Chapter 2

2849 Words
Mikael POV Seperti dejavu, aku kembali memandangi punggung pria itu. Dia berjalan pergi dengan kemarahan. "KETERLALUAN! KAU MENOLAK PERMINTAAN AYAH UNTUK MEMBERI PENERUS PADAKU DAN PERGI MENINGGALKAN KAMI DENGAN ALASAN TIDAK MENGINGINKAN PERNIKAHAN DAN ANAK! TAPI SEKARANG APA? KAU HAMIL TIDAK JELAS SIAPA AYAHNYA" Kata-katanya terngiang-ngiang di kepalaku. Membuatku mulai memikirkan yang tidak-tidak. Seperti ... apa dia mantan pacar Alex? Dia marah karena Alex meninggalkannya dan memilih Fabian? Sampai-sampai dia meminta anak Alex? Apa maksudnya? Hatiku sakit hanya dengan memikirkan kemungkinan itu. Kayaknya aku sudah benar-benar menyukainya. Apakah ini mimpi buruk? Aku harus bersaing dengan Alex jika ingin memilikinya? Dengan hati yang galau, sambil mengabaikan anak-anak yang bertanya karena penasaran, aku berjalan ke parkiran tempat motorku terparkir. Memutuskan untuk pergi dari sini dan menenangkan pikiranku. *** Sulvian POV Dengan pikiran yang dipenuhi amarah dan kebingungan, lantaran mengetahui kenyataan mengejutkan tentang kehamilan adik kecilku, kulajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Mengabaikan klakson dari pengemudi lain yang terganggu. Menuju sebuah bar yang sudah menjadi langgananku. Hingar-bingar musik keras memekikkan telinga sama sekali tidak menggangguku. Aku segera berjalan menaiki tangga ke lantai dua, ruang VIP di mana Dean dan Marvis sudah duduk di situ menunggu kedatanganku. Aku sangat akrab dengan mereka sejak kecil. Karena jarak umur kami yang dekat, apalagi kami bertiga berbagi semua hal sejak tragedi mengenaskan yang menimpa keluarga kami, sekaligus membuat kami begitu takut dan benci pada wanita. Kabar yang beredar mengatakan bahwa terjadi kebakaran di rumah utama keluarga kami, saat sedang berlangsung acara keluarga bersama di akhir tahun yang sudah menjadi rutinitas bagi keluarga kami dulunya. Akan tetapi, semua itu hanya kebohongan yang dibuat ayah demi menutupi kejadian sebenarnya. "Hei! Dean, Marvis," sapaku, sambil menepuk bahu mereka satu persatu. "Hei, Vian. Bagaimana kabar adikmu?" tanya Marvis. Sedangkan Dean yang sejak lahir memang pendiam kalau lagi bas mood, hanya menganggukkan kepala menjawab sapaanku. Aku hanya bisa menghela napas berat mendengar pertanyaan dari sepupuku itu. "Baik dan buruk,” memberikan jawaban singkat yang membuat mereka merasa bingung. "Maksudnya? Ada kabar baik dan buruk tentang adikmu?" Aku hanya mengangguk membenarkan pertanyaan dari Marvis. "Jelaskan," pinta Dean singkat. "Iya. Kabar baiknya Alexandra sedang hamil, jadi jelas kita tidak perlu takut dia menolak mengandung penerus untukku. Kabar buruknya, aku tidak tahu siapa ayah dari bayi itu." Kedua sepupuku terkejut. Tidak heran jika mengingat seperti apa sifat adik kecilku. Ia begitu anti sosial dan sulit menjalin hubungan dengan orang lain, dibandingkan dengan kami. Maka dari itu, rasanya begitu mengejutkan saat tahu ia memiliki hubungan intim dengan seorang pria. "Wow ... kelihatannya memang masalah penerus terpecahkan, tapi jelas kita masih harus membujuknya kembali ke kita." "Ya, itu masalah berbeda lagi. Dia begitu keras kepala!" "Bagaimana jika kita menemuinya bertiga? Biar kami bantu membujuknya. Lagi pula sudah 6 tahun kami tidak bertemu dengan adikmu," tawar Marvis, tapi aku menolak. Aku masih sanggup mengurus adik kecilku sendiri. Setelah itu, kekasih pria mereka datang dan arah pembicaraan berubah. Ya, kekasih pria. Bukankah sudah pernah kukatakan bahwa mereka gay? Dan setiap berganti kekasih ... seperti sebuah kebiasaan, mereka pasti mengenalkannya padaku. *** Sepulang dari bar, aku langsung berjalan ke kamar tidur di apartemenku. Langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Entah apa yang merasukiku, begitu kubaringkan badanku ke kasur, bayangan tentang laki-laki berambut merah itu terus-menerus bermain di otakku, tanpa ada niat untuk pergi. Apa yang terjadi padaku? Apakah aku menyukai bocah yang dipanggil dengan Mika-chan itu? Sejak kapan aku jadi tertarik pada laki-laki? Namun, dengan cepat kusangkal perasaan aneh itu. Segera menghilangkannya dari pikiranku. Menutup mata dan mengistirahatkan diri. *** Untuk ke sekian kalinya, aku kembali ke kampus ini. Meninggalkan cukup banyak pekerjaan. Apalagi alasannya, jika bukan untuk menemui adik kecilku yang begitu keras kepala. Hanya saja, keberuntungan tidak berada bersamaku hari ini. Satu jam aku berkeliling, apa yang kucari belum juga kutemukan. Apakah dia tidak ada kelas hari ini? Haruskah kucari tahu jadwal kuliahnya? Sungguh menyebalkan! Hei, tapi sepertinya hari ini tidak begitu buruk. Tanpa sadar aku tersenyum tipis saat pandangan mataku bertemu dengannya. Bocah berambut merah. Kulangkahkan kaki mendekat padanya, hingga kami saling berhadapan dengan jarak yang sangat tipis. Bisa aku lihat bola matanya besar dan indah, memikat seperti sihir. Aku bahkan sadar bahwa warna softlens yang dipakainya berbeda. Kuning keemasan mirip mata kucing. Menarik dan unik! Apakah anak seumurnya memang suka berpenampilan berlebihan? Kupikir itu bodoh sekali, tapi ia terlihat sangat manis dengan penampilan seperti itu. "Apa mau lu?" Suaranya menyadarkanku pada kenyataan, ucapan yang kasar dan tidak beretika khas seorang bocah. "Di mana bisa kutemukan perempuan itu?" tanyaku. Kurasa dengan hanya melihat bocah ini, sudah cukup membuat mood-ku membaik. Jadi aku tidak akan membentaknya kali ini. "Gua nggak bakal kasih tahu lu! Dengar ya, Alex sudah bersuami. Jadi hentikan mengganggunya!" Nada bicaranya semakin ketus, jelas terlihat ketidaksukaan dalam kata-katanya. Akan tetapi, apa tadi kata bocah ini? Adik kecilku sudah menikah? "Apa itu benar?" tanyaku lagi, aku perlu kepastian. "Maksud lu? Apa yang benar?" Namun, ia malah tampak bingung dengan pertanyaanku. Dasar bocah bodoh! Haruskah kutanyakan panjang lebar dan sejelas-jelasnya agar dia paham? "Alexandra, benarkah wanita itu sudah menikah? Kapan? Dengan siapa? Apa kau yakin? Bukan hanya kabar tanpa bukti?" Oke, sekarang sudah kutanyakan dengan detail. Jika bocah ini masih juga tidak mengerti, maka jelas ia terlalu bodoh. Dia tampak makin kesal menghadapiku. Alisnya yang mengerut justru membuat ia tampak makin imut di hadapanku. Tunggu dulu! Apakah aku baru saja memujinya? Kurasa aku perlu menemui psikiaterku. Sementara aku menunggu jawaban sambil menatap wajahnya, ia malah membalikkan badan dan berjalan menjauh dari ku, tanpa menjawab pertanyaanku!? Kurang ajar! Tidak ada yang boleh mengacuhkanku. Dengan langkah kaki cepat aku mengejar bocah itu, menariknya ke arahku. Segera kubanting badannya ke dinding beton di sampingku dan menghimpitnya dengan tubuhku. Kedua tanganku mengunci pergerakkannya, mengabaikan ia yang meringis karena punggungnya kuhempaskan dengan kasar. Meski aku yakin ia pasti akan mendapatkan memar yang cukup besar dengan perlakuanku padanya, tapi aku tidak peduli. Aku kejam? Well ya ... lalu apa masalahnya? Aku tidak suka diacuhkan maupun dibantah. "Sepertinya kau harus diajarkan sopan santun, Mika-chan," kataku dengan nada bicara dingin sambil memegangi dagunya, mengangkat kepalanya hingga kami saling berhadapan. Dia terlihat ketakutan. Itu bagus untukku, bocah ini perlu diajari rasa takut dan hormat padaku. "Jadi, jawab pertanyaanku tadi bocah!" perintahku. Namun, ia tidak bergeming. Hanya gemetaran ketakutan tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulut manis menggodanya. Hei, tunggu! Jelas pikiranku mulai aneh! Menggoda? Aku tergoda pada bocah ini? "Tuan Tiran, menjauh darinya! Gua tahu lu ke sini buat nyari gua!" Terdengar suara teriakan penuh ancam tanpa sopan santun. Yah, siapa lagi jika bukan adik kecilku yang nakal. "Urusan kita belum selesai, Mika-chan," bisikku di telinga bocah itu. Kemudian melepaskannya. Berjalan ke arah suara kurang ajar tadi dan begitu sampai di hadapan wanita keras kepala ini, tanpa peringatan langsung kugendong ala tuan putri. Mengangkatnya berjalan menuju mobilku yang terparkir manis. Mengabaikan teriakan sumpah serapahnya. Sebelumnya, kulirik arah bocah berambut merah itu. Dia terduduk di lantai dengan muka yang masih tersirat rasa takut. Bagus ingatlah baik-baik ketakutan itu bocah! Jangan pernah lagi berani membantahku atau kuhancurkan dirimu! *** Alexandra POV    Sial banget! Gua tertangkap Mr. Sok Perfect! Kalau bukan karena Mikael didesak kayak begitu, gua sudah jauh-jauh dari abang tiran gua satu ini. Sekarang gua lagi duduk di sofa ruang tamu rumah utama keluarga Angelo. Ya ... iya, setelah mengangkat gua dengan paksa, gua diseret ke sini. Dasar sialan! "Apa mau lu?" pekik gua, menuntut. "Kau sudah tahu apa mauku, Alexandra," balasnya, datar dan dingin. Sifat buruk yang masih belum hilang pastinya. "Gua tolak! Gak ada untungnya buat gua! Lagian ini bayi gua, milik gua dan Fabi! Gua nggak bakal kasih ke elu!" Jadinya gua jawab dengan sewot. "Jadi kau benar-benar sudah menikah dengan pria bernama Fabi itu? Tanpa mengabari kami, keluargamu?" Eh, tumben-tumbenan dia nggak ikutan sewot. "Gua sudah kirim undangan ke sini! Kalian saja yang nggak datang. Lagian apanya yang keluarga? Gua bukan lagi bagian dari keluarga Angelo!" "Kami keluargamu, Alexandra! Memangnya kapan kau dengar salah satu dari kami setuju pada keputusanmu untuk meninggalkan kami? Seingatku ... Ayah, Ibu, dan aku hanya diam." Shit! Dia benar. Mereka memang hanya diam membiarkan gua pergi saat itu. Jadi, mereka masih anggap gua keluarga? Selama ini gua hanya salah paham sendiri? Berpikir kalau gua sudah nggak dianggap anak? "Kalian membiarkan gua pergi, setuju saja gua kembalikan aset dan fasilitas. Kalian juga nggak memaksa gua untuk nurut? Gak paksa gua pulang?" Gua menuntut penjelasan, ngerasa perlu meluruskan kesalahpahaman di antara kami. "Kami terkejut dengan reaksimu waktu itu. Butuh waktu untuk bisa berpikir tenang. Itu sebabnya, kami semua diam dan membiarkanmu pergi. Ayah menyayangimu, itu sebabnya dia mengalah dengan tidak memaksakan kehendaknya lagi, membiarkanmu bebas sementara. Menunggumu lebih dewasa untuk bisa mengerti. Itulah kenapa aku baru menemuimu sekarang. Kupikir 3 tahun sudah cukup bagimu untuk menikmati kebebasan dan hidup kekanakan mu itu." Dan abang gua yang dingin itu, secara mengejutkan memberi penjelasan tanpa marah-marah. Sumpah gua shock! Yang benar!? Itu yang ada di pikiran mereka? Gua sungguh disayang? Bukan hanya dianggap alat? Dengan ragu gua bertanya lagi, "Tapi kenapa?" "Soal aset? Ayah tahu percuma bicara denganmu yang sedang labil. Jadi ia diam saja saat kau mengembalikannya. Lagi pula kami tahu kau masih punya saham di beberapa perusahaan lain sebagai aset pribadi, bahkan namamu masih tercatat sebagai salah satu pewaris Angelo. Kami tidak pernah membuangmu, Alexandra," jelas abang tiran gua dengan tenangnya. Serius ...? Jadi selama ini gua salah paham sendiri? Lalu bagaimana soal penerus? "Kalau begitu kenapa Tuan Besar memaksa gua buat memberikan penerus?" "Tuan besar? Pria itu ayah kita! Panggillah beliau ayah!" Nah, malah gua ditegur? "Iya ... iya ... terus kenapa?" Gua sudah mulai emosi nih. Ditanya serius malah dia tegur gua soal hal nggak penting. Mr. Sok Perfect terdiam sebentar, memijit keningnya, kayaknya terganggu dengan ucapan gua. Apa ada masalah lain yang nggak gua tahu? Lalu ia menghela napas lelah dan barulah menjawab. "Karena aku, Dean dan Marvis tidak dapat memberikan keturunan. Itu sebabnya, kami bergantung padamu. Tentu kami tidak akan merampas anakmu, kami hanya ingin menjadikannya penerus keluarga, ingin ia memakai nama Angelo," jelas abang tiran gua dengan raut wajah penuh kesedihan yang baru pertama kali gua lihat. Dan gua shock lagi!!! Serius ketiga abang gua mandul gitu? Atau benar kata Ayah, mereka gay? "Karena kalian bertiga gay?" Dengan kurang ajarnya gua bertanya. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal erat. Gila!! Tuan Tiran marah. Gua bakal dikasih bogem mentah nih. Gua panik!! Gimana kalau bayi gua kenapa-kenapa? "Lu nggak boleh pukul gua! Entar bayi gua yang kena gimana?" Buat antisipasi, segera gua memperingatkan abang tiran gua. Tubuhnya kembali rileks, tangannya mengusap mukanya dengan kasar. Lalu ia mengembuskan napas berat. Oh ... abang tiran gua sudah tenang, gua selamat. "Tidak! Memang benar sepupu-sepupu kita gay, tapi aku normal dan semua masalah ini bukan karena itu." Ternyata dia mau jawab pertanyaan asal gua tadi, tapi ya ... berhubung gua kepo dan nggak tahu malu, gua pun kembali bertanya. "Lalu karena apa? Gua nggak mau balik kalau lu nggak mau kasih tahu gua alasannya!" Mumpung gua lagi hamil dan abang tiran gua butuh penerus dia nggak bakal menyiksa gua. Ya, paling parah bentak-bentak. Terus kenapa? Gua nggak ngaruh sama bentakannya. Gak ngefek, sudah kebal sih. Ehehe .... "Kamu tahu kejadian 23 tahun lalu? Yang menewaskan seluruh keluarga besar kita?" tanya abang tiran gua. Bukanya jawab pertanyaan gua malah balik tanya, tapi kenapa tiba-tiba bahas soal ini? Dulu saja waktu gua tanya, semua pada nggak mau jawab. Gua jadi kepok. Ya sudah, gua ladeni nih Mr. Sok Perfect. Mumpung lagi di mood bagus, yang nggak pernah terlihat. "Kebakaran waktu pesta keluarga akhir tahun?" Setahu gua sih itu. "Bukan. Itu yang diberitakan di media demi menutupi kejadian yang sebenarnya. Kau pikirkan kembali, ada hampir 200 orang di pesta itu. Jika hanya kebakaran biasa,  apakah mungkin hampir tidak ada yang mampu menyelamatkan diri? Apalagi semua anggota keluarga kita, dilimpahi berbagai bakat dan kecerdasan." Gua pikir-pikir ... mustahil! Apalagi bangunan lama tidak bertingkat dan dipenuhi banyak jendela serta pintu untuk keluar. "Mustahil! Memang aneh hanya enam orang yang selamat.” Gua pun menatap matanya. Abang tiran gua tampak takut dan sedih? "Ya, aku pikir sudah saatnya kau mengetahui kejadian yang sebenarnya. Keluarga kita dibunuh oleh kepercayaan mereka sendiri." "Maksud lu? Dibunuh?" "Dulu ... ada seorang perempuan bernama Abigail. Dia sangat cantik, lembut, hangat, selalu tersenyum, ceria sekaligus sedikit rapuh. Dia bagai seorang malaikat bagi keluarga kita. Gadis itu anak sahabat kepala keluarga sebelumnya, hanya gadis itu yang memperoleh kepercayaan mutlak dan kasih sayang tulus dari seluruh keluarga. Dia diterima sebagai bagian dari keluarga, dipuja dan didambakan. Tak terkecuali kami bertiga yang saat itu berumur 12 tahun. Aku, Dean dan Marvis mencintai gadis yang 5 tahun lebih tua dari kami itu. Namun, semua berubah. Saat pesta itu, gadis itu memasukkan racun ke semua makanan dan minuman di sana tanpa ada yang mencurigainya sama sekali. Di tengah-tengah pesta, setelah reaksi racun mulai tampak. Gadis itu menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Dia tertawa sangat busuk melihat semua keluarga kita yang tengah sekarat. Abigail mengambil pedang yang entah sejak kapan ia sembunyikan di bawah meja, kemudian memutilasi siapa pun yang masih sadar saat itu. Jerit tangis dan genangan darah memenuhi ruang pesta. Kami bertiga yang tengah sekarat itu, menyaksikan sendiri malaikat yang kami cintai menjadi iblis jahat yang kejam. Kepercayaan serta cinta kami dikhianati. Untung saja saat itu Ayah, Paman Albert dan Ibu yang memang terlambat datang bisa menghentikannya. Pada akhirnya, dengan tangannya sendiri Ayah dan Paman membunuh Abigail, tapi sudah terlambat. Mereka semua telah tewas keracunan dan kehabisan darah. Hanya kami bertiga yang masih selamat karena tidak terminum racun terlalu banyak, dan karena kami yang paling dekat dengannya. Gadis itu sengaja menyisakan kami untuk disiksa paling akhir. Melihat lautan mayat dan darah, para orang tua sepakat untuk menutupi kejadian ini. Ayah sendiri yang membakar rumah ini dan menipu media." Gua shock!! Serius! Gila! Gua tahu keluarga gua banyak musuh. Tak sedikit yang berharap kami mati, tapi membantai semua anggota keluarga? Bukankah itu kejam? Gua lalu menatap abang gua, mencari kejujuran dari ceritanya dan ya, dia tidak mengarang itu semua. Tubuhnya gemetaran ketakutan? Bohong!! Abang gua yang selalu sempurna, nggak punya kelemahan jadi gemetaran karena mengingat kejadian itu? "Lu nggak apa-apa?" tanya gua cemas, untuk pertama kalinya gua mengkhawatirkannya. Dia menganggukkan kepalanya pelan. Tak lama setelah itu, dia sudah mulai tenang dan dapat menguasai emosinya. Wow, kontrol diri yang sangat bagus. Mukanya kembali datar, sampai-sampai gua takjub dibuatnya. "Setelah kejadian itu kami bertiga tidak dapat lagi memercayai wanita. Kebencian dan rasa takut membuat kami tidak bisa menyentuh wanita selain kau dan Ibu. Bahkan berada satu ruangan dengan mereka saja sudah membuat kami jijik. Itu sebabnya, tidak akan ada penerus dari kami." Penjelasannya membuat gua tercengang. Kalau begitu ceritanya, gua bisa mengerti sih ... pantas saja Ayah membiarkan mereka melajang, meskipun sudah tua, tapi gua masih kepo. "Emang kenapa tuh cewek jadi gitu? Dia sakit jiwa?"  Jadi dengan seenaknya, pertanyaan itu keluar dari mulut gua. Mr. Sok Perfect nggak mau jawab. Ia malah balik tanya, "Jadi Alexandra, kau akan kembali pada kami bukan?" Mau tak maulah, gua terpaksa memberi jawaban bagusan sedikit. Nggak tega menolak orang yang udah kelihatan terluka gitu. "Oke, tapi gua tetap tinggal sama suami gua. Gua juga bakal pakai nama Angelo sebagai nama tengah. Kalau anak-anak gua, apa boleh buat deh. Gua biarkan mereka jadi penerus lu, tapi tetap gua yang besarkan sendiri. Itu syarat dari gua, kalau lu nggak setuju kesepakatan batal." Mesti kudu pakai syarat pastinya, berhubung abang gua tiran, entar semena-mena lagi. "Baiklah. Aku setuju! Perusahaanmu akan aku kembalikan, sekaligus menambah tiga lagi perusahaan induk. Ayah dan Ibu sudah bersiap-siap untuk pensiun, jadi kita berempat yang akan memimpin Angelo Group." Dia setuju, tapi apa? Kalau begitu gua jadi pegang lima perusahaan induk dong. "Tunggu! Gua nggak sanggup. Angelo Group punya 50 perusahaan induk, kalau Ayah dan Ibu pensiun, masing-masing dari kita pegang 10 perusahaan induk?" Gua mesti tanya detail nih. "Tidak, karena paman Albert juga akan pensiun tahun depan. Itu artinya hanya kita dan para sepupu yang akan mengelolanya. Untuk saat ini, kau cukup pegang 5 saja. Para sepupu masing-masing 10. Sisanya aku yang akan handle sambil dibantu orang tua kita, setidaknya sampai tahun depan," jelasnya. Abang gua emang agak gila, dia dapat 25 perusahaan induk dan masih enteng-enteng saja. Ini manusia atau robot? Satu perusahaan induk saja cabangnya ada sekitar 40-100. Lu kalikan saja sendiri jadinya berapa. "Lu sanggup? Biar lu serba bisa juga, memangnya waktu lu cukup?" Gua jadi merasa malu, gua disuruh pegang lima perusahaan induk saja mengeluh. Nih abang gua mau handle 25 dan tetap stay cool. "Aku punya 5 orang asisten yang membantuku, tentu saja aku sanggup. Dan aku akan kembalikan Samuel padamu. Jika kau merasa tidak sanggup mengelolanya sendiri, pekerjakan beberapa asisten lagi. Itu saja, aku masih ada urusan." Setelah itu dia pergi begitu saja. Huh! Dasar seenaknya! Merasa kesal dengan keputusan Mr. Sok Perfect, gua pun memutuskan buat pulang ke rumah Fabi. Kalau nggak salah tadi abang tiran gua bilang dia kembalikan Samuel. Asyik! Dengan itu, gua pun berkeliling rumah dan ketemu! “Samuel antarkan gua pulang!" Langsung memberi titah, nggak pakai basa-basi mesti sudah tiga tahun gak ketemu. Toh Samuel memang asisten nomor satu gua, dia langsung menjalankan tugasnya tanpa bantahan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD