Chapter 1

1339 Words
Sulvian POV Seminggu setelah pertemuan keluarga, di sinilah aku. Di sebuah kampus di mana adik kecilku mengulang kembali masa kuliahnya. Karena aku tidak tahu dia mengambil jurusan apa, dengan terpaksa aku berkeliling ke setiap fakultas demi menemukannya. Tiba-tiba saja, seorang laki-laki bertubuh mungil berlari ke arahku. Ia melihat ke belakang, sehingga tanpa bisa dicegah, kami bertabrakan. Badannya jatuh tepat di atasku. Merasa jengkel, aku mendorong tubuhnya menjauh dan membentaknya. "DASAR BOCAH KURANG AJAR! KALAU BERLARI LIHATLAH KE DEPAN! BUKAN KE BELAKANG! DASAR BODOH!" Bukannya meminta maaf, laki-laki itu malah menatap mataku lekat-lekat. Begitu kami saling bertatapan, tanpa sadar aku juga ikut memerhatikannya. Rambutnya dicat merah dengan iris mata warna senada yang aku yakini ia pasti memakai softlens. Tubuhnya kecil, dengan pipi chubby, warna kulit putih cerah, membuatnya tampak begitu rapuh. Tanpa kusadari ia telah mencuri perhatianku, dan tanpa bisa kupahami ... jantungku berdetak dengan sangat kencang hanya karena tatapannya. "Mika-chan, lu nggak apa-apa?" Suara seorang anak laki-laki, menyadarkanku dari lamunan. Ia membantu temannya yang tengah menindihku itu, untuk bangun sambil menarik lengannya. Kupelototi mereka, lalu pergi begitu saja. Kembali ke parkiran dan melupakan niat awalku saat datang ke sini. Bisa kurasakan jantungku sudah mulai tenang kembali. Akan tetapi, tertinggal sesuatu aneh di dalam hatiku. Sebenarnya, ada apa denganku? *** Mikael POV Aku menatap punggung seorang pria yang berjalan pergi begitu saja dengan jengkelnya, setelah kutabrak tadi. Bahkan tadi pria itu sempat berteriak membentakku, tapi aku tidak peduli sedikit pun. Aku terlalu terpesona padanya. Mata tajamnya seolah menghipnotisku. Harum musk yang tercium dari tubuhnya, menggelitik indera penciumanku. Sumpah, aku yakin aku jatuh cinta padanya! "Mika-chan, lu baik-baik saja?" tanya temanku, yang tadi sempat mengejarku hingga aku menabrak pria itu. "Gua nggak apa-apa, Bro," jawabku, setelah pria itu hilang dari pandangan mataku. "Ya sudah, sorry tadi. Gila om itu nakutin banget deh!" katanya lagi, dengan muka ngeri. Aku mau protes. Bilang, ‘apanya yang om! Cakep gitu!’, tapi nggak jadi. Nanti malah kelihatan aneh. "Oh ya sudah, gua ke kantin dulu." Jadinya aku cuma bisa berpamitan pergi ke kantin. Aku sampai lupa kenalin diri. Namaku Mikael Roug, 20 tahun. Anak kedokteran semester kedua. Aku cowok dengan tinggi 165 cm, berbadan mungil dan bertampang cute. Sampai-sampai, temanku pada memanggilku Mika-chan. Aku sih nggak peduli. Satu lagi, aku seorang gay, tapi ini rahasia. Tak seorang pun temanku yang mengetahuinya. Maka dari itu, nggak heran aku suka dengan pria yang kutabrak tadi. Sesampai di kantin, aku melihat Alex temanku sudah duduk manis di pojokan. Aku pun berjalan mendekatinya. Alex adalah seorang cewek aneh yang akhir-akhir ini dekat denganku. Dia mahasiswi pasca sarjana fakultas matematika, tapi dibandingkan nongkrong di kantin fakultas matematika, dia memilih buat nongkrong di sini karena suaminya anak kedokteran. Ya, dia sudah nikah. Lagi hamil juga, tapi jangan kira dia itu tante-tante. Umurnya sama denganku, dia genius gitu. Jadi lompat kelas di luar negeri. Tinggi 180 cm, rambut panjang dengan bola mata hitam yang indah. Awal pertemuan kami, aku kira dia suka denganku. Gimana nggak coba, tiba-tiba saja dia muncul di depanku, seenaknya main rangkul, memeluk lenganku manja. Setiap hari menguntitku ke mana-mana sudah kayak benalu gitu. Aku sampai jengkel banget! Diusir, dicaci maki, masih gak ngefek. Malah tambah gencar mendekatiku. Sampai suatu hari dia memberiku undangan pernikahannya. Aku yang heran dengan sikapnya ... padahal sudah mau nikah, tapi masih saja menguntitku, akhirnya bertanya. Eh, ternyata dia bilang itu bawaan bayi. Ngidam dekat-dekat aku gitu, aku sampai geleng-geleng kepala karenanya. Yang hamili suaminya, ngidamnya lihat mukaku. Akhirnya aku mengalah,  membiarkannya di sekitarku dan entah sejak kapan kami malah jadi akrab. "Lex," sapaku. Duduk di hadapannya. "Eh, Mikael. Sudah makan lu?" Hanya dia yang nggak memanggil aku Mika-chan, nggak suka ikut-ikutan katanya, anehkan. "Belum, ini gua mau pesan bakso." "Pesanin gua juga ya, sama jus jeruk" pesannya. Yah, dia ini memang makannya banyak. Padahal lagi nguyah batagor juga. Masih mau makan bakso. Kalau kuledek, dia ngeles, nyalahin bayinya. Ckck. Setelah itu, kami makan bersama sambil menunggu suami Alex yang masih ada kelas. Aku kemudian menceritakan kejadian tadi, tapi dipotong bagian aku suka pria itu. Alex malah ngakak menertawakanku, bikin dongkolkan. *** Sulvian POV Hari ini aku kembali menginjakkan kakiku ke kampus ini, lantaran niatku sebelumnya batal karena laki-laki itu. Saat sedang berjalan, aku melihat Satria – sahabat adik kecilku. Tanpa peringatan, langsung kurangkul pundaknya, menatapnya tajam sambil mengabaikan wanita yang tengah digandengnya. Lalu aku bertanya, "Di mana adikku?" Satria langsung pucat melihatku. Ya, dia jelas tidak suka dan takut padaku, tapi aku tidak peduli. Melihatnya diam, aku kembali bertanya dengan suara keras. "Antarkan aku menemui Alexandra!" Baiklah itu perintah bukan pertanyaan. Dia hanya mengangguk takut dan berjalan ke arah kantin fakultas kedokteran. Adik kecilku ingin jadi dokter? Hem, aneh sekali .... Sesampai di kantin, aku melihat adik kecilku tengah duduk sambil mengerjakan suatu tugas. Tanpa peringatan, aku langsung mendekat padanya, menarik tangannya kasar sambil berteriak, "Ikuti denganku, Alexandra! Tidak ada bantahan!" Berniat menyeretnya mengikutiku, tapi tanganku ditahan oleh seseorang. Bersamaan dengan terdengarnya suara bantahan adik kecilku. "Sialan lu, Mr. Sok Perfect! Main tarik gua saja, gimana kalau gua keguguran!" Tunggu, tadi dia bilang apa? Keguguran? Merasa heran, aku membalikkan badan dan melepas cengkeraman tanganku. Mataku melotot marah melihatnya. Dia hamil! Adik kecilku tengah menyentuh perutnya yang terlihat buncit. Kejutan apa ini! Dengan emosi yang sudah meluap-luap, tanpa memedulikan sekeliling, aku membentaknya. "ALEXANDRA APA MAKSUDNYA INI! KAU HAMIL? OMONG KOSONG APA INI!" Namun dia tidak takut padaku, malah balas memelototiku. "Ya, iyalah gua hamil, lu nggak lihat perut gua buncit begini? Ada urusan apa lu datang ke sini?" Menjawab dengan kurang ajar dan ketus, membuatku murka. "KETERLALUAN! KAU MENOLAK PERMINTAAN AYAH UNTUK MEMBERI PENERUS PADAKU DAN PERGI MENINGGALKAN KAMI DENGAN ALASAN TIDAK MENGINGINKAN PERNIKAHAN DAN ANAK! TAPI SEKARANG APA? KAU HAMIL TIDAK JELAS SIAPA AYAHNYA" Aku tak bisa lagi menahan diriku untuk tidak membentaknya. Sekeliling sudah ramai oleh mahasiswa-mahasiswa yang penasaran dengan pertengkaran kami, tapi itu jelas tidak mempengaruhiku. Juga adik kecilku. Ia ikut-ikutan emosi membalas teriakanku. "Sialan lu! Ya jelaslah gua nggak sudi diperalat kalian! Gua bukan alat penghasil penerus buat lu! Cari wanita lain sana! Lagi pula anak gua jelas siapa ayahnya! Lu nggak tahu apapun, tapi sok membentak gua!" Tidak kalah emosi dari ku. "CUKUP! IKUT DENGANKU! KITA PERLU BICARA!" Aku tidak peduli dengan kemarahannya, malahan aku kembali membentak padanya. Dengan sewot dia menantang, "Kalau mau ngomong di sini saja. Gua nggak mau ikut sama lu!" Sikapnya itu membuatku kehabisan kesabaran dan berakhir mengucapkan hal yang keterlaluan. "Baiklah, aku hanya akan mengatakannya sekali. Ikut denganku kembali ke keluarga Angelo. Jika kau menolak, serahkan bayimu padaku sebagai harga atas kebebasanmu!" Wajah adikku mengeras penuh murka, tangannya mengepal penuh amarah, matanya menatap tajam penuh kebencian. "Jangan coba-coba berniat memerintah saya! Apalagi ingin merampas bayi saya, Sir. Sekali lagi saya katakan, saya bukan alat kalian!" Nada bicaranya tenang, tapi dingin. Ia bahkan kembali menggunakan bahasa formalnya. Tanpa sempat kubalas ucapannya, adik kecilku sudah berjalan pergi menjauh. Dengan sigap segera kulangkahkan kaki untuk mengejarnya, tapi tanganku masih ditahan sedari tadi. Merasa terganggu, aku menoleh berniat membentaknya karena sudah seenaknya menghalangiku. Betapa terkejutnya aku, orang yang memegangi tanganku adalah laki-laki yang menabrakku kemarin. Ia menatapku penuh tanya. Sebelum  berkata, "Biarkan Alex pergi. Gua nggak tahu siapa lu, tapi yang jelas lu sudah keterlaluan tadi. Gua nggak pernah lihat Alex semarah itu. Tinggalkan dia." Pria ini memohon agar aku meninggalkan adikku sendirian. Jantungku kembali berdetak kencang. Untuk sesaat, aku bahkan berpikir ingin memiliki laki-laki di hadapanku ini. Namun, dengan cepat aku kembali menguasai diri. "Memang kau siapa? Berani memerintahku? Bila kamu tidak pernah melihat kemarahan seperti itu. Maka jelas kamu tidak mengenal Alexandra dengan cukup baik. Dia memang orang yang sangat dingin dan angkuh. Sikap riang dan pecicilan itu hanyalah kedok,” Kataku tenang, dengan penuh tekanan di tiap kalimatku. "Gua temannya! Gua nggak memerintah lu. Gua cuma kasih tahu lu, kalau Alex terganggu dengan tingkah seenaknya dari lu!" Dia malah dengan ketusnya membalas ucapanku! Apakah dia ayah dari bayi yang dikandung adik kecilku? Pikiranku langsung penuh dengan berbagai kemungkinan. Merasa sudah muak, dengan kasar kuhentakkan tangannya. Pergi meninggalkan laki-laki itu tanpa memedulikan pandangan sekeliling.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD