalkan kamar. Benaknya mulai menata sebuah rencana untuk menemui ibunya. Ini adalah hal yang jauh lebih sulit dari ujian akhir dokternya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD