•Si Lemah•

1944 Words
"Aku bisa apa saat semuanya tidak lagi seperti kenyataannya? Karena aku lemah dalam hal menjelaskan." -Akilla Ainina Gardiawan- °°°°°°°°°° Satu hari sebelum berangkat ke Los Angeles... "Tante mohon sama kamu, ya, Nak Killa." Tatapan matanya penuh permohonan. Kedua tangannya saling bertautan. Dua perempuan beda usia itu saling berpandangan. "Sekali ini aja kamu mau ngebantu Tante lagi." "Maaf, Tante. Maaf." "Tante nggak tahu lagi... harus gimana ngadepin Barra." "Tante... a-ku..." "Kamu janji mau mikirin tentang perjodohan ini setelah wisuda, Nak Killa." "Iya, Tante. Tapi," Killa mengambil jeda guna membasahi bibirnya. "Pernikahan itu bukan hal yang main-main, Tante." Pernikahan? Sesuatu yang sangat sakral dan tak mungkin Killa lakukan begitu saja hanya karena perjodohan konyol dari kedua belah pihak keluarga. "Dan aku nggak mau nikah sama orang yang nggak aku cintai sama sekali." "Cinta bisa hadir karena terbiasa, Nak Killa." Killa tertawa pelan, kepalanya sedikit mendongak. "Tante, gimana bisa..." "Tante sendiri yang ngalamin hal itu," mama dari laki-laki yang sangat dicintai oleh almarhumah adiknya itu sedang menyakinkannya bahwa cinta bisa hadir seiringnya pernikahan sudah berjalan. "Tante dulu menikah karena kecelakaan." Kecelakaan? Killa tahu arti konteks kata itu tanpa perlu dijelaskan lebih detail lagi. "Om Atta... waktu itu minta cerai setelah Tante melahirkan. Nyatanya sekarang? Kami tetap baik-baik saja. Karena seiring berjalannya waktu semua berubah. Semua mengalami perubahan dalam setiap halnya. Banyak kejadian yang kami lewati bersama, mengajarkan bahwa perasaan itu akan hadir setelah melewati batu terjal dalam hidup." "Dan sudah tiga tahun... aku dan Barra nggak ada perubahan, Tante. Please, jangan dipaksa." "Kalian berdua nggak ada perubahan karena memang baik kamu atau pun Barra nggak ada yang mau melunak. Kalian berdua sama-sama keras kepala." Killa menggelengkan kepalanya seraya bangkit berdiri. Kalimat permintaan maaf terus terucap dari bibir yang berpoleskan lipstik itu. Baru lima langkah kaki Killa melangkah meninggalkan Vei yang duduk di sudut kafe itu, ia mendengar suara gaduh dari arah belakangnya. Secara refleks Killa menoleh ke belakang lalu mendapati seseorang yang baru saja mengobrol dengannya jatuh tergeletak di lantai dengan dikerumuni banyak orang. Vei pingsan. Mama dari Barra itu tampak berwajah pucat pasi. Mengapa Killa tadi tak menyadari hal itu? Killa dan beberapa orang yang ada di sana membawa Vei ke rumah sakit terdekat. Semua panik, begitu pun Killa. Untung saja, pemilik kafe segera cepat ambil tindakan untuk menghubungi ambulans. Butuh waktu 30 menit untuk tiba di rumah sakit. Killa turun dari ambulans setelah berhasil menghubungi Atta. Setibanya di rumah sakit itu, beberapa perawat langsung membawa Vei ke ruang IGD dan segera mendapatkan pertolongan pertama. Tak selang lama, Atta datang. Laki-laki itu datang dengan raut wajah panik, jas yang dikenakannya pun sudah berantakan. Dasinya melenceng ke kanan dan kiri. Dokter yang menangani Vei keluar dari ruang IGD setelah beberapa menit berlangsung. Beliau mengatakan keadaan Vei yang sudah baik-baik saja. Vei pingsan karena tekanan darahnya rendah. Dan sekarang sudah bisa dijenguk serta dibawa pulang. "Om, Killa minta maaf. Killa yang bikin Tante Vei pingsan." "Nggak apa, Sayang. Ini bukan salah kamu." Atta mengusap punggung Killa secara sekilas. "Ayo, kita masuk." Pemandangan pertama yang dilihat oleh Atta dan Killa saat memasuki ruang IGD itu adalah raut wajah sendu milik Vei. Atta mendekatkan dirinya ke tempat Vei terbaring lemah. Mengusap-usap lembut rambut istrinya itu. "Barra baik-baik aja. Nggak usah terlalu dipikirin. Dia udah dewasa, Ma." "Aku... aku mau jemput Barra sekarang. Aku mau nyusulin Barra ke Amerika. Aku akan bawa dia pulang. Apa pun yang terjadi." Atta mendekap tubuh Vei. "Sssttt... keadaan kamu nggak memungkinkan, Sayang." Melihat hal itu Killa tidak bisa mendefinisikan betapa sayangnya Vei terhadap anak laki-lakinya itu. Pastilah sangat besar dan tak terhingga hingga akhir hayat. Dan itu pula yang membuat hati Killa menjadi lemah, luluh, tak berdaya. Bagi Killa, air mata sang ibu tidak boleh sampai keluar. Meskipun, ia tak pernah merasakan hangat pelukan orang yang telah melahirkannya. Andaikan Vei adalah mamanya, pastilah Killa menjadi anak yang paling bahagia di dunia ini. "Maafin Killa, Tante. Maaf." Keputusan itu pun dibuat. "Killa bakal bawa Barra pulang ke Indonesia. Killa janji." °°°°°°°°°° 4Play Gentleman’s Club, di Los Angeles, California. Killa adalah tipe perempuan yang sangat-sangat menghindari tempat seperti yang kakinya injak saat ini atau hal-hal yang berbau dengan masalah. Karena Killa ingin hidupnya tenang dan damai. Hidup ini pilihan. Jadi, kalian sendiri lah yang menentukan akan seperti apa kehidupan yang kalian lalui. Akan seperti apa jalan yang kalian pilih atau akan seperti apa persimpangan yang kalian lewati. Hanya satu yang bisa dilakukan, yaitu hati-hati dalam memilih. Entah itu memilih jalan hidup, pasangan, atau pun ketentuan lainnya. Sebab, kesempatan kedua hanya hadir untuk kesalahan yang teramat fatal. Killa membulatkan bola matanya secara sempurna saat dirinya melihat beberapa perempuan yang berpakaian nyaris tanpa busana. Lihat saja pakaiannya sungguh transparan. Killa mengedarkan pandangannya ke sekitar, mendapati satu fakta bahwa dirinya satu-satunya perempuan normal yang ada di kelab itu. Maksudnya, dengan pakaian yang normal ala kadarnya. Tidak transparan dan tidak terlalu ketat, apalagi mini. Kelab itu didominasi oleh kaum adam. Killa menyaksikan kemampuan perempuan yang ada di sana mengubah tiang tempat mereka menari menjadi semacam vibrator bagi mereka. Perempuan-perempuan berambut pirang itu bergerak lincah, membuat Killa bergidik ngeri. Berbeda halnya dengan Vero yang mulai terangsang. Ya, laki-laki mana yang tidak terangsang jika disuguhi pemandangan dengan lekuk tubuh nyaris tanpa busana itu? "Ver, mending kita balik deh. Ngapain dah di sini." "Ini tuh tempat tongkrongan barunya si Barra." Hah? Killa tak percaya. Tempat termaksiat di dunia ini adalah tempat  tongkrongan barunya si Barra. "Gue nunggu di luar aja deh, Ver." "Kenapa lo?" Apakah Veri tidak tahu, jika tempat seperti itu sangat membuat Killa risi. "Gue... nggak nyaman ada di sini." Vero terkekeh sebentar. Lalu mengizinkan Killa menunggu di luar. Sekitar satu jam lamanya Killa menunggu di luar kelab yang saat ini ia juluki sebagai kelab termaksiat yang pernah ada. Vero keluar dari kelab tersebut dengan membawa Barra. Barra yang berbeda karena dipengaruhi oleh minuman beralkohol. Sudah lama Killa tak melihat laki-laki itu. Ingin rasanya Killa... memeluknya. Namun, saat Barra meracaukan satu nama tentang seseorang yang telah tiada, keinginan itu sirna seketika. Musnah tanpa sebab. Bagaimana rasanya saat kehadirannmu tak terlihat? Di matanya, entah sampai kapan pun itu... selalu hanya dia yang diingat. Sekali pengganti. Tetap pengganti. °°°°°°°°°° Enam jam kemudian setelah dari 4Play Gentleman’s Club, di Los Angeles, California... "Pa, apa-apaan, sih?!" sergah Barra pada Atta melalui ponselnya dengan rahang yang mengeras. "Pa, aku nggak mau pulang sekarang. Aku masih liburan di sini." "Barra, dengerin Papa dulu." "Sekarang, siapa lagi, Pa? Kemarin Kak Lea... sekarang, siapa lagi?!" "Barra, kamu kalau ngomong sama Papa kamu nada suaranya dipelanin dikit. Kamu harus sopan, Sayang." "Ma..." Barra sedikit luluh karena mendengar suara mamanya itu. "Aku nggak mau dijodoh-jodohin, kayak anak kecil aja." "Barra, dengerin Papamu dulu." "Kak Lea itu lebih tua dari aku. Aku nggak mau. Masak, iya, aku nikah sama orang yang lebih tua dari aku." "Bukan Lea." "Siapa lagi? Si Alisya? Adiknya Viona yang juga anak dari temen Papa itu. Please, deh, Pa. Dia itu masih kekanak-kanakan. Nggak pantes buat aku." "Bukan, Barra." "Ma, aku juga berhak atas siapa yang akan menjadi pasangan hidupku. Bukan Papa sama Mama aja yang ribut milihin pasangan buat aku. Inget, ya, Ma, Pa, ini itu bukan zamannya Siti Nurbaya." "Kamu itu harta paling berharga yang Papa sama Mama punya. Apa yang Papa sama Mama pilihin buat kamu itu yang terbaik, Sayang." Barra berdeham tak terima. "Ini yang terbaik buat kamu, Sayang." "Barra, kamu harus dengerin apa yang Mama kamu..." "s**t!" umpat Barra. Tut... Barra memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak lalu melemparkan ponselnya ke sembarang arah. Matahari pagi mulai menyambutnya, membuat kamarnya silau akan sinar mentari. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar, kepalanya masih terasa pening akibat minuman yang Barra teguk tadi malam. Aroma masakan begitu menusuk indra penciuman Barra. Selama menginap di hotel itu, tidak pernah ia mencium aroma... mi instan dalam ruangannya. "Lo ngapain di sini?" pertanyaan tajam dengan nada dingin disertai raut wajah datar itu mampu membuat tubuh Killa menegang di tempat. Pasokan udara di sekitar Killa seakan kian menepis saat dirinya dihadapkan dalam suatu kondisi harus berhadapan dengan Barra dalam satu ruangan. "Gu-gue..." Killa gugup. Mi yang ia pegang langsung Killa taruh di atas meja. Killa menundukkan pandangannya. Tak ingin menatap dua bola mata Barra yang begitu tajam dan nyalang. "Jadi, gimana?" tanya Barra setelah lama terdiam. Killa tergagap. "Gi-gimana apanya?" "Gimana caranya lo bisa masuk ke sini." "Ah... itu." Killa menujuk Vero yang tengah tertidur di sofa. Barra mengembuskan napasnya kasar melihat Vero ada di sana bersama Killa. Ia baru sadar, jika yang membawanya pulang dari kelab kemarin bukan teman-teman bulenya, melainkan si Vero. Pandangan mata Barra teralih pada kalung yang Killa pakai. Kalung yang sama seperti pemiliknya, selalu membuatnya gila dan tergila-gila. "Lo mau ngapain ke sini? Setelah sekian lama lo ngehindar dari gue. Dan sekarang lo..." "Gue mau lo pulang. Balik ke Indonesia." Barra mengernyitkan keningnya, bingung. Ekspresinya masih terlihat garang. Selalu terlihat garang di mata Killa. "Pulang, Barr. Tante Vei butuh elo." "Lo siapa? Hah?! Berani-beraninya nyuruh gue?" Killa susah payah menelan salivanya. Iya, memangnya Killa siapa? Punya hubungan apa Killa dengan Barra sehingga dengan beraninya dirinya menyuruh laki-laki itu pulang. "Jangan pernah lo lupain tentang status lo sebagai pembunuh." Killa mendongakkan kepalanya agar tatapan keduanya saling bertemu. "Gue bukan pembunuh." "Cih," Barra berdecih. "Percuma lo bilang kayak apa pun itu. Karena kenyataannya emang, gitu." Killa merasa sebagian organ tubuhnya melemah kala Barra mengatakan bahwa dirinya itu pembunuh. Walaupun, itu bukan yang kali pertamanya Killa dengar. Namun, rasa sesak yang teramat itu mulai kembali menyerang d**a Killa. Barra tidak mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari Killa. Lebih tepatnya pada seutas rantai perak yang melingkar di leher jenjang perempuan itu. Jujur. Barra mengamati Killa lekat-lekat sambil membayangkan, jikalau Killa adalah Ashilla-nya. Killa beringsut mundur saat Barra perlahan mendekat ke arahnya. Satu per satu jarak di antara keduanya mulai terkikis. Dan Killa harus rela menahan napasnya karena aroma khas milik Barra mulai menyeruak memenuhi rongga hidungnya. Aroma khas daun mint yang cool. Tangan Barra tergerak secara pelan mengusap liontin milik Killa itu. "Udah berapa kali gue bilang, kalau lo nggak pantes pakai ini." "Hah?" "Cuma Ashilla yang pantes pakai ini," kata Barra dengan raut wajah datarnya dipadu dengan nada suara miliknya yang dingin. Sret... Barra menarik secara paksa kalung yang melingkar di leher jenjang Killa hingga terlepas begitu saja dalam satu sentakan. Ia tertawa puas melihat kalung yang Killa pakai itu, kini berada dalam genggamannya. "Lo!" "Kan, udah gue bilang... lo nggak pantes pakai ini. Cuma Shilla yang pantes." "Balikin!" pinta Killa. "Eits, nggak bisa." "Gila, ya, lo!" "Lo baru tahu kalau gue gila? Dari dulu gue GILA." Barra tertawa sarkastis lalu berjalan menjauh dari Killa dengan santainya. Laki-laki itu mengabaikan segala teriakan Killa yang meminta kalungnya dikembalikan. "Barra, kembaliin kalung gue!" Killa mencoba mengambil kalungnya dari tangan Barra. Namun, laki-laki itu malah mencengkeram pergelangan tangan Killa lalu berujar dingin. "Jangan sentuh gue." "Balikin..." rengek Killa putus asa. Kalung itu sangat berarti baginya karena merupakan apa yang selama ini ia jaga. Barra mengibaskan tangan Killa hingga perempuan itu sedikit terhuyung ke belakang. Dan selanjutnya, Barra meninggalkannya sembari membawa kalung berharga milik perempuan itu ke dalam genggaman tangannya. Killa terduduk di lantai kala Barra semakin menjauh darinya hingga tubuh laki-laki itu sudah tidak terlihat lagi, tangannya mengusap leher jenjangnya yang kini tidak ada sesuatu yang melingkar di sana lagi. Killa kehilangan miliknya. Si lemah Killa kehilangan apa yang menjadi sesuatu paling berharga di hidupnya. Segala bentuk pertahanan diri yang Killa bangun roboh seketika kala berhadapan dengan Barra. Semua hal tentang Barra mampu membuat hatinya sakit, tanpa disertai luka yang berdara-darah. Namun, sakitnya tersa menembus ulu hati. Bisakah Killa mengambilnya kembali dari Barra? Mengambil penguat hatinya, semangat hidupnya, dan alasan dirinya tak pernah merasa sendiri di dunia yang kejam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD