Chapter 3

2161 Words
Mikael POV Saat ini aku sedang nongkrong di kantin bareng Alex. Sebenarnya aku penasaran apa yang terjadi kemarin setelah pria itu pergi sambil menggendong Alex. Apa hubungan mereka? Aku ingin tanya, tapi nggak tahu harus gimana ngomongnya. Tiap kali membayangkan pria itu bersama Alex, aku jadi cemburu. Seperti aku benar-benar sudah mencintainya. Padahal aku bahkan tidak tahu namanya. Terlebih lagi setelah perlakuan kasarnya padaku kemarin. Jujur aku sampai gemetaran ketakutan melihat seberapa angkuh dan dinginnya pria itu, tapi tetap saja perasaanku padanya tidak bisa hilang. Kenapa ia begitu menakutkan dan pemaksa? Kenapa aku masih bisa suka padanya setelah melihat seberapa buruk sifatnya? "Mikael ... Mikael ... woi!" Suara panggilan Alex menyadarkanku. "Apaan lu, teriak begitu?" Aku agak sewot jadinya. Gara-gara pria itu aku jadi mulai tidak menyukai Alex. Teman dekatku sendiri. "Lu kenapa melamun? Sakit? Nasgor lu masih utuh tuh, nggak dimakan dari tadi." Eh, yang benar saja, nasiku benaran masih utuh. "Gua nggak apa-apa, kemarin lu kenapa? Tuh cowok yang gendong lu pergi siapa?" Karena sudah penasaran, daripada aku tahan, mending tanya. "Sulvian Juan Angelo. Orang tertiran dan terkejam sedunia." lho nih, Alex kok jawabnya ngaur gitu. Eh, tapi dia kasih tahu nama pria itu. Gak apa-apa deh jawabannya ngaur. "Gua tanya dia siapa lu! Bukan tanya nama lengkapnya, apalagi sifatnya. Sudah kelihatan kejamnya dari kemarin kok," cuapku asal, sekalian protes. "Gak penting! Malas gua omongin Mr. Sok Perfect itu! Lu jangan kepo gitu dong. Daripada itu, lu nggak luka? Punggung lu nggak apa-apa? Kemarin gua lihat lu dihempaskan ke tembok." Nah malah khawatirin aku. Alex ruh ... kadang kesal juga ngomong sama cewek ini, gua penasaran dengan hubungan kalian tahu! "Gua nggak apa-apa, cuma memar dikit. Sudah gua obatin kok" "Oh, ya sudah kalau nggak apa-apa, tapi kalau nanti keadaan lu memburuk, lu harus ke rumah sakit ya! Gua bakal tanggung jawab bayarin biaya berobat lu!" Aku langsung jadi makin penasaran dengan hubungan mereka. "Dia yang bikin gua luka, kenapa lu yang tanggung jawab? Jangan-jangan cowok itu selingkuhan lu ya, Lex?" "Enak Saja! Dia it –" sebelum Alex selesai bicara, Fabian tiba-tiba datang dan memotong. "Siapa cowok yang Mika-chan maksud? Lu selingkuhin gua." Dia tampak sangat marah. "Alex, jawab!" bentak Fabian. Karena Alex hanya diam sambil menatap ke arah pintu masuk kantin. Lho kenapa? Karena penasaran aku pun melihat ke arah pintu juga. Jantungku langsung berdebar-debar. Pria itu ada di sana, berjalan dengan percaya diri ke arahku. Ralat, yang benar ke arah Alex. Alex pun menunjuk pria itu sambil menatap Fabian. "Tuh, cowok yang dimaksud Mikael" Dengan muka santai pula. Aku sampai merasa bodoh, mencemaskan teman seperti ini. Dan anehnya, setelah Fabian melihat pria itu, dia langsung tampak santai. Kemarahannya hilang begitu saja. Mereka saling kenal? "Mau apa lagi lu ke sini?" tanya Alex, begitu pria itu duduk di sampingku. Dan Fabian duduk di samping Alex. "Jaga kata-katamu, Miss Angelo!" Pria itu membalas dengan nada dingin memerintah. Tunggu? Kenapa dia panggil Alex dengan Angelo? Kemarin-kemarin pria itu memanggil Alexandra? Sial gua tambah kepo! Nggak apa-apa nih menguping gini? Tapi Fabian juga cuma diam menguping pembicaraan mereka. "Gua malas pakai etika selain di kantor, gua janji deh nanti kalau kita ketemu di kantor gua pakai bahasa formal" Hah? Kantor? Alex, kan pengangguran alias ibu rumah tangga? "Baiklah. Aku lelah berdebat denganmu, ini berkas-berkas yang harus kau tanda tangani, mengenai pembicaraan kita kemarin." Pria itu butuh tanda tangan untuk apa? Makin dengar, makin bingung! Lihat muka mereka berdua, datar dan dingin. Fabian juga mukanya datar. Ini soal apa? "Oke, gua baca dulu. Eh, tunggu apaan nih nama? Kan sudah gua bilang gua pakai nama Angelo sebagai nama tengah. Kok balik ke nama gua yang lama sih. Ganti ... ganti!" omel Alex, sambil mengembalikan segepok berkas tadi. Kenapa Alex pakai nama keluarga pria itu? "Jadi Menggunakan nama apa? Haruskah aku memanggil pengacara untuk mengurus segala surat-surat peralihanmu?" Belum lagi pembahasannya. "Yap, harus gitu! Sekalian urusin pengubahan nama gua, baru peralihan aset." Maksudnya apaan? Gua tambah kepo. Tiba-tiba Fabian bertanya, "Alex, lu mau balik ke keluarga Angelo? Terus pernikahan kita gimana?" Apa maksud Fabian? Mereka mau cerai dan Alex balik ke pria itu gitu? Tunggu ... kalau balik berarti mereka bukan mantan pacar, tapi pria itu mantan suami Alex? Gue shock!! "Iya Fabi. Nanti anak kita pakai nama belakang Angelo ya. Gua sudah janji bakal beri Tuan Tiran penerus." Lebih shock lagi dengar gimana Alex jawab dengan santainya. Hoi!! Pernikahanmu dalam masalah tahu Lex! Aku jadi emosi sendiri, pengen rasanya memaki cewek satu ini. Kenapa pria ini bisa-bisanya suka sama Alex yang kayak gini? Dengan ragu-ragu aku melirik ke sampingku, melihat pria itu. Dia yang sadar dengan tatapanku, menatap balik. Kami jadi saling berpandangan, mengabaikan sepasang suami-istri yang tengah berbicara serius. Pria itu kemudian tersenyum miring ke arahku. Wait! Tangannya! Tangan pria itu memegangi wajahku. Dia ... menciumku!? Tanpa memedulikan sekeliling, seolah pria itu lepas kontrol, ia menciumiku penuh tuntut. "Ah!! Mr. Sok Perfect, ternyata lu memang gay! Ngakunya normal! Gila lu, tuh teman gua yang lu nyosor!" Pekikan Alex membuat pria itu melepas ciumannya, sesaat aku melihat wajah terkejutnya, tapi dengan cepat langsung berubah datar kembali. "Lupakan yang tadi," perintahnya padaku. Aku langsung berdiri dengan marah. Lalu berteriak, "Enak saja lu ngomong begitu! Sudah seenaknya lu nyium gua, terus lu suruh lupakan? Sialan lu!" Sambil memelototinya. Raut wajahnya tidak berubah sedikit pun. Matanya begitu penuh daya pikat, seakan bisa mengikat hatiku dalam sekejap. "Lalu apa maumu? Ingin aku bertanggung jawab menjadi kekasihmu?" Dia mengejekku setelah itu. Sengaja menggunakan kata-kata seperti itu, karena dia pikir aku tak akan berani membalasnya. "Kalau iya kenapa? Lu cuma bisa ngomong doang? Coba buktikan!" Gimana sekarang? Bisa ngomong apalagi kau. "Baiklah, Mika-chan. Aku selalu memegang ucapanku. Mulai sekarang, kita adalah sepasang kekasih." Harusnya aku tertawa saat ini, bukannya jadi diam karena shock oleh balasannya. *** Sulvian POV "Lupakan yang tadi!" kataku. Setelah kesadaranku kembali karena mendengar teriakan adik kecilku. Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Ketika tatapan kami saling bertemu, seolah tersengat listrik,  dengan sendirinya tubuhku bergerak mendekat dan mencium bocah berambut merah di hadapanku. Meski jujur, bocah laki-laki ini sangat cantik melebihi seorang wanita, tapi lepas kontrol dan menciumnya di tempat umum seperti ini? Kurasa aku benar-benar harus menemui psikiaterku. Bocah itu langsung bangkit berdiri, menatapku penuh kemarahan dan kemudian berteriak, "Enak saja lu ngomong begitu! Sudah seenaknya lu nyium gua, terus lu suruh lupakan? Sialan lu!" Wow ... jelas ia tidak terima dengan tindakanku tadi. Ya, itu wajar saja, laki-laki mana yang akan terima bila dicium laki-laki lain di tempat umum? Jelas tidak ada, kecuali dia sejenis dengan Marvis, sepupuku yang jalang. Aku tidak takut dengan kemarahanmu, bocah. Coba lihat apa yang bisa kau katakan sekarang. "Lalu apa maumu? Ingin aku bertanggung jawab menjadi kekasihmu?" balasku. Dengan raut wajah datar, menyembunyikan isi pikiranku darinya. Dia pasti tidak akan bisa berkutik sekarang. "Kalau iya kenapa? Lu cuma bisa ngomong doang? Coba buktikan!" Apa katanya? Dia malah menantangku? Beraninya, lihat saja bocah kurang ajar! Tidak ada yang boleh meremehkanku! "Baiklah, Mika-chan. Aku selalu memegang ucapanku. Mulai sekarang, kita adalah sepasang kekasih." Aku membalas dengan serius, membuat bocah itu begitu shock. Wajahnya langsung memucat. Ia kemudian mengambil tasnya dan berlari menjauh dari ku. Dia kalah. Rasakan! mulai saat ini kau adalah mainanku, Mika-chan. Setelah itu, dengan mengabaikan berbagai pertanyaan dan sumpah serapah dari adik kecilku, aku pergi meninggalkan kampus ini. Jika kalian berpikir kalau aku adalah gay, kalian salah! Ini hanya main-main, tidak lebih dan jelas aku tidak mencintai bocah berambut merah itu. Aku hanya akan mempermainkannya, membuatnya bertekuk lutut di kakiku, lalu kubuang dia. *** Seminggu berlalu sejak pertemuan terakhirku dengan bocah laki-laki berambut merah itu. Di tanganku sudah ada data lengkapnya. Setelah pergi meninggalkan kampus saat itu, aku segera menyewa orang untuk mendapatkan informasi tentangnya. Ini kedengarannya licik, tapi jelas aku tidak peduli. Informasi adalah sesuatu yang sangat penting, jauh lebih mudah menjinakkan mangsamu, bila kau mengetahui banyak hal tentangnya. Dan betapa terkejutnya aku. Mikael Roug, dia seorang gay. Di sini jelas tertulis, ia pernah berkencan dengan beberapa pria sebelumnya. Bahkan ada lumayan banyak foto mesranya bersama dengan mantan kekasihnya. Aku mengusap wajahku kasar, ada sedikit rasa sesak saat melihat foto-foto itu. Perasaanku menjadi aneh. Bisa kurasakan kemarahan menyelimutiku, tapi kenapa? Jelas aku tidak berbagi. Aku tidak pernah menyukai siapa pun yang mencoba menyentuh milikku, tapi apakah bocah itu adalah milikku? Aku menjadikannya kekasihku hanya karena iseng, bukan karena aku menyukainya. Sial! Hatiku panas. Saat ini aku tidak ingin memedulikan apa pun. Aku hanya ingin menemuinya dan memilikinya. Segera kukendarai mobilku melaju ke rumahnya. Ya, tentu alamatnya juga tertera di file tadi. Dengan seenaknya, kulangkahkan kakiku memasuki rumah Mikael. Segera setelah pengurus rumahnya, membukakan pintu untukku. Mataku bertemu pandang dengan sepasang suami-istri paruh baya. Mereka adalah Mr. dan Mrs. Roug, orang tua Mikael. Bisa kulihat mereka sangat terkejut mengetahui kehadiranku. Yah, itu wajar. Karena kami sudah saling mengenal. Pasangan Roug adalah salah satu rekan bisnisku. Perusahaan mereka tidak terlalu besar, tapi cukup stabil. Maka dari itu, ini menguntungkanku. "Selamat siang Mr. Roug, Mrs. Roug," sapaku, seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Mr. Roug. "Selamat siang Sir Juan, apa yang membuat Anda sampai harus mendatangi rumah saya? Apa ada masalah?" tanya Mr. Roug dengan nada bicara tenang, tapi bisa kulihat ia mulai gugup. Bahkan Mrs. Roug tampak pucat dan tak bersuara di samping suaminya. Tentu wajar, bila mereka takut padaku. Mudah bagiku untuk menghancurkan hidup mereka, jika mereka mencoba mengusikku. "Saya menjalin hubungan dengan putra bungsu Anda, Mikael. Saya harap Anda berdua bersedia mendukung hubungan kami," Kataku tegas, jelas aku tidak menerima bantahan. "Dan saya ingin mulai sekarang, Mikael tinggal bersama saya. Tentu saja segala urusannya menjadi tanggungan saya," lanjutku, yang membuat pasangan Roug tampak sangat terkejut. Segera setelah Mr. Roug menenangkan diri, ia bertanya dengan ragu-ragu. "Tapi Sir Juan, Anda dan Mikael sesama lelaki. Bagaimana mungkin? Bukankah Anda adalah kepala keluarga Angelo? Tidakkah Anda membutuhkan penerus? Jelas itu bukan sesuatu yang bisa diberikan oleh putra kami." Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan pria setengah baya di hadapanku ini. "Tidakkah Anda mendengar rumor bahwa semua anak lelaki Angelo adalah gay, Mr. Roug? Jelas saya juga termasuk, saya menginginkan Mikael. Bukankah kita partner? Saya harap Anda tidak menolak niat baik saya. Karena Mikael juga sama seperti saya, ia hanya tertarik kepada pria." Mr. Roug kembali terkejut mendengar perkataanku. Sepertinya dia tidak tahu-menahu tentang kehidupan asmara putranya. Aku bahkan sampai harus berpura-pura menjadi gay demi agar bisa memiliki bocah itu. Tak akan kubiarkan pengorbananku tanpa hasil. Maka dari itu, semakin pria tua itu menyangkal, semakin juga aku menekannya. Hingga akhirnya dia tak lagi memiliki pilihan lain selain memberiku persetujuannya. "Baiklah jika demikian, saya hanya bisa bilang tolong jaga putra saya," ujar Mr. Roug. Setelah itu kami berbincang-bincang hingga Mikael pulang. Begitu ketemu, tanpa basa-basi – mengabaikan teriakan dan protes yang dilontarkan bocah itu, setelah berpamitan dengan pasangan Roug, aku pun menyeret paksa Mikael ke apartemenku. Tidak sulit menyeretnya karena dia memiliki tubuh yang jauh lebih kecil dari ku. *** Mikael POV "Apa mau lu?" bentakku, setelah tubuhku dihempaskan dengan kasar ke atas kasur apartemen pria itu, Sulvian. Aku tidak tahu bagaimana bisa ia di rumahku dan kenapa orang tuaku membiarkannya begitu saja menyeretku pergi di hadapan mereka. "Mulai hari ini kau tinggal di sini, Mika-chan. Aku sudah mendapatkan izin dari Mr. Roug, dan tenang saja. Besok pagi, pakaian dan peralatan kuliahmu sudah akan ada di sini. Kau milikku ingat? Bukankah minggu lalu kita sudah menjadi kekasih?" Apa katanya? Kenapa bisa? Itu sebabnya Papa membiarkannya menyeretku pergi? "Bagaimana bisa Papa memberi lu izin? Dan lu bahkan nggak menemui gua seminggu ini! Sekarang tiba-tiba tinggal bersama? Lu gila!" Aku berteriak frustrasi. Walaupun aku menyukainya, tapi tinggal bersama? No!! Dia malah terkekeh di hadapanku, seolah menikmati menggodaku. "Aku mengatakan bahwa kita adalah sepasang kekasih yang ingin tinggal bersama. Berhubung ayahmu adalah partner bisnisku, beliau memberi kita restu, Mika-chan. Satu lagi, mulai sekarang kau panggil aku dengan namaku. Tidak ada bantahan, mengerti?" jelasnya yang membuatku memelototinya. "Bohong lu! Mana ada orang tua yang memberi restu pada anaknya yang gay!" "Well ... ayahmu memberi restu, atau lebih tepatnya terpaksa menyerahkanmu padaku. Ia kembali menjawab sambil mengelus pipiku, dan kenapa aku diam saja!? "Kenapa?" tanyaku gugup. Ia semakin mendekat. "Karena Mr. Roug cerdas, bocah." Dia mulai menggodaku. Dengan nada bicara meledek, membuatku tambah bingung. "Maksud lu apaan?" "Kau sangat bodoh, Mika-chan." Apa? Kenapa dia jadi menghinaku. Merasa tersinggung, aku mendorongnya menjauh, tapi ia tampak tak peduli. Pria itu lalu duduk di sofa dan melanjutkan perkataannya. "Aku punya kekuasaan yang mampu menghancurkan perusahaan dan keluargamu. Bahkan aku bisa membunuh beberapa orang, kemudian menutupinya dan kembali menjalani hidupku tanpa masalah. Ayahmu pintar karena tidak berani menentangku, kau tidak pernah mendengar tentang kekuasaan keluarga Angelo? Kamu bahkan sahabat Alexandra, tapi tidak tahu apa-apa." Malah bicara panjang lebar, sesuatu yang membuatku kembali terkejut. Iya, aku baru ingat sekarang. Papa pernah bercerita tentangnya, dia pria yang berkuasa, sekaligus sangat kejam. Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta padanya? Terlibat sejauh ini dengannya. Sekarang aku menyesal menentangnya minggu lalu. Harusnya aku tidak memintanya menjadi pacarku. Mulai sekarang akan jadi apa hidupku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD