bc

The Activists 2

book_age16+
1.1K
FOLLOW
35.3K
READ
friends to lovers
self-improved
inspirational
tragedy
comedy
sweet
campus
crime
spiritual
passionate
like
intro-logo
Blurb

Tahu kalau posisinya tidak memungkinkan jika harus bersaing dengan Hanafi, Agha memilih untuk menyimpan perasaannya dalam-dalam. Meski keadaan kini berubah karena Hanafi berangkat ke Barcelona untuk menemani ibunya berobat sekaligus memulai kehidupan baru. Ia tidak melepas Humaira. Ia tetap berkomitmen pada gadis itu meski Humaira telah menolak untuk menungguinya. Gadis yang berupaya untuk terus bergantung hanya pada Allah itu, percaya kalau takdir terbaik itu datang dari Allah bukan dari Hanafi. Ia hanya tak mau kecewa karena terlalu berharap pada manusia. Dan kepergian Hanafi ini membuka pintu baru bagi Agha yang semakin hari semakin bimbang. Apakah ia harus maju? Atau mundur sejak awal?

Karena Agha tak menemukan alasan untuk memperjuangkan cinta saat ini. Ia hanya ingin fokus pada dunia politik kampus dan juga perkuliahan yang hampir selesai. Namun kedekatannya dengan Humaira tentu membuat hatinya begitu dilema. Di sisi lain, muncul sosok perempuan baru yang sengaja datang untuk bergabung di menjadi anggota baru di BEM kabinet Agha. Yang punya misi untuk menakhlukan hati sang ketua BEM yang baru menjabat itu, Agha Muhammad Fahlevi.

Akan ke mana pelabuhan terakhir yang dipilih Agha? Pada Humaira di mana ia telah menaruh hati? Atau membiarkan perempuan-perempuan baru masuk ke dalam relungnya, yang rela berubah demi dirinya?

-Ketika aktivis berbicara cinta, dilema antara cintanya atau cinta-Nya-

chap-preview
Free preview
Terbaik Untuk Hamba-Nya
Wuiiih! Mereka berseru. Hahaha. Dalam bayangan, mereka akan menaiki kapal ferry dengan kursi ekonomi yang biasanya selalu penuh itu. Namun ternyata, mereka naik kapal ferry kelas eksekutif menuju Lampung. Yeah, Agha memang tidak tanggung-tanggung dalam memberikan liburan gratisan. Hitung-hitung ya hadiah untuk timsesnya yang berhasil membantunya dalam pencalonan ketua BEM kampus. Ini bukan sogokan. Ia benar-benar ingin menyenangkan mereka. Maira ikut terkekeh melihat kehebohan dan kenorakan teman-temannya yang tiada tara. Ya maklum lah. Tidak semua dari mereka pernah menaiki kapal semacam ini. Meski bagi Agha, harga tiketnya masih murah. Tapi bagi mereka yaaaa ini keuntungan besar. Apalagi untuk liburan kali ini, mereka tak mengeluarkan uang sedikit pun. Menguntungkan bukan? Sangaaat. "Muter-muter yuk gaaaeessss!" Mereka mulai terpisah-pisah. Ayu mengajak Maira menuju bioskop yang ada di dalamnya. "Kita harus nikmati perjalanan ini. Jangan mau rugi-rugian. Mumpung gratiiis! Kapan lagi cobaaa? Ye gaaaak?" Maira terkekeh. Ya memang benar. Ia berjalan bersama Ayu sementara yang lain juga sudah berpisah. Ada yang asyik duduk lalu mengobrol. Ada yang memilih untuk naik ke lantai paling atas untuk menikmati pemandangan birunya laut yang sangat menakjubkan. Yeah sembari berfoto-foto ria. Waw kan? Agha di mana? Cowok itu mengobrol dengan Bani, Indra, Bary, dan yang lainnya di kantin. Sembari memakan camilan yang sengaja dibeli. Kalau Amri? Lebih suka berada di depan laptop, dan duduk sendirian di pojokan. Ia sedang tak ingin diganggu karena ya entah apa yang dilakukan cowok yang satu itu. Tampak sibuk sekali. Kapal eksekutif ini sangat nyaman karena ada pendingin. Berbeda dengan kapal kelas di bawahnya. Kebanyakan penumpang bahkan kepanasan, bangku sangat sedikit dan biasanya tidak dapat memuat semua penumpang, ditambah lagi bau. Entah bau toilet, bau busuknya makanan, bau minyak hingga debu dari cerobongnya. Kalau kapal ini justru sebaliknya. Tampak bersih dan nyaman. Satu jam kemudian, mereka sudah harus bersiap-siap turun. Agha terkekeh karena teman-temannya kecewa. Ini tak seru. Perjalanan di atas kapal terlalu sebentar. Harusnya kalau mau lama ya naik kapal yang ke Pulau Karimunjawa. Tapi karena keluarga Agha tak punya homestay di sana, ia lebih memilih Lampung. Agha juga lebih familiar dengan daerah itu. Rasanya mereka terlalu cepat tiba di daratan. Meski akhirnya tetap senang juga karena perjalanan berikutnya tentu saja menuju penginapan yang sudah disiapkan oleh Agha. Mereka kembali masuk ke dalam mobil. Dari Pelabuhan Bakauheni, perjalanan dilanjutkan menuju Bandar Lampung. Rencana mereka hendak bermain-main dulu di Bandar Lampung sebentar. Sembari membeli beberapa cemilan khas Bandar Lampung. Mereka berseru begitu tiba di sana. Meski badan mulai lelah. Perjalanan tiga jam tanpa henti tampaknya memang belum begitu terasa. Karena tertutupi kesenangan dengan perjalanan ini. "Tangannya, Mai," ingat Agha. Ia melihat siku gadis itu di jendela. Memang sengaja dibuka untuk menikmati perjalanan. Namun kan perjalanan di jalan ini agak berbahaya. Banyak truk-truk besar yang kecepatannya cukup tinggi. Motor yang melintas lebih parah lagi. Ia takut mereka bersenggolan. Akhirnya Maira menarik tangannya. Memang benar terlalu berbahaya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju Dermaga Ketapang dengan jarak tempuh sekitar tiga jam dengan jalur ke arah Bunderan Gajah dengan jalur lurus menuju ke arah Teluk Betung, kemudian menuju ke Padang Cermin atau Way Ratai. Panjang ya? Ya lumayan. Tapi begitu tiba di sana, semuanya akan terganti. Pasti akan jauh lebih menyenangkan lagi. "Capek, Gha? Gantian aja!" tawar Bani. Ia mengangguk lantas bergantian. Bani sempat tidur satu jam awal perjalanan mereka tiba di Lampung. Sengaja. Biar nanti tak terlalu mengantuk kalau harus bergantian menyetir. Ini menyangkut nyawa mereka bersama jadi ia harus bersiaga. Agha sempat menguap. Setidaknya ia bisa beristirahat sebentar. Bahaya juga kalau menyetir terlalu lama. Karena takut kehilangan fokus. Omong-omong yang menumpang di dalam mobil ini ada Bani yang sekarang menyetir. Lalu ada Maira, Ayu, dan Della yang duduk di belakangnya. Kursi paling belakang, ada Bary, Amri, dan Indra. Agha sengaja membawa mobil keluarganya yang ukurannya memang lebih besar dan memiliki ruang yang tentunya lebih luas dibandingkan mobilnya. Sehingga teman-temannya tak perlu merasa sempit. Masing-masing bisa beristirahat dengan nyaman sembari menikmati perjalanan. Ayu dan Della sudah terlelap. Meski tadi sempst riuh karena diisi dengan nyanyian. Kalau sekarang? Maira juga tampak mulai diam. Agha melirik ke arah Maira. Gadis itu duduk tepat di belakangnya dan tampak memejamkan mata. Ya pasti mengantuk. Perjalanan ini cukup panjang. Ia tersenyum kecil lalu disambung Bani yang berdeham kencang. Agha tertawa tanpa suara. Ia Ketahuan rupanya sedang menatap anak gadis orang. Hahaha. "Bidadari bumi itu emang cakep sih, Gha. Untungnya gak bersayap. Jadinya gak terbang ke kahyangan." Agha terkekeh kecil. Bidadari bumi yang dimaksudnya memang perempuan yang ada di belakangnya. Bagi Agha ya Maira jauh lebih cantik dari bidadari-bidadari manapun. Eeh memangnya ia sudah pernah melihat bidadari? Hohoho. Kan katanya bidadari di surga bahkan iri dengan perempuan-perempuan beriman yang ada di bumi. Karena apa? Karena ibadahnya. Beribadah itu berat loh. Tak semua bisa melakukan itu. Jadi balasannya juga sudah pasti besar. Nah berarti Maira lebih indah dari mereka karena tidak mudah untuk melewati segala ujian hidup bukan? Tak lama, Bani agak berbisik ke arahnya. Ia sempat melirik Maira yang menguap dan akhirnya memejamkan mata. "Mumpung gak ada pesain di sini, bos, hajar ajaaa!" Ia mengompori. Agha terkekeh kecil sambil geleng-geleng kepala. Ya memang tak ada Hanafi atau pun Andros. Tapi kan ia tak berniat juga untuk mengejar. Ia ingin fokus pada apa yang sednag ia prioritaskan sekarang. Kalau sekarang memang waktu bersenang-senang dengan teman-temannya. Beberapa jam kemudian, mereka akhirnya tiba di Dermaga Ketapang. Tiga mobil yang dibawa langsung diparkirkan dan dititipkan pada salah seorang penjaga, masih ada hubungan saudara dengan Agha. Karena Agha memang memiliki keluarga besar di Lampung. Mereka menyewa kapal boat untuk menampung sekitar 30 orang timses mereka. Perjalanan yang ditempuh sekitar 20 sampai dengan 30 menit. Mereka akhirnya tiba di Pulau Pahawang. Yeah, tujuan awal memang ke sana. Siapa yang tak tahu Pahawang? Mereka tiba di Pahawang Besar. Di sana terdapat tiga dusun utama yakni dusun Pagetahan, dan Jelarangan, serta Cukuh Nyai yang menjadi tempat lokasi penginapannya. Agha sudah mem-booking dua villa yang bersebelahan. Satu villa khusus lelaki dan satu villa khusus perempuan. Perbandingan jumlah perempuan dan lelaki di dalam timses mereka adalah 1 : 2. Yeah, jumlah perempuan memang lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Katanya kiamat sudah dekat karena terlalu banyak perempuan. Tapi apapun kata-kata orang itu, Agha pasrah kan rahasia di dalamnya hanya kepada Allah. "Untuk makan udah disiapkan semua teman-teman. Kalau perlu apapun, telepon aja pengurusnya." Begitu kata Agha sebelum membubarkan teman-temannya. Berhubung perjalanan ini memang melelahkan, beberapa dari mereka memutuskan untuk istirahat sejenak. Maira dan Ayu memutuskan untuk makan siang dulu lalu mengganti baju. Niatnya adalah jalan-jalan sore dulu menikmati pulau ini. Kemudian mengejar sunset. Membayangkannya saja sudah indah. Jadi tak sabar. @@@ "Hayooooo! Ada apaan lo sama Saras?" olok Maira. Tahu-tahu ia dan Ayu muncul, tak begitu jauh dari beberapa lelaki yang memilih untuk nongkrong di pinggiran pulau menikmati sore. Ayu dan Maira memang punya rencana yang sama. Tak tahu kalau akan bertemu dengan Bani, Agha, Indra, Amri, dan juga Bary. Kelimanya tampak duduk bersama, menikmati sore. Agha tersenyum kecil. Cowok itu hendak bergerak untuk membeli air kelapa untuk teman-temannya. "Apanya yang apaan?" Ia mencoba menyangkal. Maira malah tertawa. Gadis itu juga baru benar-benar tahu beberapa hari yang lalu. Ketika ia sengaja membuka ponsel Saras. Keisengan berakhir dengan mulut yang terbuka saking kagetnya. Ya bagaimana tak kaget? Dua orang yang katanya saling benci ini malah sangat sering berkirim pesan. Itu benci apa namanya? Benci jadi cinta? Ohooo. Meski sudah biasa, Maira merasa kalau ia perlu tahu alasan dibaliknya. Pasalnya, Saras mati-matian menyangkal. Sementara Bani? Ya sama lah. Keduanya memang tengsin. Tengsin tingkat tinggi. Ini adalah bagian terlucunya. Karena tak ada yang mau mengakui. Padahal kalau cinta yaa bilang bukan? Apa susahnya? "Halah-halah gak usah pura-pura pinteeer deeeh!" "Begoooo, Maaai. Bukan pinteeeer! Sebagai mahasiswa MIPA UI, malu gue." Maira terkekeh-kekeh. Merasa lucu. Ia masih menatap ke arah Bani karena menurutnya, itu hanya cara Bani agar ia teralihkan dan tak lagi mengungkit soal Saras. Tapi Maiea tentu tak akan teralihkan dan tak akan menyerah. Ia perlu tahu sebagai sahabat dari kedua orang ini. Rasanya kan konyol kalau ia malah tak tahu apa-apa. Meski yaa ia akui kalau tampaknya ia melewatkan begitu banyak kejadian akhir-akhir ini. "Jujur aja laaaaah," ledeknya. Bani justru tertawa garing. Hal yang lama-lama membuat Maira melemparnya dengan kerang yang ada di dekat kakinya. Bani langsung beranjak dari duduknya lalu berlari untuk menghindar. Ia juga tertawa-tawa. Ia tak punya jawaban di depan Humaira. Tapi jujur saja, seperti yang Maira duga, memang terjadi sesuatu antarnaya dan Saras. Jangan tanya urusan asmara. Bani juga dilema. Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Haaah. Berat ya asmara itu? Nah begitu lah. Ia bisa meledek Agha. Tapi ketika dikembalikan pada diri sendiri, ia merasa kesulitan juga. Awal jatuh cinta juga tak disadari. Yang ia rasakan adalah aneh lama-lama bertemu dengan Saras. Hahaha. Agha geleng-geleng kepala. Meski senyumannya terbit juga. Senang karena melihat Humaira tampak begitu ceria. Ya lebih baik dari pada akhir-akhir. Apalagi saat Maira tampaknya belum begitu bisa menerima apa yang terjadi. "Kelapa muda, Mai?" tawarnya. Tapi ia sudah membawa kelapa muda itu menuju Maira. Maira menoleh. Tentu saja berterima kasih. Agha turut duduk tak begitu jauh darinya. Meski berjarak, masih terasa dekat. Mungkin karena Maira tak hanya ada di sampingnya, tapi juga di hati dan pikirannya. Eaaak! "Makasih, Gha." Agha hanya berdeham dengan senyuman kecil. Keduanya sama-sama menatap lautan. Lalu seolah tenggelam di dalamnya. Rasanya menyenangkan bukan? Karena meski berjarak, tapi mereka menatap ke arah yang sama. Langit yang sama. Memijak bumi yang sama. Ayu yang baru saja mau memanggil Maira dari belakang sana, mendadak dibekap Indra lalu dibawa cowok itu jauh-jauh. Amri terbahak melihat aksi itu. Ayu jelas mengomel lah. Ini orang dengan seenaknya bekap-bekap cewek! "Sembarangan lu megang-megang cewek!" Indra hanya bisa nyengir saja. Ya namanya juga reflek yang khilaf. Ia hanya ingin membiarkan Agha dan Maira mengobrol bersama. Berkat Bani, ia, Amri, dan Bary memang jadi tahu kalau Agha benar-benar menaruh hati pada Maira. Ya meski Bani tak mengiyakan hal itu secara gamblang. Tapi kan bentuk perhatiannya Agha yang jelas berbeda pada Maira dibandingkan dengan gadis-gadis lain. Makanya, sejak awal mereka sudah menyadarinya. Ini hanya persoalan waktu saja. Akan ke mana akhir asmara ini? Bagian ini yang paling membuat penasaran. Yang menjadi pertanyaan besar bagi mereka ya perasaan Maira. Tapi Bani dan yang lain juga sadar kalau tampaknya Maira memang mencintai lelaki lain. Sialnya, memang bukan Agha. "Indah ya?" Maira ternyata malah terbius dengan warna kuning keemasan yang terpancar dari matahari sore ini. Matahari yang kini semakin turun ke bawah. Seolah berada di ujung lautan karena bumi yang bulat. Maira tak bisa membayangkan bagaimana matahari itu akan terlihat tenggelam jika bumi tak bulat. Mungkin tak seindah ini? "Kalau begini, jadi inget surat Ar-Rahman, Mai." Maira tersenyum kecil. Ia mengangguk. Ya surat yang mengajarkan pada manusia untuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun. Syukuru hal yang paling sederhana namun paling penting adalah karena masih bisa bernafas hingga saat ini. Itu sudah terasa cukup. "Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?" Agha tersenyum kecil. "Tahu kenapa kalimat itu diulang sampai 31 kali?" Maira menggeleng. Rasa-rasanya, ia masih belum banyak tahu tentang agama ini. Masih minim. Tapi tak apa. Semua bisa dipelajari. Selama masih diberikan kesempatan untuk hidup. Jangan pernah sia-siakan. Karena mereka yang berada di alam barzah kini banyak yang sedang menyesal dan berteriak ingin kembali. Ya kan? "Pengulangan ayat ini sebetulnya bertujuan mengingatkan kita baik manusia maupun jin untuk selalu ingat dan bersyukur kepada Allah tanpa harus menunggu dan menghitung nikmat-nikmat Allah yang tidak akan bisa dihitung." Maira mengangguk-angguk benar juga. Dalam pemahaman sederhananya, ketika seseorang mengatakan sesuatu secara berulang-ulang, itu pertanda kalau sesuatu itu sangat-sangat penting. Jadi jangan lupa bersyukur ya? "Kadang kita lupa sih. Baru dikasih sakit sedikit, kita mengeluh. Padahal kalau dihitung-hitung lagi, waktu sakit itu bahkan tak sampai sepertiga dari waktu usia kita saat masih sehat." Agha tersenyum lagi. Betul sekali. Ia juga banyak belajar tentang hal ini. Karena seringkali, sesuatu yang penting ini kadang terlupa oleh manusia yang mudah berdosa ini. Ya, khilaf terkadnag dijadikan alibi. Tapi sudah terlalu sering berbuat kekhilafan itu namanya sudah bebal. "Masih sedih?" tanyanya. Ia ingat betul kalau Maira sempat sedih. Awalnya Agha tak tahu, tapi setelah mendapat beberapa informasi dari Ferril, sepupunya, kemudian ia mencocokan tanggalnya. Ia kira, kecurigaannya benar. Waktu itu, Maira pasti sedih karena kedua orangtuanya bercerai bukan? Agha hanya mendapat bocoran tanggal pengajuan perceraian kedua orangtuanya saja. Maira menoleh. Jelas kaget lah. Seingatnya, urusan itu sudah berlalu sebulan atau dua bulan yang lalu? Ah ia sampai lupa. Karena jujur saja, ia sudah mulai menerimanya sekarang. Makanya kali ini, ia menggeleng. Ya kesedihan masih tertinggal. Tapi ia tak mau membawanya berlarut-larut. Apalagi ayahnya justru tampak bahagia sekali walau hanya berdua dengannya. Tahu apa alasan ayahnya menceraikan istrinya? "Suami dan istri itu memiliki ikatan yang bisa terputus. Kalau orangtua dengan anak tentu tidak bisa sampai kapan pun. Dan kalau seorang perempuan yang telah menjadi istri tidak bisa mematuhi suaminya, demi kemaslahatan bersama dari pada terus menambah dosa istrinya, lebih baik berpisah saja. Ayah sudah lama mempertimbangkan ini bukan hanya karenamu. Tapi juga untuk akhirat ayah dan ibumu." Ayahnya bijak sekali. Ia bahkan tak terpikir ke arah sana. Sekalipun ayahnya bukan seseorang yang benar-benar paham agama dan masih terus belajar sebagai orangtua namun pemikiran itu menurut Maira cukup bijak. Perkara akhirat memang sangat berat. "Ayah tak akan pernah bisa berlepas dari tanggung jawab ayah pada anak ayah." Sesayang itu ayahnya padanya dan kini membuatnya menarik nafas dalam dengan mata yang berkaca-kaca. "Katanya, sekalipun sesuatu itu tampak buruk namun jika itu yang terbaik menurut Allah, ya terima saja. Kita sebagai manusia kan gak pernah tahu apa hikmah dibaliknya." Agha mengangguk-angguk. Senyumannya semakin lebar. Inilah yang sangat ia suka dari gadis ini. Keyakinannya pada Allah sangat totalitas. Ia benar-benar menggantungkan hidupnya pada Allah. Di mana hal itu sangat sulit dilakukan manusia lainnya. Karena kadang, kita kerap berprasangka buruk terhadap sesuatu musibah yang menimpa kita. "Gue penasaran." "Kenapa penasaran?" "Apa yang membuat seorang Maira begitu optimis dengan segala hal yang menimpa hidupnya?" Maira tersenyum kecil. "Ujian hidup, Gha." Ia menjawab santai. Pengalaman yang tidak mengenakan bersama ibunya lah yang membuatnya seperti ini. Ayahnya yang bekerja di kantor, tak mungkin bisa melindunginya ketika ia berada di rumah bersama ibunya dan disiksa oleh perempuan itu dengan berbagai hal. Begitu pula dengan ketiadaan Rangga di sisinya kala itu. Hingga Allah lah yang menjadi satu-satunya penolong hidupnya. Dan ia sangat bergantung pada-Nya hingga saat ini. Ternyata, itu semua mengajarkan Maira untuk menjadi Maira yang sekarang. Maira yang hanya bisa bergantung pada Allah. Benar-benar habya bisa kepada Allah. Agha justru menoleh ke arahnya. Ia sempat terpekur. Ya sedikit-banyak ia memang tahu bagaimana latar belalang kehidupan Maira. Meski masih bertanya-tanya juga. Ujian hidup seperti apa yang membuat gadis ini sampai begini? Sampai benar-benar yakin kepada Allah? Tapi kalau ujian hidupnya justru membuatnya dekat kepada Allah, bukan kah itu indah? Dan itu membuatnya iri. Mungkin apa yang ia alami selama ini tak seberat apa yang dialami oleh Maira. @@@ Agha terlihat tak begitu jauh dari Maira. Meski menjaga jarak, ia tahu bagaimana hukumnya hubungan antara laki-laki dan perempuan kan? Tapi segala bentuk perhatian Agha itu jelas tak akan bisa membohongi. Satu timses mereka juga tahu bagaimana perasaan Agha yang sangat terlalu kentara itu. Bayangkan, ada hubungan dekat antara ketua BEM dan bendaharanya sekarang? Ya kan bendahara. Karena Maira berada di posisi itu sekarang. Masayu menarik nafas dalam. Ia sejujurnya cemburu. Tapi ia berusaha untuk mengontrolnya. Masayu tahu kalau ini akan sangat sulit. Apalagi ia sudah sangat lama suka dan menaruh hati pada Agha. Pasti tak akan mudah. Namun demi kebaikan bersama, ia harus merelakan hal itu. Karena mungkin sampai kapan pun, perasaannya tak akan terbalas oleh Agha. Ia masih ingat betul betapa kaget dan tegasnya Agha ketika ia menyampaikan perasaannya beberapa waktu lalu. Agha benar-benar tak menganggapnya lebih dari teman. Kini hubungan mereka telah membaik dengan sendirinya. Meski terasa berbeda karena jarak. Masayu tahu kalau tak akan mudah membalik segalanya karena ia sendiri yang menciptakan tembok itu di antara mereka. Kadang, ia juga menyesali pernyataan yang terlanjur ia ucapkan pada Agha waktu itu. Ia terlalu percaya diri kalau Agha tak akan menolaknya. Namun ternyata ia salah. Instingnya yang mengatakan kalau Agha menaruh hati pada Maira, justru yang benar. Ia terlalu menuruti keinginan nafsunya alih-alih akal sehat yang telah berupaya untuk mengingatkan. "Sabar oii! Mata udah hampir lepas!" Masayu menoleh dengan pelototan ke arah Indra yang kini terkekeh-kekeh. Ia sudah melihat sedari tadi kalau Masayu benar-benar tak lepas dari Agha dan Maira yang tampak asyik mengobrol di sana. Lalu karena ia terbahak, bahunya ditampar keras oleh Ayu. Gadis itu jengkel saja karena mungkin, Ayu tak paham dengan cara Indra. Bukannya Indra suka, tapi cowok itu hanya ingin menghiburnya. Ya kan Indra tahu bagaimana akhir perasaan Ayu pada Agha. Mereka bertiga sering bersama. Dan lagi, bagaimana mungkin Ayu tak menyukai Agha? Dengan wajah ganteng dan sikap Agha yang begitu gentle? "Jodoh itu, Yuuu, gak akan ketuker. Kalo emang jodoh, pasti bakal ketemu. Tapi kalo emang bukan jodohnya, ya mau dipaksain gimana pun, gak akan pernah jadi." "Lo mau ngasih tahu atau cuma mau ngeledek gue nih?" Indra terkekeh. Biarpun ia mengatakannya seperti setengah bercanda setengah serius, sesungguhnya itu kata-kata kejujuran. Ayu mungkin harus melupakan walau harapan akan selalu ada. Namun jalan terbaik saat ini ya lupakan dan lepaskan. Karena ia tak akan mungkin bisa meraihnya. "Ya kan gue hanya bilang. Lagi pula, gue juga berkali-kali udah bilang ke elo kalo kita ini masih muda, Yu. Semester depan aja, udah banyak yang nyetor proposal skripsi. Bentar lagi antrian buat semprop juga bakal penuh. Itu artinya, Yu, masih banyak hal yang harus kita urus. Bukan hanya urusan asmara yang yaaah lo tahu sendiri jawabannya." Ayu melotot lagi. Indra nyengir. Lalu Ayu meninggalkannya begitu saja usai melengos. Yaa ia hanya mengatakan kejujuran. Lebih baik fokus pada masa depan dibandingkan mengurusi sesuatu yang belum terlalu penting. Ada banyak hal lain yang bisa dijadikan prioritas. Bukan melulu hanya berkutat dalam persoalan asmara. Ayu menghela nafas. Ia tahu dan paham dengan apa yang dikatakan Indra tadi. Ia juga sedang belajar untuk menerima kenyataan yang tak sesuai harapan. Karena ia juga tahu kalau Allah itu yang paling tahu urusan terbaik untuk hamba-hamba-Nya. @@@

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Head Over Heels

read
15.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.5K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.4K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook