The Haunted Whisper

1101 Words
Efek obat yang Tyrex minum setelah makan malam, membuatnya mengantuk dan ia hampir terlelap. Namun tiba-tiba Tyrex mendengar seseorang berbisik di telinga. Suaranya antara ada dan tiada. Matanya terbuka kembali dan ia tidak melihat siapa pun yang ada di ruangan tersebut, kecuali dirinya sendiri. Tyrex melihat ke arah ujung kakinya dan tampak di kaca yang bertirai biru itu, para perawat sedang mengobrol. Pintu kamarnya terbuka sedikit dan ia bisa mendengar jelas topik pembicaraan yang mengarah pada seseorang yang bernama Dean Taylor. Dengan kesal Tyrex menelan ludah dan bersiap tidur kembali. Obrolan para wanita yang memuji betapa tampan dan menariknya sosok Dean Taylor benar-benar membuatnya jengah. Bisikan itu mungkin suara yang terdengar dari luar hingga ke telinganya. Logika Tyrex menyimpulkan dan ia tidak lagi memikirkan hal tersebut. Dua menit kemudian, dengkur halus terdengar dan Tyrex pun kembali terlelap. ** ‘Bangun dan bantu aku ….’ Bisikan wanita itu kembali terdengar dan Tyrex tersentak dari lelapnya. Seorang perawat sedang menyuntikkan obat ke selang infusnya. “Maaf, apakah aku membangunkanmu?” sapa suster itu dengan ramah. Pemuda itu berusaha mengumpulkan kesadarannya dan tersenyum kecut. “Tidak apa-apa.” Dengan penuh perhatian, perawat itu membetulkan letak bantal juga selimut Tyrex hingga terlihat nyaman. “Apakah bantalmu ketinggian?” tanyanya dengan lembut. “Sudah cukup. Ini sangat pas sekali,” jawab Tyrex pelan. “Lanjutkan tidurmu dan maaf aku sudah mengganggu,” pamit perawat itu seraya menenteng kotak yang berisi peralatan medisnya. “Tunggu!” tahan Tyrex. Perawat itu berhenti dan memegang daun pintu kamarnya. “Apakah sebelumnya kau bicara? Aku mendengar seseorang berbisik di telingaku.” Wanita itu mengernyit heran. “Lupakan. Mungkin aku yang bermimpi dan mulai meracau.” Akhirnya Tyrex memutuskan untuk membatalkan pertanyaannya. “Tidak apa-apa. Kau dalam pengaruh m****n, wajar saja jika ada hal-hal yang aneh muncul,” hibur perawatnya dengan senyum geli. “Be-benar. m****n,” gumam Tyrex mulai memahami keanehan yang menimpanya. ** Sinar matahari yang menelusup lewat kaca jendela kamarnya membangunkan Tyrex. Tubuhnya jauh lebih segar dan rasa sakit bekas operasi sudah mulai berkurang. Kini ia bisa menggerakkan tangan serta kakinya lebih mudah, meski perlahan. Jari-jari tangan Tyrex belum sepenuhnya pulih. Setelah menjalani operasi yang mengeluarkan serpihan kecil peluru di bagian dadanya, Tyrex kembali terbaring di atas meja bedah. Sebutir peluru yang bersarang di kepalanya harus dikeluarkan oleh dokter bedah syaraf dalam beberapa kali operasi, dan Dean yang menjadi dokternya. Pagi itu Dean melakukan kunjungan untuk memeriksa kondisi kepala Tyrex pasca operasi. Dengan seksama, Tyrex mengamati Dean. Dokter ini memang sangat tampan dan menarik. Sebuah perpaduan sempurna dengan karir cemerlang yang ia miliki, pasti membuat para pria iri kepadanya. Kini Tyrex membenarkan, wajar saja jika para perawat juga dokter wanita menjadikannya sebagai obyek gosip. “Sejauh ini lukamu mengalami penyembuhan yang luar biasa, Tuan Muller,” cetus Dean dengan suara tegas. “Kau bisa memanggilku Trey atau Tyrex,” tukas Tyrex seraya menarik selimutnya lebih atas. “Terima kasih, sudah melakukan hal yang luar biasa di kepalaku,” ucap Tyrex kemudian. Dirinya mungkin tidak lebih dari berandalan yang hidup di jalanan, tapi etika dan sopan santun tetap ia pegang untuk seseorang yang telah menyelamatkan nyawanya. Lagipula, Dean sepertinya seorang pria yang baik. “Sudah tugasku sebagai dokter, Trey. Sebenarnya yang paling berjasa adalah dokter Lexi. Aku hanya membantu sedikit. Ngomong-ngomong, aku sangat menyukai panggilanmu yang satunya. Tyrex! Wow, sebuah pilihan nama yang sangat keren!” puji Dean tanpa bermaksud mencemooh. “Itu singkatan. Trey Rexon dipersingkat menjadi Tyrex,” jelas Tyrex. “Kurasa kau sudah menduga. Maaf, otakku tidak sepintar kalian.” Dean mengatakan kalimat lainnya dengan sikap yang menyenangkan. Sesaat mereka berbincang dan Tyrex menyadari ada yang salah dengan dirinya. Begitu Dean berlalu, Tyrex terkesima di tempat tidur dengan benak mulai mencari tahu. ‘Kenapa mendadak aku begitu pandai bicara dan bersikap terbuka? Apa yang salah dengan aku?’ batinnya tidak mengerti. ## Buku novel yang dipinjamkan oleh salah satu perawat itu ada di tangan Tyrex. Kisah percintaan yang sebelumnya tidak pernah menarik minat Tyrex, kini terpaksa menjadi hiburan baginya. ‘Bantu aku, tolonglah.” Bulu kuduk Tyrex meremang dan ia menghentikan bacaannya. Ketika menurunkan buku, Tyrex kembali melihat sosok transparan berdarah-darah yang berdiri tepat di sebelahnya. Tubuhnya gemetar dan buku novelnya jatuh terkulai. “Kau hanya bentuk halusinasi. Ini adalah efek dari morfin.” Tyrex mengatakan kalimat itu berulang kali seraya memejamkan mata. “Trey? Apakah kau sedang berdoa?” Seruan itu membuat Tyrex berhenti bergumam lalu membuka mata. “Lexi …,” desis Tyrex lega. “Kau pucat sekali, seperti habis melihat hantu!” sapa Lexi dengan heran. Dokter wanita itu memeriksa tekanan darah Tyrex dan terkejut. “Tinggi sekali. Kau harus berhenti kalut dan panik. Tubuhmu baru saja selesai dioperasi, jika jantungmu bekerja terlalu keras, akan sangat bahaya,” ucap Lexi. Tyrex masih mencoba mengatur napas. “Pernahkah kau melihat hantu, Lex?” Tiba-tiba Tyrex melontarkan pertanyaan yang membuat Lexi terhenyak. Ia menatap manik mata Tyrex dan sepertinya pemuda itu tidak sedang bercanda. Pandangan itu terlihat serius. Lexi menarik sebuah kursi dan duduk di sebelah Tyrex. “Ada kisah gelapku yang tidak pernah aku ceritakan pada siapa pun.” Lexi menghela napas dan mendadak ingin menguak kisah tragis yang pernah ia alami, pada pemuda yang menjadi pasiennya tersebut. “Kau adalah orang luar kedua setelah terapisku yang mengetahui ini, jadi kumohon simpan rapat-rapat,” pinta Lexi menyambung kalimat sebelumnya. “Katakanlah, Lex. Aku tidak punya orang lain untuk berbagi cerita ini sedikit pun!” Dokter wanita itu memainkan kuku jarinya yang terpotong pendek rapi. “Aku pernah mencoba bunuh diri ketika remaja dan sempat koma selama tiga hari.” Tyrex tidak terkejut sama sekali. Ia sudah bisa menebak dengan tepat apa yang akan Lexi katakan padanya. “Semenjak terbangun kembali, aku bisa melihat beberapa dari mereka.” Kini kening Tyrex berkerut. Lexi mengangguk dan tersenyum getir. “Apakah itu berarti kau tahu siapa yang sedang berbisik di telingaku sekarang? Karena aku tidak berani menoleh saat ini!” tanya Tyrex dengan mata melotot. Lexi kembali mengangguk dan menatap Tyrex dengan prihatin. “Aku bisa melihat, tapi tidak bisa berbicara dengan mereka, Trey,” balas Lexi lirih. Pemuda itu menelan cairan mulutnya yang terasa kering. “Sial! Kupikir aku berhalusinasi. Ternyata ini semua nyata,” keluh Tyrex dengan gugup. “Hidup kita sepertinya tidak jauh berbeda,” tanggap Lexi dengan penuh simpati. “Aku tidak pernah mengalami ini sebelumnya, Lex. Sekarang semuanya benar-benar membuatku tidak nyaman.” Butir keringat mulai muncul di keningnya. Lexi menyeset tisu dan mengeringkan dahinya dengan sabar. “Ingat, tenangkan diri dan atur napas. Jantungmu berdetak terlalu kencang.” Saran dari dokternya tidak lagi Tyrex dengarkan. Bisikan yang tergiang di telinganya sangat mengganggu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD