•Si Dingin•

1936 Words
"Janji itu dibuat untuk dua hal, yaitu ditepati atau dilanggar." -Barrabas Mahesa- °°°°°°°°°° "Kamu mau janji satu hal sama aku?" "Apa?" "Jikalau aku nggak ada di dunia ini..." Cup... "Kamu nggak boleh ngomong gitu lagi," katanya sambil mengusap bagian bawah bibir yang baru saja ia kecup itu. "Udah berapa kali aku bilang?" "Tapi, aku ngerasa pengin ketemu Mama di alam sana." "Enggak," kepalanya mendongak ke atas langit lalu berujar pelan. "Mama kamu udah tenang di alam sana." "Barra, mau, ya, janji satu hal sama aku?" Helaan panjang Barra embuskan saat perempuan yang ada di hadapannya itu memintanya berjanji akan satu hal. "Apa?" tanyanya menanggapi. "Kamu harus selalu jaga Kak Killa." "Pasti." "Jangan pernah tinggalin dia." "Hem..." jawabnya sambil berdeham sebentar. "Cintai dia sama kayak kamu mencintai aku." Barra terdiam. "Mau, 'kan?" "s**t!" Barra mengelap keringat yang bercucuran di dahinya. Embusan napasnya menjadi tidak teratur. Ia mengambil segelas air putih yang terletak di atas nakas lalu meneguknya dalam satu tegukan. Mimpi itu lagi. Seberapa keras usaha Barra untuk melupakan kejadian masa lampau itu tidak mampu mengubah jalan hidupnya. Ia masih mengingatnya secara jelas. Senyum manis yang terlukis di bibir perempuan itu hingga derai air mata terakhir menjadi saksi bisu semuanya telah berakhir. Ia ingin menepati janji yang dengan setengah hati dibuatnya. Namun, jika orang yang dijanjikannya saja tidak mau menerima kehadirannya. Barra bisa apa? Barra memainkan rambut hitam pekatnya lalu berjalan keluar kamar, lebih tepatnya menuju ke arah dapur. Laki-laki itu membuka lemari pendingin lalu meneguk minuman bersoda yang selalu tersedia di sana. Laki-laki berumur 24 tahun itu gelisah lantas pergi bergegas setelah mengambil jaket denim yang biasa ia pakai. Barra memutuskan untuk tinggal di Amerika setelah tiga tahun hidup dalam kelamnya kejadian masa lampau. Setelah Pak Nichol, dokter psikiater yang menanganinya menyatakan bahwa ia sudah baik-baik saja, meskipun tetap harus mengkonsumsi obat-obatan anti depresan secara rutin. Barra muak harus selalu bergantung pada obat-obatan sialan itu. "f**k! f**k!" umpat Barra sambil mencengkeram setir kemudi. Ia kian melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pukul setengah satu malam, Barra memarkirkan mobil keluaran terbarunya di salah satu kelab ternama yang ada di negeri asing tersebut. Kini ia berada di sebuah kelab dengan aroma alkohol yang begitu memabukkan. Suara gelak tawa di sana tidak membuat Barra ikut menertawakan apa yang teman-temannya itu tertawakan. Teman-teman yang Barra baru kenal beberapa menit yang lalu. Barra memilih meneguk minuman beralkohol yang ada di depannya secara diam-diam sambil memikirkan sesuatu yang begitu mengusiknya selama beberapa tahun terakhir ini. Setelah dirasa cukup meneguk minuman beralkohol itu, Barra bangkit dari tempat duduknya dan mulai berjalan dengan gaya sempoyongannya yang khas seperti orang mabuk. "Bar, where are you going?" tanya salah satu temannya yang bernama Johan. "I want to find a new toy tonight." Setelah itu, Barra mengerlingkan pandangan matanya pada beberapa perempuan yang ada di sana. Lebih tepatnya perempuan-perempuan penggoda yang memang menyerahkan dirinya untuk bekerja di sana. Perempuan yang rata-rata berambut blondy dengan lekuk tubuh indah akibat silikon. "How much is your price?" tanya Barra to the point pada perempuan dengan rok mini sangat ketat di kedua pahanya hingga tercetak secara jelas apa yang ada di bawah perempuan itu. Barra menganggukkan kepalanya sebagai tanda paham saat perempuan itu membisikinya sesuatu. "But, there are some rules while playing with me." "What?" tanya perempuan itu sambil menggoda Barra dengan jilatan di bibirnya. "You can't sigh when I touch you." "Okay," jawabnya. "No problem." Barra membawa perempuan yang baru dikenalnya itu ke dalam salah satu ruang kamar yang telah disediakan pada kelab malam tersebut. Bagi Barra, selain ketergantungan akan obat anti depresan, ia juga tidak bisa untuk tidak melakukan hubungan itu. Entah mengapa hormonnya sangat di luar kendali. Itu juga yang menjadi alasan sebagai pengalihan diri Barra. °°°°°°°°°° "Apa, Pa?!" tanyanya dengan bola mata yang membulat tajam pada sang papa. "Kamu akan Papa jodohin sama Barra." "Kan, Papa tahu sendiri aku sama Barra itu kayak gimana... Lagian, aku bosan terus-terusan disuruh nikah sama Barra." Itu nggak mungkin, Pa. "Aku nggak mau. Titik." "Killa, kamu nggak boleh ngebantah apa yang Papa kamu omongin." Killa mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah perempuan yang kini terpaksa berstatus sebagai mamanya. "Anda siapa? Jangan pernah mencampuri urusan pribadi keluarga saya." "Killa, cukup!" "Dari awal aku emang nggak pernah setuju Papa menikah sama..." Killa bahkan tidak sanggup untuk menyebut namanya. "Papa, lebih milih perempuan ini, daripada aku. Dasar perempuan nggak tahu diri!" "Killa!" bentakan keras dari sang papa membuat Killa memejamkan matanya saat Gardiawan mulai akan melayangkan tamparan di pipi mulusnya. "Kamu berani sama Mamamu?!" "Sejak kapan aku setuju punya Mama baru, Pa? Sejak kapan? Hem?" sekuat tenaga Killa menahan cucuran air matanya yang saat ini tertahan di antara sudut matanya. Bola mata itu sudah sangat memerah. "Papa ngelupain aku putri Papa sendiri dan lebih milih Stella? Iya?!!!" Plak... Satu tamparan sukses mendarat di pipi Killa saat dirinya menyebut nama sang mama dengan sebutan namanya langsung. Killa semakin marah saat Stella memasang raut wajah bersalah yang dibuat-buat lalu membantu dirinya meredakan amarah Gardiawan yang sudah memuncak. "Berani kamu sebut nama Mamamu dengan seperti itu? Papa nggak akan segan buat----" "Sudahlah, Mas. Akilla mungkin belum bisa nerima aku." Killa membuang pandangannya dan lebih memilih melangkahkan kakinya keluar dari rumahnya yang entah sejak kapan menjadi seperti neraka baginya. Killa tidak lagi merasa nyaman berada di rumah semenjak hadirnya Stella sebagai istri Gardiawan. Sebenarnya, Killa sudah menyatakan ketidak setujuannya itu secara terang-terangan sedari awal. Namun, Gardiawan tetap meyakinkan Killa bahwa Stella pantas menjadi mama baru baginya. Padahal, Gardiawan tidak tahu saja tentang perilaku buruk Stella yang disembunyikannya selama ini. Desahan pelan Killa keluarkan saat tangannya mengelus pipi kanannya yang baru saja dihadiahi tamparan oleh Gardiawan. Perih. Panas. Dan teramat menyakitkan, apalagi yang melakukan itu adalah Gardiawan sang papa yang dulunya sangat Killa banggakan. Air mata perlahan menetes di sudut matanya lalu segera ia seka dengan telapak tangannya. Bagi Killa, menangisi hal yang sudah terjadi itu dua kali lebih menyayat hati dari kepedihan apa pun. Killa memberhentikan salah satu taxi yang melintas lalu memasukinya. Saat ini dirinya tengah menuju salah satu kampus yang ada di kotanya. Akilla Ainina Gardiawan adalah mahasiswi semester 6 jurusan adiministrasi perkantoran. Berkat keteladanannya ia bisa menyelesaikan kuliahnya hanya dalam kurun waktu 3 tahun. Perempuan itu sudah mengajukan judul skripsi, berlanjut pada skripsinya yang sudah disetujui dari beberapa bulan yang lalu. Dan Killa pun sudah menjalani sidangnya. Sejauh ini, semua berjalan lancar. Baik-baik saja. Tinggal menunggu waktu Killa akan diwisuda saja. Butuh waktu setengah jam bagi Killa untuk sampai di kampusnya karena memang jaraknya yang terbilang jauh dari rumah tempatnya tinggal. Killa keluar dari dalam taxi setelah membayar dengan uang lima puluh ribuan. "Kill..." sapaan lembut dari Alicia teman satu jurusannya. "Lo nanti malem dateng 'kan ke pestanya Clara?" "Eh, ya, nggak mungkin lah gue dateng..." Killa menggelengkan kepalanya. "Gue nggak pernah ke tempat begituan." "Makanya, sekali-kali lo dateng biar lo tahu dunia malam." "Astaga! Gue itu bukan elo, Lic." Alicia memasang raut wajah melas miliknya. "Terus, gue dateng sama siapa?" "Ya, ajak aja pacar lo itu. Si Dion..." "Kan, lo tahu sendiri si Dion itu nggak bisa diajak jalan kalau bukan malam minggu kayak gini." Killa tampak berpikir sebentar hingga tangan kekar yang menyentuh pundaknya itu mengagetkannya. "Sayang..." "Ish..." Killa mengibaskan tangan Vero yang bertengger di pundaknya. "Jangan pegang-pegang." "Kill..." raut wajah Vero berubah menjadi serius setelah Killa mengibaskan tangannya. "Gue mau ngomong berdua sama elo." "Vero, lo denger, ya!" Alicia memperingatkan. "Si Killa itu nggak bakal pernah bisa lo rayu buat dateng ke pestanya Clara. Nggak akan pernah bisa. Jadi, lo..." "Bukan itu," Vero menggelengkan kepalanya. "Ini tentang Barra." "Bar-ra?" kala nama laki-laki itu disebut, Killa rasanya ingin menangis. Jujur. "Kalau lo masih punya hati... sedikit aja bagi sesama manusia... lo ikut gue." Vero melangkahkan kakinya terlebih dahulu ke seberang jalan menuju salah satu kafe yang terletak di depan kampus mereka. Alicia bertanya pada Killa apa yang sedang terjadi, tapi tak dijawabnya. Killa langsung saja mengikuti langkah kaki Vero yang semakin melebar. Seiring langkah kaki Killa menuju kafe itu, ia merapalkan doa dalam hati bahwa Barra dalam kondisi sehat, tidak terluka. Vero langsung menempati salah satu tempat duduk yang kosong setelah memesan dua ice chocholate. "Ver..." Killa duduk di depan Vero dengan hati-hati. "Lo masih punya hati nggak sih, Kill?" "Barra, kenapa?" perasaan hati Killa mengatakan ada sesuatu yang terjadi pada laki-laki itu. "Barra selama ini tinggal di Amerika," kata Vero setelah menghela napas beratnya. Laki-laki itu menyeruput sedikit ice chocholate yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kafe. Lalu sorot mata tajamnya menatap Killa. "Udah seminggu ini nggak ada kabar. Katanya, mau nenangin pikirannya." Killa hanya bisa menggigit bagian bawah bibirnya kala Vero terus memberitahu perihal Barra padanya. "Emang Barra udah dinyatakan sembuh, tapi lo seharusnya tahu kalau dia itu sangat butuh elo, Killa." "Dia nggak butuh gue. Dia cuma butuh Shilla." "Dan lo bisa jadi Shilla buat dia." "Nggak segampang itu, Ver." Killa tertawa sumbang. "Itu sulit buat gue. Sulit... banget. Sulit." "Apa, sih, yang ngebuat hati lo sekeras batu gini?" Vero bertanya frustasi. "Udah tiga tahun juga..." "Seharusnya, waktu tiga tahun itu sudah lebih dari cukup untuk Barra ngelupain Shilla." "Dia pengidap PTSD. Berapa kali harus gue bilang?" Iya, Killa tahu. Vero bangkit dari tempat duduknya dengan wajah merah padam. Ia pikir, dirinya bisa mengubah pemikiran Killa. "Lo emang cantik, tapi sayang nggak punya hati. Percuma. Nggak ada gunanya." Telak. Kalimat Vero itu begitu menohok hati Killa. "Apa yang bisa gue lakuin?" tanya Killa putus asa. "Ikut gue ke Amerika besok. Kita harus bawa pulang Barra." Killa tercengang. Tidak menyangka akan apa yang dikatakan oleh Vero. "Apa? Lo nggak bisa? Lo nggak mau?" tebak Vero seraya berdecih. "Setidaknya, meskipun Barra gila... dia masih ada di lingkup sini. Bukan di negara orang! Kayaknya, hati lo emang udah beneran dingin. Membeku." Lalu Vero pergi. Meninggalkan Killa yang termenung sendiri di kafe itu. Tatapan matanya kosong menatap ke depan. Sebenarnya, siapa di sini yang berhati keras nan dingin? Killa ataukah Barra? Killa mau melakukan hal apa pun untuk Barra, maupun orang lain. Selain berpura-pura menjadi Shilla. Sedangkan, Barra mau melupakan kejadian masa lampaunya jikalau Shilla hadir kembali di dunia ini. °°°°°°°°°° Dua hari setelah kejadian di kafe... Baru saja pesawatnya mendarat dengan selamat di Bandar Udara International Los Angeles. Bandara tersibuk ke-2 di seluruh dunia. Tentu saja. Karena memang tarafnya internasional. "Foto dulu, ih." "Astaga. Nih, anak rempong banget." "Biarin," ucapnya sambil mencebikkan bibirnya lalu mengambil beberapa jepretan foto dengan kamera depan di ponselnya yang memperlihatkan wajah cantiknya. "Sekarang, lo fotoin gue pakai kamera ini!" titahnya dengan cengiran di bibirnya seraya menyodorkan kamera digital miliknya yang dibawa dari Indonesia. "Ayolah, Ver." "Iya! Iya!" dengan berat hati Vero menuruti keinginan perempuan itu. "Cuma satu foto. Setelah itu, kita langsung ke tempatnya Barra." Setelah adegan berfoto di Bandar Udara International Los Angeles, mereka berdua menaiki taxi menuju ke suatu tempat yang diyakini tempat Barra tinggal saat ini. Di salah satu hotel yang ada di Los Angeles, yaitu Comfort Inn and Suites LAX. Selama dalam perjalanan, Killa sibuk dengan ponsel di tangannya. Disukai oleh aliciapriciliaa dan 983 lainnya akillagardiawan Gue lagi nyari elo:≥ view all 297 comments aliciapriciliaa Take care, Beb! clarameswarina Sumpeh demi ape lo di LA sekarang?!!!! 16 menit yang lalu Killa menutup aplikasi i********: di ponselnya kala Vero mengajaknya keluar dari dalam taxi. Mereka sudah tiba di hotel Comfort Inn and Suites LAX. "Ver..." "Apa lagi, Killa? Lo minta difotoin lagi?" "Kalau Barra nggak nerima kehadiran gue gimana?" "Dia pasti nerima lo." "Pasti?" Killa mengulangi perkataan Vero dengan nada yang berbeda. "Lo nggak tahu aja sedingin apa Barra sama gue." "Gue tahu," kata Vero. "Lo sama Barra itu sama dinginnya. Jadi, kalian pasti bisa bersatu. Meskipun, nantinya sama-sama saling membeku kedinginan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD