Cinta Segitiga

2999 Words
Dari pagi, mereka sudah snorkeling. Seperti rencana, hari ini adalah jadwal snorkeling sepuasnya. Mereka tersebar ke tiga kapal boat kali ini. Karena satu kapal hanya memuat 10 orang. Sekitar jam delapan pagi usai sarapan, mereka sudah berjalan menuju pelabuhan untuk naik kapal. Begitu persiapan selesai, mereka berangkat dengan kapal dan berhenti di spot-spot di mana kehadiran banyak Nemo dan teman-temannya terlihat. Maira dan teman-temannya penuh dengan semangat mengarungi kedalaman laut untuk menikmati keindahan di bawahnya. Celana panjang dan sangat lebar itu tak menghalanginya untuk berenang agak ke bawah. Ia hanya ingin memastikan kalau auratnya tak terlihat. Kaos kaki juga masih ia kenakan. Berbeda dengan penampilan dari teman-teman perempuan lainnya. Mereka meluncur satu per satu ke dalam laut. Meski ya namanya snorkeling, mereka tak bisa terlalu dalam. "Mai! Mai! Mai! Sebelah sini!" Della memanggilnya. Ia sampai terbatuk-batuk kemudian datang menghampiri dengan gaya renang ala kadarnya. Kakinya agak terasa berat karena memakai alas kaki yang mirip dengan kaki katak. Lalu ikut masuk ke dalam air. Ada batu karang di bawah sana yang dikelilingi oleh ikan-ikan kecil berwarna-warni. Maira menikmatinya. Walau tak berenang, tetap bisa masuk ke dalam air dan melakukan snorkeling. Maira juga tak pandai. Tak seperti Della atau gadis-gadis lain. Ia hanya bisa berbaring di atas air tanpa pelampung selama beberapa menit. Tapi semakin siang di sini, arusnya semakin kencang. Ia hadus menarik baju atau lengannya Ayu agar tak terbawa arus air. Dua jam kemudian mereka berpindah tempat. Mencari spot lain yang lebih banyak terumbu karang sehingga lebih banyak juga ikan-ikan yang berkeliling di sekitarnya. Warna warninya bahkan lebih indah dibandingkan dengan tempat sebelumnya. Foto-foto keindahan di bawah laut tentu saja diabadikan. Nantinya itu yang akan dibawa sebagai kenangan yang tak akan pernah terlupakan. "Bagus yaaaa?" Ayu tak berhenti heboh. Ini adalah pengalaman pertamanya bisa snorkeling. Kalau harus snorkeling sendiri, bayarannya tentu mahal bukan? Mumpung gratis jadi nikmati saja. "Kram! Kram! Amri kram!" Ada yang berteriak begitu. Agha dan yang lain langsung mendekat sementara Maira sudah duduk di atas kapal yang mengapung itu. Tentu saja tak begitu jauh dari teman-temannya yang masih asyik mengapung di permukaan air. Ia melihat Agha yang membantu memijit-mijit kakinya Amri hingga kramnya hilang lalu cowok itu akhirnya duduk di atas kapal. Maira terkekeh. Karena tadi Amri sempat meneteskan air mata. Mungkin skaing paniknya. "Ngetawain gue lu yak?" Maira justru semakin terkikik. Lucu saja melihat bagaimana takutnya Amri. Yeah kelemer-nya keluar deh. Hahaha. Hal yang tentu saja membuahkan tawa. Ada-ada saja kenangan yang mereka bawa dari sini. Maira tersenyum kecil. Ini memang akan menjadi kenangan yang sangat menyenangkan. Empat jam snorkeling itu memang membuat perut lapar. Tepat jam dua belas siang, mereka kembali ke daratan. Agha langsung bergegas mandi untuk solat zuhur di masjid terdekat. Lalu ikut makan siang bersama teman-temannya di villa. Mereka masih membahas keseruan di lautan dalam menjelajahi keindahan bawah laut tadi. Menjelang jam dua siang, baru bubar. Ya beberapa ada yang memilih istirahat. Pasti lelah karena berada di lautan cukup lama. Yang lainnya, menghabiskan waktu berkeliling pulau. Berhubung mereka masih berada di sini. Besok mereka akan kembali ke Jakarta. "Gue baru kali ini menginjak kaki ke Pulau Sumatera. Sebelumnya, kehidupan gue lebih banyak di Jogja, Bandung, Depok." "Depok karena kuliah ya?" Maira tertawa sembari mengiyakan. Memang betul. Rasa-rasanya ia tak pernah ke mana pun. Ya terbatas finansial salah satunya. Ia hanya sekedar sering ikut konferensi tapi itu juga hanya sebatas di Jakarta atau Bogor. "Gue juga sih, Mai. Bisa ke Sumatera itu kesempatan langka." Maira mengangguk-angguk. Ia senang berteman dekat dengan Ayu karena bisa dibilang, mereka memiliki banyak kesamaan. Kecuali yaa urusan perasaan. Maira lebih memilih untuk menyimpan perasaannya pada orang yang jauh di sana. Ayu lebih terbuka darinya. "Lo masih sering kontak Hanafi?" Baru saja terlintas di kepalanya eeh Ayu sudah bertanya. Ia tersenyum kecil. Harusnya cowok itu bisa ikut ke sini. Tapi karena ibunya harus segera berobat di Eropa sana jadi ya sudah. Akhirnya cowok itu berangkat ke sana dan meninggalkam segala urusan di sini. Meski ada kemungkinan akan kembali saat wisuda nanti. Tapi entah lah. Tak ada yang bisa menjamin. Foto-foto disaat sidang akhir kemarin pun bagi Hanafi sudah sangat cukup. "Masih lah. Dia sibuk ngurusin ibunya yang lagi sakit." Ayu mengangguk-angguk. Satu hal yang membuatnya tetap berteman dekat dengan Maira. Apa? Karena ia tahu kalau Maira tak punya perasaan apapun pada Agha. Meski yang namanya masa depan itu memang tak ada yang tahu. Namun setidaknya, ia tak perlu merasa terlalu cemburu amat. Sementara itu, dari belakang sana, Agha juga sedang berjalan bersama Bani. Dua gadis itu tampaknya tak sadar dengan kehadiran dua lelaki di belakangnya ini. Tadi Agha hendak berjalan-jalan sendirian lalu Bani meminta untuk ikut. "Kalo dari bocoran informasi sih, dia emang nolak komitmen yang ditawarin sama Hanafi. Tapi Hanaf tetap berkomitmen sama dia. Hanaf juga gak mengikat dia dalam artian, dia masih boleh dengan siapapun tapi Hanaf tetep akan perjuangin dia." Agha menarik nafas dalam. Ya siapapun tahu kalau ia hanyalah orang baru yang tiba-tiba datang dan mengenal Maira begitu terlambat dibandingkan dengan pesaingnya yang lain. Ia juga terlambat menyadari perasaannya yang dengan perlahan berubah terhadap Maira. Dari teman menjadi sesuatu yang spesial. Kini rasanya aneh dan canggung. Namun ia tak bisa menampik apapun. Ia memang sangat tertarik pada gadis itu. "Cuma ya, dia masih sayang sama Hanaf, Gha." Bani blak-blakan. Ya bukan hanya sekali ini saja Agha mendengarnya. Sudah terlalu sering. Dan hal ini juga sempat membuat Agha maju-mundur untuk mengambil keputusan. Namun ia masih bimbang. Keinginan untuk mundur masih benar-benar belum bisa dia realisasikan. Masih galau. Bani menepuk-nepuk bahunya. Tahu bagaimana perasaan Agha yang patah hati karena asmara yang jelas bertepuk sebelah tangan ini. Karena sejak ia mengenal Hanafi dan Maira, ia juga tahu bagaimana perasaan Hanafi. Tapi untuk perasaan Maira? Baru akhir-akhir ini mengetahuinya. Maira sangat pandai menutupi perasaannya. Namun Saras setidaknya masih bisa membacanya. Dan akhir-akhir ini, ini pula yang sering mereka bicarakan. Apa? Soal Hanafi dan Maira. Saras tak mengerti dengan pola pikir Maira. Kalau suka kenapa menolak untuk berkomitmen? Meski sudah mendengar alasannya? Baginya tetap saja tak masuk akal. Karena perasaan Maira terlalu berlogika. Padahal seharusnya tak ada logika di dalam perasaan. Sebaliknya, Bani justru mengerti. Karena Maira pasti tak mau terluka kalau ternyata suatu saat Hanafi malah berpaling atau ia yang berpaling. Segala hal bisa terjadi bukan? Dan celah ini sebetulnya bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk Agha. Lalu dalam hal ini, Bani mendukung siapa? Bukan kah sudah sangat jelas? Meski ia mengenal Hanafi lebih lama tapi ia lebih menyukai kepribadian Agha yang yaah menurutnya berbeda dari kebanyakan anak-anak seusia mereka. Meski Agha juga pasti banyak kurangnya. Hanya saja semua ini akan kembali pada Maira. Karena gadis itu yang akan menjalani bukan ia yang hanya sebagai penonton kehidupan mereka. "Cuma ya, Gha, menurut gue, gak ada salahnya nyoba sih. Kan belum janur kuning. Belum sampai ke tahap lamaran juga. Belum ada omongan ke arah sana sama sekali. Jadi apa salahnya mencoba? Siapa tahu jodoh? Kalau enggak ya udah. Anggap aja udah usaha keras walau bukan rejekinya. Tapi kalau gak mau patah hati makin parah lebih baik mundur sejak awal. Semua pilihan itu ada di elo." Agha tahu. Tapi ia benar-benar sulit untuk memutuskan. Karena jujur saja, ia menaruh perasaan yang besar pada sosok Humaira yang awalnya ia kagumi. Ia kagum pada keyakinan Maira pada Allah yang begitu besar. Ia kagum karena Maira begitu kuat hanya berpegangan pada-Nya. Hal yang mungkin tak ia temukan pada perempuan lain. Ya kan? Di mana lagi, ia akan bisa menemukan perempuan yang seperti itu? "Tapi gue juga salut sih, Gha." Bani masih berceloteh. "Maksudnya, udah jelas tuh Maira suka sama Hanaf. Perasaan mereka saling berbalas. Hanafi juga nawarin komitmen buat ngelamar setelah setahun atau dua tahun pergi ke Barca. Maira cuma perlu menunggu. Tapi Maira menolak. Gue kalo berada di posisi Maira, ya gak akan nolak lah. Akan mau menunggu. Toh kita sama-sama punya rasa kan?" Agha tersenyum kecil. Ia justru paham kenapa Maira memilih untuk menyingkirkan perasaannya. Memilih untuk tetap menolak kalau harus menunggu sekian waktu meski Hanafi sudah berjanji akan kembali. Tahu kenapa? Yaaa karena Agha yakin, Maira memegang prinsipnya. Seperti yang sering gadis itu katakan..... "Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya." Dia percaya itu. Kalau memang Hanafi yang menjadi pasangannya kelak, mereka pasti akan bertemu lagi. Lelaki itu bisa memenuhi janji yang pernah ia ucapkan meski Maira tak pernah meminta. Sebaliknya, kalau selama waktu menunggu itu masing-masing dari mereka malah menemukan orang lain dan hati yang teralihkan begitu saja, apakah tidak akan terluka? Maira tidak menyukai segala sesuatu yang dijanjikan manusia. Ia tak mau menggantung harapan pada manusia karena bisa jadi kecewa. Maka itu, meski Maira juga sedih ketika mengatakan kalau ia tak mau menunggu dan mempersilahkan kalau Hanafi tetap berpegang teguh pada komitmennya, Maira yakin kalau Allah lebih tahu yang terbaik. Meski mungkin harus terluka suatu saat nanti, setidaknya ia tahu kalau memang begitu lah yang harus ia jalani. Jalan terbaik menurut Allah itu kan tak melulu lancar dan penuh dengan kebahagiaan. Karena bisa jadi penuh tanjakan dan kecuraman namun indah pada akhirnya. Seperti mendaki gunung yang tampak terjal dan melelahkan. Namun ketika berada di puncak tertinggi, bukan kah indah pemandangan di sekitarnya? "Jadi ya, terakhir berbalik pada lo," Bani menghela nafas sembari menepuk-nepuk bahunya. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan Agha untuk hal ini. Dan Agha juga tak punya rencana apapun karena hal ini. @@@ "Lo akan menyerah sama perasaan lo, Yu?" Ayu melotot. Maira malah terkikik-kikik. Ya kan Agha juga berada agak jauh dari mereka. Hiburan malam ini diisi dengan bakar-bakar jagung dan seafood. Berbagai kembang api juga dibeli untuk meramaikan. Meski yang sedari tadi memainkan itu adalah para lelaki. Para perempuan sibuk memasak. Walau yang menyiapkan apinya adalah para lelaki. Agha bahkan sibuk membakar jagung. Ia melihat semua perempuan sibuk menyiapkan makanan di halaman samping villa yang menjadi jarak antara villa laki-laki dan perempuan. Yeah di antara kedua villa ini memang ada halaman yang mereka gunakam untuk bakar-bakar. "Ya kalo dianya gak suka, masa gue maksa sih?" Maira terkekeh. Justru ia iri pada Maira karena Agha menyukai Maira. Tapi ya sudah lah. Urusan asmara memang kadang pelik begini. Tak semuanya berjalan sesuai keinginan. Dan ia tak ingin mengingatnya untuk sekarang. "Susah ya?" "Apanya?" "Ya kan dia tuh kayak perfek gitu, Yu. Hafiz, ganteng, pinter, kaya lagi." Ayu mengerucutkan bibirnya. Meski memang benar. "Satu kampus kayaknya udah tahu deh." Maira tertawa. Betul juga. Ia jadi teringat bagaimana perjuangan mereka untuk membesarkan nama Agha yang awalnya hanya terkenal di kalangan Fakultas Kedokteran menjadi dikenal seluruh fakultas. Wajahnya memang menyita perhatian. Tapi menurut Maira, yang membuatnya booming adalah ketika orang-orang tahu jika ia juga hafiz Quran. Itu yang lebih mengejutkan bagi mereka. Yaa dari penampilan Agha memang tak begitu menunjukan sisi itu. Cowok itu berpenampilan seperti lelaki kebanyakan yang yaah gaul begitu lah. Mungkin awalnya orang-orang akan menilai kalau Agha tampak sama dengan cowok-cowok lain yang hobi bermain-main dengan perempuan. Tapi ternyata cowok itu jauh dari itu. "Lo gak tertarik, Mai?" "Hah?" Ia kaget karena Ayu mendadak melontarkan pertanyaan. "Ya kan lo tadi bilang kalo dia tuh hafiz, pinter, ganteng, kaya. Sempurna." Maira terkekeh. Ia tak menjawabnya. Baginya, itu tak perlu dipertanyakan. "Ada yang mau dibantu?" Agha muncul. Ayu terbatuk-batuk lah. Mana memang ada asap di depan mata. Tapi lebih kaget karena kemunculan Agha yang tak terduga. Rasa-rasanya tadi masih mengipas jagung. Tapi saat Ayu menoleh ke arah jagung itu, ternyata sudah diganti oleh Bary. Aaah lalu untuk apa ke sini? Hohoho. "Bantuin aja tuh si Ayu," tukas Maira. Ia sebetulnya bermaksud meledek Ayu. Ayu jelas melotot lah. Tapi Agha mana sadar? Hahaha. Cowok itu mengambil alih kipas dari Ayu lalu melanjutkan pekerjaannya. Sementara Maira? Gadis itu sedang membumbui ikannya. Ia duduk tak begitu jauh dari Agha yang sedang berdiri. Ayu akhirnya bergabung dengannya untuk membantu. "Liburan ke mana, Mai?" Ayu mendengus pelan. Ia sudah menduga kalau ini sepertinya modus. Hahaha. Tapi yang ditanya tak sadar kalau sedang dimodusi. Agha sebetulnya hanya ingin tahu. Tak bermaksud modus. Besok kan sudah berpisah. Hahaha. Ini hanya alasan ya? "Bandung kayaknya." "Oh! Lo mau ke Bandung? Bareng aja!" Ayu langsung memotong. Hahaha. Gadis itu bahkan setengah berseru. Maira terkekeh. Ia sadar kalau Ayu sepertinya ingin ditanya juga oleh Agha. Ayu kan blak-blakan soal perasaannya. Tapi Agha mana peka? "Gue nanti berangkat sama Ayah dan Mas Rangga, Yu. Mau bareng?" Ayu langsung nyengir. Malu juga kalau begitu. "Gue sendiri aja deh," sahutnya yang lagi-lagi disambut kekehan. milik Maira. "Lo kapan berangkat, Yu?" Kali ini Agha melempar pertanyaan pada Ayu. Ya kadang masih terasa canggung sih karena persoalan terakhir. Tapi ya sudah lah. Agha juga tak ingin putus silaturahmi hanya karena persoalan asmara. Lagi pula, hak Ayu juga kalau memang menyukainya. Meski ia masih tak menyangka. Ayu itu baik, solehah, menurutnya begitu. Tapi sayangnya, ia tak punya rasa tertarik pada gadis itu. Eeh malah tertarik pada gadis di depan Ayu yang tampak serius melumuri ikannya. "Lusa lah. Abis dari sini langsung cabut. Kalo gak capek ya malemnya." "Malem? Naik bus?" "Iya, Mai. Udah biasa kok. Makin cepat makin bagus." Maira mengangguk-angguk. Ia belum pernah ke Bandung naik bus sendirian. Pasti ada yang menemani. Bukannya penakut, Masnya saja yang terlalu khawatir. Padahal ia juga bisa menjaga dirinya sendiri. Yeah ayahnya juga terlalu lebay. Usai melumuri sisanya, Maira mengambil ikan yang sudah satu jam yang lalu dibiarkan usai dilumuri. Ia sudah memastikan kalau bumbunya sudah meresap baru kemudian ia bawa menuju Agha. Cowok itu ikut membantunya menaruh ikan-ikan mentah itu ke atas panggangan. Yang sudah matang tentu saja sudah diangkat. "Panas gak?" tanyanya. Karena wajah Maira bahkan terlihat memerah meski ini sudah malam. Maksudnya, kemerahannya masih terlihat. Maira tertawa lah. "Ya kan dekat api, Gha." Agha ikut menertawai diri sendiri karena hal itu. Maira geleng-geleng kepala. Ayu menarik nafas dalam. Ya-ya, lebih baik menyingkir jauh. Hahaha. Gadis itu pura-pura sibuk dengan ikan yang sengaja didiamkan. Ia tarik agak jauh biar tak menganggu. Hal yang justru mengundang tawa yang lain. "Jadi nyamuk ya, Yu?" Ayu hanya nyengir saja padahal menahan gondok dalam hati. Tapi ya sudah lah. Mendadak saja, Agha dan Humaira menjadi pusat perhatian teman-temannya. Yaa semua orang tentu saja sudah tahu. Bahkan kini saling menyenggol dan berbisik. Sesekali ada yang tersenyum. Yaaa tampak sekali bahagianya Agha di sana. Maira justru tak tahu apa-apa. "Tim Hanafi-Maira atau Agha-Maira?" Yang lain terkekeh mendengar hal itu. "Sulit milihnya deh." Della mengangguk-angguk setuju. Menurutnya juga begitu. Karena Hanafi juga sosok lelaki yang baik. Cowok itu juga tampak dewasa dan mengayomi. Makanya, kedilemaan ini tak hanya melanda Agha tapi juga timnya. Mereka sepadan. Siapapun yang dipilih Humaira pasti akan beruntung dan begitu pun sebaliknya. "Kedua cowok itu punya kelebihan dan kekurangan." "Tapi kalo Mai mau nyari yang hapal Quran, ya Agha lah." "Kalau itu gak jadi patokan?" "Ya kan patokan agama udah pasti. Meski gak harus hapal Quran." Teman-temannya mengangguk-angguk. Masing-masing orang pasti punya pilihan. Ya dan tak bisa menilai hanya dari sekedar hapal Quran saja bukan? "Hanafi bisa masuk. Lagi pula ya kalian tahu sendiri lah Hanafi juga sopan ke cewek." "Betuuul!" "Ini pada ngomongin Agha sama Hanafi doang, sesekali ngomongin kita lah!" Bary protes. Para perempuan itu tertawa lalu menyorakinya. Bagi mereka, cinta segitiga yang tak sengaja terjalin antara Humaira, Agha, dan Hanafi itu rumit. Agha terlalu terang-terangan pula dengan segala perhatiannya yang awalnya tak sengaja dilakukan. Kini memang semacam menjadi kebiasaan yang tak terkontrol. Ya itu memang caranya sejak dulu jika berkaitan dengan perempuan yang ia sukai. Tapi bedanya, Maira benar-benar tak peka. Susah ya? Kodenya hanya terus meleset karena Maira tak pernah mengerti makna dibaliknya. "Tapi Agha kayaknya mau mundur ya?" celetuk Della. Beberapa perempuan di dekatnya langsung menoleh lah. Kaget. Karena lihat saja bagaimana Maira dan Agha tertawa sekarang. Meski di dekat mereka ada kepulan asap. "Kata siapa?" Della mendekatkan mulutnya. Mereka berkeliling lantas mengangguk-angguk. Gadis itu hanya tak sengaja mendengar obrolan Bani dan Agha tadi. "Tapi kayaknya gak deh, Del. Lihat aja tuh. Tuh orang bahagia banget sama Mai." Ucapan itu disambut tawa lagi. Ya sih. Ketika Della menoleh kembali ke arah Agha, ada benarnya. Agha benar-benar tampak bahagia. "Penutupan kalii!" sahut yang lain lalu disambut tawa yang semakin membahana. "Emangnya acara?" "Ya kan siapa tahu. Lagian sejak awal juga udah kelihatan auranya Hanafi sama Mai itu emang kayaknya saling suka." Anggukan kepala pun muncul lagi. Obrolan mereka terpotong oleh kehadiran Bani di tengah-tengah yang mendadak membawa gitar. Sedari tadi ia juga sibuk menyiapkan mikrofon dan pengeras suara. Hal yang tentu saja disambut dengan riuhan tawa. Sang pengamen kelas dewa itu mau unjuk apalagi malam ini? "Gak terima pengamen, Bang! Ini villa bukan jalanan!" celetuk Indra yang tentu saja mengundang tawa. Suara gemuruh tepuk tangan menghiasi. Begini lah cara mereka bercanda. "Asem lu!" Indra tergelak. Lalu tak lama, suasana mendadak hening. Bani mendadak serius. Ia memetik gitarnya dengan pelan. Teman-temannya menebak lagu apa yang hendak dibawakan oleh Bani. Lagu apa? "Universitas Indonesia, universitas kami..." Teman-temannya langsung terbahak. Astagaaaa! Kemapa harus bawa-bawa almamater kampus ke sini? "Yang bener dikit, Ban!" Bani menghentikan petikan gitarnya. "Justru ini yang bener, bro! Sebagai aktivis kampus kuning, kita harus bangga sama almamater di mana pun kita berada. Genderang UI itu udah cukup mewakili perasaan kita sebagai orang-orang yang akan bertanggung jawab untuk masa depan negara ini, bro!" Wuuuuuuu. Ia disorak dengan tepuk tangan dan tetap melanjutkan nyanyiannya hahaha. Ia menyanyikan lagu Genderang UI yang memang membuka ingatan mereka kembali pada suasana pelantikan Agha sebagai ketua BEM beberapa waktu lalu. Suasana haru menyelimuti kala itu. Karena mereka ingat bagaimana perjuangan mereka untuk bersama-sama memenangkan kontestasi politik ini. Ajang bergengsi tapi bukan berarti semua selesai begitu terpilih. Justru itu menjadi awalnya bukan? Ada banyak tanggung jawab yang mereka emnan sebagai perwakilan para mahasiswa di kampus. Ada banyak janji yang harus direalisasikaan karena kalau tidak akan ditagih di akhirat. Maka itu, apa yang Agha janjikan adalah sesuatu yang benar-benar bisa untuk dicapai. "Universitas Indonesia, universitas kami.... Ibukota negara, pusat ilmu budaya bangsa.... Kami mahasiswa, pengabdi cita..... Ngejar ilmu pekerti luhur ‘tuk nusa dan bangsa... S’mangat lincah gembira, sadar bertugas mulia... Berbakti dalam karya, MAHASISWA..... Universitas Indonesia, perlambang cita..... Berdasarkan Pancasila, dasar negara.... Kobarkan semangat kita, demi ampera..." @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD