"Masa lalu dan masa depan itu saling berkesinambungan. Lantas bagaimana caranya aku melupakan yang lalu kala aku tak mau melihat masa depan?"
-Barrabas Mahesa-
°°°°°°°°°°
Lima belas tahun yang lalu...
Tangan mungil itu berhenti mendorong knop pintu saat ia mulai mendengar suara desahan tertahan dari dalam ruang kamar yang akan Barra masuki. Barra membalikkan tubuhnya lalu menutup telinga dengan kedua tangannya.
Selalu seperti itu.
Barra terbangun dari tidurnya karena suara-suara aneh yang seakan menghantui setiap mimpi indahnya. Mimpi indah yang mulai berbunga dalam pikirannya terusik oleh suara-suara aneh itu. Yang mana suara itu adalah desahan bercampur gairah nikmat yang sedang dilanda oleh kedua orang tuanya. Laki-laki berumur sembilan tahun lebih tiga bulan itu kembali menarik selimutnya, mencoba memejamkan mata. Mengabaikan segala suara yang ia dengar melalu indra pendengarannya.
Pernah beberapa kali, bahkan lebih dari satu kali Barra kerap memergoki kedua orang tuanya melakukan itu tepat di depan matanya.
Kala itu, Barra tidak sengaja memasuki kamar kedua orang tuanya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Alhasil, Barra melihat semuanya dengan jelas. Bagaimana hubungan suami-istri itu terjadi. Dan itu tergambar jelas di dalam pikiran Barra hingga kini.
Barra tidak menyalahkan kedua orang tuanya atas hal itu. Karena yang ia tahu, papanya itu sangat mencintai mamanya.
"Papa sama Mama lagi ngapain?"
"Barra..." Vei langsung gelagapan mengetahui Barra melihat semuanya. "Mama, bisa jelasin."
"Kamu belum tidur?" tanya Atta seraya memakai celana pendeknya secepat kilat lalu berjalan menghampiri Barra.
Barra menundukkan kepalanya. "Barra... nggak bisa tidur dengan tenang, Pa."
"Sayang, kamu kebangun gara-gara Papa sama Mama?"
Barra menganggukkan kepalanya dengan raut wajah polosnya. "Aku tadi denger suara..."
Suara desahan!
Atta mengusap punggung Barra, kemudian membawa putranya itu untuk duduk di atas tempat tidur.
Vei memberi isyarat lewat matanya agar Atta segera menjelaskan apa yang terjadi pada Barra. Atta hanya bisa berdeham sebentar guna mengulur waktu mencari kalimat-kalimat penjelas paling tepat yang akan diucapkan pada anak laki-lakinya itu.
"Apa yang kamu lihat tadi... seharusnya, nggak kamu lihat."
"Papa sama Mama lagi berantem?" tanya Barra karena suara Vei tadi terdengar sangat memilukan.
"Bukan berantem, Sayang." Atta mengusap puncak kepala Barra. "Papa sama Mama lagi... lagi... bercinta."
"Ber-bercinta?"
Sontak Vei langsung memelototi Atta karena suaminya itu malah menjelaskan hal-hal yang tidak seharusnya Barra ketahui di usianya yang masih sembilan tahun.
"Nanti kalau kamu sudah dewasa... pasti kamu bakalan tahu. Apa yang Papa sama Mama lakuin tadi itu... karena Papa sangat mencintai Mama." Atta membawa Barra untuk tidur di tengah ranjang mereka. "Kamu pengin punya Adek, 'kan?"
Barra menganggukkan kepalanya. "Mama mau hamil lagi kayak Mamanya Erfan?"
Erfan itu teman sebayanya, lebih tepatnya teman sebangkunya di sekolah dasar. Erfan selalu bercerita tentang adik-adiknya juga tentang mamanya yang tengah hamil lagi. Tentu saja Barra menginginkannya. Ia juga ingin punya saudara yang bisa diajaknya bermain setiap saat di rumah. Bisa ia jaga, lindungi, dan sayangi. Karena menjadi anak tunggal yang terlahir dari keluarga Mahesa membuatnya kesepian.
Barra butuh adik.
"Doain aja, ya, Sayang." Vei memeluk putra semata wayangnya. "Barra bobo, ya."
Atta ikut memeluk Barra, menepuk-nepuk pelan punggung anak laki-laki itu sambil tangannya mengusap-usap keningnya. "Lain kali... kalau mau masuk ke kamar Papa sama Mama, Barra harus ketuk pintu dulu, ya."
"Kenapa? Barra nggak boleh masuk ke kamar Papa sama Mama lagi, ya?"
"Bukannya nggak boleh, Sayang." Vei tersenyum simpul. "Tapi, ada baiknya kalau kamu ketuk pintu dulu, ya, sebelum masuk."
Barra akhirnya menganggukkan kepalanya. "Iya, deh."
"Anak Papa pinter."
Begitulah penjelasan yang Barra dapatkan kala itu. Barra pun tumbuh sebagai laki-laki yang mempunyai hormon di atas rata-rata.
Barra kembali bermain bersama alam mimpinya setelah berfantasi liar atas suara-suara yang ia dengar.
°°°°°°°°°°
Perempuan dengan poni di atas alis itu berjalan mondar-mandir sejak satu jam yang lalu. Panas terik matahari tidak menghalangi usahanya untuk menemukan miliknya yang hilang beberapa waktu lalu.
"Aduh... di mana jatuhnya?" gerutunya sambil menunduk dan mengedarkan pandangannya di semak-semak serta jalan beraspal yang ia lewati.
Perempuan itu hampir menangis saat apa yang ia cari tidak kunjung ditemukan. Air matanya sudah akan terjatuh dari sudut matanya, tapi suara teguran khas anak laki-laki mampu menghambat itu semua.
"Kamu... ngapain di sini?"
Perempuan itu menolehkan kepalanya tiga puluh derajat ke kiri, menghadap asal suara lalu bola mata kedua anak manusia itu saling bertemu. Berpandangan, tanpa berkedip.
"Hei!" serunya lagi membuat perempuan yang tengah menatapnya itu tersadar dari lamunannya.
"Eh," perempuan itu mengerjapkan matanya. "A-aku..."
"Kamu ngapain di sini?" tanyanya lagi.
"Aku lagi nyari kalungku."
"Kalung?"
"Tadi jatuh di sekitar sini," ucapnya sambil menunjuk semak belukar.
"Kata Mama aku, di sini banyak nyamuk. Berbahaya. Nanti kita bisa kena demam berdarah."
"Demam berdarah apa?"
"Kamu nggak tahu demam berdarah?"
"Enggak," jawabnya sambil menggelengkan kepala. "Apa itu?"
"Itu nama penyakit," jelasnya. "Temen aku ada yang meninggal gara-gara kena demam berdarah. Kata Mama, kita juga bisa kena penyakit itu... kalau kita digigit sama nyamuk hem... aku lupa apa nama nyamuknya."
Perempuan dengan poni tengahnya itu terdiam.
"Dan di semak-semak itu tempatnya banyak nyamuk tinggal."
"Oh, ya?" tanyanya tidak percaya.
"Jadi, lebih baik kamu pergi dari sini."
"Enggak bisa," tolaknya. "Aku lagi nyari kalungku."
Melihat perempuan yang diduga umurnya masih di bawahnya itu sedang cemas karena mencari sesuatu, ia pun membantunya. Membantu mencari dengan ciri-ciri yang disebutkan bahwa kalung itu mempunyai liontin berbentuk hati. Itu ciri-ciri yang dikatakan perempuan di hadapannya saat ini.
Setengah jam mencari, tidak kunjung membuahkan hasil.
"Huft... lebih baik kamu pulang. Karena aku juga mau pulang."
"Tapi, kalungku..."
"Besok aku bantu kamu cari kalungmu lagi."
Di bawah terik matahari itu, bisa dilihat dua anak manusia saling berpandangan lekat, menatap satu sama lain.
"Makasih," kata perempuan itu sambil mengembangkan senyumnya. "Semoga besok kita bisa bertemu lagi."
"Kita pasti bertemu lagi."
Dua menit kemudian, ia sudah tidak melihat punggung perempuan itu karena langkah kakinya yang sudah semakin menjauh.
Laki-laki itu pun mengambil langkah kaki untuk pulang ke rumahnya. Namun, baru beberapa langkah kaki ia melangkah kini dirinya sedang menghentikan langkah kakinya karena ada sesuatu yang amat menyita perhatiannya.
Seutas rantai perak.
Ia mengambilnya dan tersenyum penuh kegembiraan. "Ini alasan aku untuk menemuimu di waktu yang akan datang."
Tidak ada yang tahu bahwa itu merupakan awal bagi keduanya. Awal yang menimbulkan cikal bakal luka, tragedi, trauma, tangis, serta pilu. Namun, di balik itu semua pasti ada bahagia menanti. Entah itu kapan.
Sebab, kenangan menyakitkan itu selalu diiringi dengan kenangan yang menyenangkan.
Kalau bukan di dunia, maka kalian akan menemuinya di alam yang berbeda nantinya.
°°°°°°°°°°
"Kak Killa, kenapa Papa sama Tante itu belantem telus? Shilla takut." Ucapnya dengan cadel juga dengan linangan air mata.
"Sssstt..." telunjuknya mengarah pada bibir mungilnya. "Jangan berisik."
"Bukannya Tante itu sebental lagi jadi Mama kita 'kan, Kak?"
"Diem, Shilla." Killa memperingatkan. "Ini Kakak lagi nguping apa yang Papa sama Tante itu omongin."
Dua anak itu sama dilihat dari segi fisiknya. Mulai dari potongan rambut, pakaian yang dikenakan, juga sandal yang mereka pakai saat ini.
Terlahir sebagai anak kembar membuat Killa dan Shilla tumbuh bersama dengan mempunyai barang-barang yang sama. Sengaja orang tuanya membelikan barang yang sama karena memang mereka kembar. Hampir tak ada hal yang membedakan dari keduanya jika dilihat dari segi fisiknya. Namun, tentu saja perbedaan itu ada meskipun secara tersirat.
Perbedaan tersirat itu terlihat di saat Shilla berbicara. Maka, akan sangat berbeda dari Killa.
Shilla cadel, sedangkan Killa tidak.
Shilla mudah sekali menangis aliasnya cengeng, sedangkan Killa cukup kuat untuk hal itu. Sangat jarang bagi Killa untuk menangis.
Shilla selalu bergantung terhadap Killa. Sebagai seorang anak yang lahir terlebih dahulu dari Shilla, adiknya, hanya berbeda hitungan menit saja Killa dituntut menjadi lebih dewasa dari Shilla.
"Kak Killa-Kak Killa..." jerit Shilla. "Papa pelgi."
Sebenarnya, Killa juga tidak tahu secara jelas apa masalah yang terjadi di antara dua orang dewasa itu.
Melihat papanya melenggang pergi, meninggalkan perempuan yang sebentar lagi akan menjadi mamanya. Killa pun mengajak Shilla menghampiri perempuan tersebut. Namun, perempuan itu malah membentak Killa dan Shilla. Menyuruh mereka pergi, bahkan mengucapkan kata-kata kasar yang seharusnya tak Killa maupun Shilla di usianya saat ini.
Di sisa siang hari ini, Killa menangis bersama adiknya. Menangisi keluarganya yang sudah tidak utuh lagi. Keluarganya yang sudah tak seharmonis dulu. Bahkan, Killa lupa kapan keluarganya pernah harmonis. Merasakan belaian kasih sayang dari mamanya saja tidak pernah sedikit pun.
"Kamu tidur aja," kata Killa pada adiknya setelah lama saling menangis satu sama lain. "Kak Killa yang akan jagain kamu."
"Papa pelgi... nanti Papa balik lagi nggak, Kak?"
"Balik, kok." Semoga saja. "Kamu tidur aja. Nanti kalau Papa udah pulang... Kakak bangunin kamu."
Shilla menurut, ia memejamkan matanya. Mencoba untuk terlelap dalam alam mimpi.
Shilla suka tidur. Karena hanya dalam mimpi lah ia bisa bertemu dengan mamanya yang wajahnya hanya pernah ia lihat melalui sebuah foto pada album kenangan keluarga.
Killa melihat wajah tenang adiknya saat tertidur ikut tersenyum lalu tangannya mengusap liontin yang tengah melingkar di leher putihnya. "Mama... Killa kangen."
Tak lama setelah itu, Killa mendengar suara deru mobil memasuki garasi rumahnya. Killa beranjak dari tempat tidurnya lalu melangkah keluar kamar. Dalam remang-remang penerangan malam ini, ia bisa melihat siluet papanya tengah b******u dengan perempuan berbeda dari siang tadi. Mengapa Killa bisa menyimpulkan perempuan itu berbeda, padahal saat ini Killa tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Karena perempuan yang dibawa papanya malam ini berambut pendek.
Ini bukan kali pertama Killa melihatnya. Sudah berungkali.
Gadis itu membalikkan tubuhnya, kembali menuju kamarnya. Ia selalu bertanya dalam hati. Mengapa hidupnya seperti ini? Mengapa hidupnya berbeda dari teman-teman sebayanya? Mengapa? Mengapa?!
Killa membekap mulutnya agar tangis pilunya malam ini tak terdengar oleh Shilla atau pun oleh papanya yang tengah melakukan hal senonoh di ruang tengah, padahal hal itu sangat mustahil terjadi. Mustahil papanya bisa tahu kalau dirinya tengah menangis sendiri dalam kamar.
Di hari-hari mendatang, Killa hampir membenci semua laki-laki. Hanya karena papanya berkelakuan buruk, Killa mempunyai mindset bahwa semua laki-laki kodratnya selalu membuat perempuan menangis. Dan karena itu pula Killa tumbuh sebagai pribadi yang lebih keras. Tidak percaya akan adanya cinta. Cinta wujud apa pun itu. Cinta pada keluarga, cinta pada teman sebaya, atau pun cinta pada lawan jenis.
Masa lalunya sungguh kelam. Membuatnya merasa menjadi yang paling terluka dan tersakiti, padahal di luar sana banyak juga yang mengalami hal seperti itu. Hanya saja ia tak tahu penderitaan orang itu berbeda-beda.
Si masa lalu yang layaknya hantu selalu menghantui tanpa permisi.