Leading by Destiny

1165 Words
Dengan gontai Lexi keluar dari kamar pasiennya yang bernama Tyrex tersebut. Chloe menyambut di meja perawat, ruang khusus opname pasien pasca bedah di lantai dua tersebut. “Bad day?” tanya Chloe dengan pelan. Lexi duduk di sebelahnya, sementara para perawat lalu lalang. Hari ini banyak sekali pasien baru yang datang. “Pasienku yang ternyata bernama Tyrex, yang berarti predator, hampir game over,” keluhnya dengan wajah lelah. “Kita kelelahan, Lex. Bekerja delapan puluh jam seminggu dan belum ada hari libur sebulan ini,” timpal Chole setengah menghiburnya. Lexi bersandar di tembok dan memandang lurus ke depan, tapi tidak fokus. Matanya nampak menerawang. “Shift-ku sudah berakhir. Mau makan di kantin bersama?” tawar Chloe seraya menjentikkan pulpennya. “Aku akan meninggalkan pesan pada perawatku dulu,” sambut Lexi dengan tidak bersemangat. Keduanya berjalan bersama menuju ke kafetaria rumah sakit setelah Lexi selesai mendelegasikan beberapa hal pada perawatnya. Chloe meletakkan nampan makan siangnya diikuti Lexi. “Aku lihat Taylor selalu memberi perhatian yang lebih padamu. Dia tidak pernah melakukan itu selama ini, Lex. Dokter bedah terbaik yang terkenal angkuh dan arogan, akhirnya menjatuhkan pilihan pada putri ahli bedah terbaik, Liam Dixon,” tutur Chloe setengah menggodanya. “Dari mana kau bisa mendapatkan informasi sebanyak itu, Chloe?” Temannya mengedikkan bahu acuh. “Mungkin hanya kau yang tidak memiliki pendengaran super, Lexia Dixon! Semua membicarakan mengenai McDreame! Tidak ada orang yang tidak terpesona pada Dean Taylor!” “McDreame? Itukah sebutan kalian untuknya?” Lexi memutar mata setengah mencibir. “Dia memang tampan dan menjadi impian wanita, Lex! Kau menyangkal karena penyakit frigid! Jangan seret semuanya untuk memiliki pandanganmu!” Lexi menyantap salad dan membenarkan dengan gumaman tidak jelas. “Aku wanita normal, Chloe.” “Oh ya? Kapan terakhir kali kau b******a, Dixon?” “b******a bukan syarat mutlak untuk menjadi normal!” “Tapi setidaknya insting perempuanmu memiliki radar yang bagus untuk terhubung dengan pria yang kau sukai, sesuai dengan kriteriamu!” “Mungkin aku tidak memiliki kriteria.” “Buatlah mulai sekarang, Lexi!” Wanita itu menghela napas seperti menyerah. “Aku akan mengejar gelarku terlebih dahulu, Chloe. Menjalani percintaan tidak akan mendukung sama sekali. Kekasihku nanti akan menuntut waktu, perhatian dan juga membatasi gerakan!” “Setidaknya berkencan dan b******a saja tidak akan membuatmu terkekang, Lex!” Lexi menghabiskan salad dan bangkit berdiri. “Aku tidak bisa. Maaf, itu bukan duniaku.” Chloe menatap Lexi yang menjauh dan meninggalkan dirinya di kafetaria. Ia memang mendengar selentingan skandal orang tuanya dari para perawat. Ayahnya adalah dokter bedah syaraf terbaik di rumah sakit Wellness Grace, New York. Liam Dixon adalah legenda yang belum pernah ada yang menandingi hingga sekarang ini. Sayangnya rumah tangganya dengan Gwen Dixon tidak semulus karir yang diraih. Chloe sendiri adalah mahasiswi lulusan terbaik universitas Stanford, tapi dengan mudah Lexi melakukan segala sesuatu hampir sama baik dengan dirinya. Enam bulan bersama membuat mereka cukup dekat karena Chloe cukup tahan dengan sikap acuh Lexi yang terkesan sombong dan menghindari pertemanan. Namun setelah ia mengenal Lexi lebih dalam, Chloe menyadari, jika dia bukanlah seperti yang dipikirkan orang-orang. Lexi telah menjalani hidup yang tidak indah. Perceraian orang tua, kematian ayah dan memusuhi ibunya hingga detik ini, membuat Lexi menjadi pribadi yang getir. Mungkin sebagian orang akan menganggap Lexi berlebihan dan tidak bersyukur. Tapi jika kita yang ada di posisi Lexi, mungkin akan mengatakan merasakan hal yang sama. ## Tyrex kembali terjaga dan kali ini, ia bisa menggerakkan tangannya. Mulutnya tidak lagi ada selang yang seperti mencekik leher. “Sebaiknya kau tidak banyak bergerak. Lukamu belum pulih sepenuhnya dan peluru yang baru dikeluarkan dari kepalamu masih rentan pendarahan.” Tyrex menoleh ke kanan dan melihat dokter pirang yang sama. “Kenapa aku di sini? Tidak seharusnya aku ada di rumah sakit,” tanya Tyrex pelan. Lexi melirik sekilas sementara ia masih menyuntikkan antibiotik ke selang infus. “Kau berharap ada di dalam kuburan? Well, guess what? Aku juga berharap hal yang sama saat masalah menghimpitku!” sahut Lexi tanpa simpati. Pemuda itu mengerutkan dahi dan kepalanya kembali berdenyut. “Jangan membuat ekspresi pada wajahmu. Cobalah bersikap datar dan tanpa emosi. Syarafmu masih butuh pemulihan,” saran Lexi. “Lagi pula, belajar tanpa emosi cukup membantumu untuk tidak menyesal terlalu dalam.” Sementara dokternya mencatat, Tyrex mengamati Lexi dengan seksama. “Kau juga memiliki hidup yang kacau,” simpul Tyrex. Lexi menaikkan wajahnya lalu menatap Tyrex. “Kau bukan satu-satunya yang butuh pertolongan, bukan?” tanggap Lexi santai. “Kenapa kau ada di minimarket tersebut? Kesialan yang hampir membuat nyawamu melayang!” Tyrex terdiam dan tidak menjawab. Lexi tertegun dan membuka mulutnya tidak percaya. “Astaga, kau sengaja melakukan itu! Kau ingin bunuh diri?!” “Itu hakku! Jangan menghakimi karena kau tidak tahu apa yang telah aku alami!” “Tidak ada penghakiman, Tuan Muller. Aku hanya iba pada manusia yang berpikiran dangkal.” “Jadi kau menganggapku dangkal?” “Kau sendiri yang mengatakan, bukan aku!” “Bunuh diri di Jepang menjadi hal yang membanggakan! Kenapa di negara ini aku dianggap manusia dangkal yang tidak terhormat?” Entah kenapa Lexi tersenyum dan menatap Tyrex dengan penuh minat. “Percayalah, banyak hal yang dianggap manusia modern tidak layak, sementara di sisi dunia yang lain sebagai sesuatu yang lumrah.” “Kupikir kau seharusnya menjadi salah satu manusia modern itu, Dokter!” “Tuan Muller, aku juga manusia yang butuh alasan untuk membenarkan kekonyolanku,” sahut Lexi hendak berlalu. Tyrex terdiam dan menghela napas. “Maukah kau duduk sebentar? Di sini? Bersamaku?” Ini pertama kalinya Tyrex meminta pada seseorang untuk menjadi teman bicara. Lexi yang baru melangkah dua ayunan berhenti. Wanita itu berbalik dan memandang Tyrex yang seperti berharap ia akan mengatakan iya. Pemuda itu tampak sungkan juga gugup. “Kau tidak suka berteman dan selalu menghindar segala bentuk hubungan yang mengikat. Kenapa sekarang butuh teman bicara?” tanya Lexi menebak dengan tepat. “Bagaimana kau ….” “Tahu?” Lexi mendekat lalu menyeret kursi dan duduk di sebelah kanan ranjang Tyrex. “Karena aku pun memiliki karakter yang sama.” “Aneh sekali. Dua pribadi asing yang memiliki karakter serupa mencoba saling menghibur.” Tyrex mencoba membuat lelucon dan terdengar begitu pahit. “Mungkin seperti inilah takdir bekerja, Tuan Muller,” balas Lexi lembut. “Tyrex atau Trey. Muller terlalu bagus untukku.” “Lexi, dokter yang akan menjadi teman bicaramu selama masih dalam kondisi waras.” Keduanya mengobrol dalam topik yang mengalir dan begitu mudah menemukan bahan untuk dibicarakan. Tidak ada pembicaraan mengenai hal-hal pribadi, semua hanya mengenai sesuatu yang umum tapi sangat menarik untuk dibahas. Setengah jam berlalu hingga Tyrex harus istirahat dan Lexi berpamitan padanya. Ketika menutup kamar, Lexi merasakan langkah kakinya ringan dan hati yang sedikit terhibur. Ternyata butuh seseorang yang bernasib lebih buruk darinya untuk menjadi kuat dan kembali bersemangat. Lexi tidak lagi memikirkan masalah ibunya dan segala gejolak amarah yang masih terpendam. Tyrex hadir sebagai pribadi yang cukup menyenangkan dan Lexi merasa jauh lebih baik saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD