•Si Kembar•

1930 Words
"Karena cinta bukanlah perasaan sederhana, melainkan metamorfosa rasa yang melewati banyak proses." -Barrabas Mahesa- °°°°°°°°°° "Tumben lo kayak buru-buru gini. Nyari siapa, sih?" tanya Vero yang sedari tadi mengikuti langkah kaki Barra. Tatapan matanya mengedar hingga ke segala penjuru tatkala mendapati keadaan kamar itu lengang. Barra mendesah kesal. Sebenarnya, Barra sedang mencari Killa. Di mana Killa? Apakah Killa benar-benar telah pergi? "Njir, lagi nyari siapa, sih, lo?" "Gak." Vero terkekeh geli melihat ekspresi wajah yang Barra tampilkan saat ini. "Muka lo asem banget." "Apaan, sih, lo!" Barra menyingkirkan tangan Vero yang merangkul lehernya. "Eh, Nyokap sama Bokap gue bilang, lo mau dijodohin." Barra melirik Vero sekilas lalu mempercepat langkah kakinya. Tidak ingin mendengar pertanyaan Vero lebih lanjut lagi. Vero tentu saja tidak tinggal diam, sahabat karibnya itu mencoba menyejajarkan langkah kakinya agar sama dengan Barra. "Gue juga nggak setuju kali kalau lo dijodohin sama Kak Lea," kata Vero. "Secara, gue tahu kelakuan busuk lo." "Njir..." Barra memasukkan satu tangannya ke dalam saku celananya. "Kelakuan busuk gue yang mana?" "Halah... banyak lah. Terutama, lo yang suka buat mainan cewek-cewek." "Cih," Barra menyenggol pelan lengan Vero. "Tenang aja. Perjodohan gue sama Kak Lea udah dibatalin." "Kok bisa?" "Karena gue nggak mau saudaraan sama elo," kata Barra dengan di akhiri kekehan gelinya. "Lagian, nih, ye, dilihat dari sudut pandang mana pun gue sama Kak Lea itu nggak cocok." "Syukur deh kalau lo tahu diri." Barra menatap Vero tajam, sedangkan sahabatnya itu tampak menyengir seraya mengacungkan dua jarinya tanda perdamaian. "Gue cabut." "Lo mau ke mana lagi, sih, Barr? Gue ke sini tuh mau bawa lo pulang." "Gue mau nyari Killa." "Lah, tuh anak emang ke mana?" Vero baru menyadari Killa tak ada di penginapan mereka. "Paling dia lagi nyari spot foto di luar." "Enggak... ini salah gue dia pergi." "Lo ngapain dia?" °°°°°°°°°° Setengah jam yang lalu... Killa mengendap-endap guna mengambil kalungnya. Ia nekat masuk ke kamarnya Barra. Perempuan itu mempunyai keberanian penuh karena ia merasa harus segera mengambil kalungnya dari tangan Barra. Bagi Killa, tidak ada kalung itu, maka hidupnya tak berarah. Setidaknya, kala Killa mengusap-usap liontin itu di saat dirinya sedang kesusahan, maka seperti ada penguat tersendiri yang tersalur pada hatinya. Mampu meneguhkan segala kebimbangan hatinya atau mampu mengenyahkan serpihan-serpihan ragu yang mengepul layaknya debu hitam di pandangan matanya. Hampir di seluruh bagian kamar itu sudah Killa geledah. Namun, seutas rantai perak itu tak kunjung ditemukan. Air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. Killa sesegera mungkin mengusap matanya, mengembuskan napas panjang lalu berujar dalam hati bahwa tak ada yang perlu ditangisi. Gue kuat! Gue nggak cengeng! "Selain pembunuh, lo juga berprofesi jadi pencuri sekarang ini?" Killa terkejut bukan main. Ia menolehkan pandangannya ke samping, di sana sudah ada Barra tengah berdiri menatapnya tajam dengan tangan yang terlipat di depan d**a. "Barra, balikin kalung gue. Gue mohon." Pintanya sepenuh hati dengan nada putus asa. Killa tidak tahu harus bagaimana lagi ia meminta Barra mengembalikan kalungnya. "Lo nggak pantes pakai kalung itu!" "Iya. Gue emang nggak pantes pakai kalung itu. Tapi, apa hak lo ngambil milik gue?!" "Lo hidup sekarang ini karena gue. Inget!" "Gue inget. Gue selalu inget akan hal. itu." Barra menganggukkan kepalanya dengan menyunggingkan sedikit sudut bibirnya. "Dan lo... pembunuh Shilla." "Gue bukan pembunuh..." Killa berucap pelan. "Gue bukan pembunuh, Bar." Apakah Killa merasakan sakit hati saat setiap kali Barra mengatakan tentang hal itu? Tentu saja. Killa berusaha keras menanyakan satu hal yang sangat ingin ia ketahui jawabannya. "Apa lo nyesel nyelametin gue waktu itu?" Tangan Barra mengambang di udara karena ingin menyentuh Killa. "Apa lo nyesel biarin gue hidup di dunia ini?" tanya Killa dengan nada putus asanya. "Kenapa lo selalu nyebut gue pembunuh? Kenapa?!!!!" "Karena lo penyebab Ashilla gue meninggal!" Killa mengangguk-anggukkan kepalanya paham dengan hati yang terluka. Jawaban Barra adalah apa yang selama ini sudah sangat jelas tergambar. "Ya, seharusnya gue yang berbaring di tanah dan Ashilla yang masih hidup. Seharusnya, kayak gitu." Barra menggelengkan kepalanya pelan. "Seharusnya, nggak ada yang meninggal. Seharusnya, kalian berdua masih hidup di dunia ini." Killa menatap Barra dengan tatapan tidak percayanya. "Lo pengin tahu kenapa gue selalu nyebut lo pembunuh?" Barra memiringkan wajahnya guna melihat ekspresi wajah Killa secara keseluruhan. Karena perempuan itu memalingkan wajahnya. Killa menganggukkan kepalanya dan Barra pun mulai buka suara lagi. "Karena lo yang buat Shilla pergi dari rumah dan akhirnya, kalian berdua diculik. Lo yang buat Shilla dalam keadaam bahaya." "Bu-bukan gue..." "Gue masih ingat dengan jelas tangisan dia pas minta gue buat jemput dia," kata Barra penuh penekanan. "Dia ketakutan." Barra, a-aku takut... jemput aku... di sini gelap. Aku sama Kak Killa ada di tempat yang gelap. Killa tidak tahu, kapan Shilla sempat meminta bantuan pada Barra. Yang ia tahu, Barra tiba-tiba datang sebagai sosok malaikat baginya. "Lo penyebab penculikan itu terjadi!" Killa benar-benar ingin menangis, berteriak sekencang-kencangnya, dan yang terpenting ingin melampiaskan rasa sakit hatinya. Namun, dengan cara apa? Hatinya terasa ribuan kali sesaknya. Killa tahu, kedatangannya di Amerika untuk membawa Barra pulang ke Indonesia akan sangat sulit, ya, seperti saat ini. Seharusnya, Killa bisa kebal terhadap apa pun yang Barra ucapkan. "Terus... lo mau apa sekarang? Bilang, Barr. Bilang!" "Jadi Shilla buat gue. Dan semua masalah selesai." "ENGGAK!" "Atau... pergi dari sini. Jangan pernah lo tunjukkin lagi batang hidung lo di hadapan gue. Kalau perlu, lo mati aja." °°°°°°°°°° Di sepanjang jalan Killa berjalan, semua mata memandangnya dengan pandangan iba. Bagaimana tak iba? Lelehan air mata itu terus keluar dari sudut matanya. Killa seperti anak kecil yang kehilangan keluargnya atau seperti sedang bermain peran dalam sebuah film berjudul Lost in Los Angeles. Mungkin, akan terasa menyenangakan jika yang ia hadapi saat ini hanyalah sebuah peran dalam sebuah film. Di akhir film itu pasti ada kata tamatnya. Namun, di kehidupan Killa? Berbeda sekali. Semua masalah terus berdatangan silih berganti. Masalah yang sebelumnya belum ditemukan solusinya, masalah baru muncul. Begitu seterusnya hingga Killa merasa kepalanya hampir pecah. Killa ingin segera pulang ke Indonesia saja. Ia membuka tasnya, mengambil dompet miliknya yang terletak di sana. Uangnya cukup untuk membeli tiket pesawat, tapi saat ia akan memesan sebuah tiket pesawat, janji itu pun terngiang lagi dalam indra pendengarannya. Killa bakal bawa Barra pulang ke Indonesia. Killa janji. Perempuan itu pun kembali menangis lagi. Mengapa hidup di dunia ini begitu sulit? Mengapa kehadirannya tak pernah benar-benar diharapkan? Tak ada yang benar-benar menerimanya sebagai Akilla Ainina Gardiawan. Semua... menyayangkan Killa yang hidup. Semua... berkeinginan, jika Shilla-lah yang masih bernapas saat ini. Semua menekannya. Termasuk papanya, Barra, Vei, Atta, teman-temannya pun  berkelakuan sama. Killa dan Shilla memang kembar. Namun, tidak bisakah mereka semua sedikit saja membuka matanya untuk menerima diri Killa yang apa adanya, tanpa perlu menjadi pengganti orang lain. Di tengah hirup pikuk kota Los Angeles itu, kota dengan penduduk terbanyak ke-2 sedunia, Killa menumpahkan segala kesedihannya di pinggiran toko pakaian yang berjejer rapi di tepi jalan. Terserah orang berpikiran apa tentangnya. Kalau perlu, lo mati aja. Rasa-rasanya Killa ingin menembakkan pistol ke kepalanya atau menusuk perutnya dengan pisau yang tajam. Mengakhiri hidupnya adalah pilihan yang terbaik, 'kan? Jika hidupnya berakhir, maka masalahnya pun lenyap. Killa juga bisa bertemu dengan Shilla dan mamanya di rumah Tuhan. Pikirannya masih terus berkelana memikirkan kehidupan di akhirat kelak bersama Shilla dan mamanya hingga Killa tak sadar ada sebuah mobil mewah keluaran terbaru berhenti di depannya. Pemilik mobil itu keluar dari dalam mobil dengan raut wajah lega, menemukan seseorang yang ia cari. "Pulang." Lamunan Killa buyar saat itu juga. Cepat-cepat ia menghapus air matanya. Tidak mau terlihat lemah di hadapan laki-laki yang baru saja menghunuskan kalimat tajamnya sampai-sampai melukai hatinya begitu dalam. "Pulang." Maafin gue. Kalimat permintaan maaf itu hanya terucap dalam batinnya. "Pulang. Ngapain lo di sini?!" meskipun nada suaranya terdengar membentak, Killa tetap tersenyum akan hal itu. Barra mengajaknya pulang. Itu artinya, Barra mencari keberadaannya. Barra mengkhawatirkannya. Iya, 'kan? "Cepet masuk." Tanpa basa-basi lagi Killa ikut masuk ke dalam mobil. Merangkai kalimat yang dapat menguatkan hatinya. Percayalah menghadapi Barra itu bukanlah suatu hal yang mudah. Jika tidak ingat janjinya terhadap Vei, maka Killa pastinya sudah memesan tiket untuk pulang ke Indonesia. "Gue udah pesenin lo tiket pulang ke Indo," kata Barra membuat Killa mendelik. "Besok. Sama Vero lo balik ke Indonesia." "Dan lo gimana? Lo nggak balik ke Indo?" "Nggak!" Barra mendengus tajam, mencengkeram setir kemudinya. "Gue nggak mau pulang selama lo masih di sini." "Lo nggak usah sok ngatur hidup gue, Akilla Ainina Gardiawan." Killa terdiam. Barra menyebut nama lengkapnya. Namun, rasanya Barra meludahinya begitu saja. Saat Barra menyebut namanya, terdengar sekali bahwa itu sebuah keterpaksaan belaka. "Itu 'kan yang lo mau? Gue udah anggep lo Akilla. Ya, Killa." "Barr..." "Mau lo apa lagi?" Barra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi seiring emosinya yang kian meningkat. "Lo mau gue balik ke Indonesia lalu gue selalu kebayang-bayang tentang Shilla dan semua kejadian sialan itu. Terus... gue kumat lagi. Gue dipaksa ikut terapi lagi. Itu 'kan yang lo mau?!" Killa menggelengkan kepalanya. Sungguh, ia tidak berpikiran seperti itu. "Lebih baik gue di sini. Dan gue harap, gue bisa dapetin pengganti Shilla. Yang pasti, bukan elo." Seharusnya Killa senang. Barra tak memintanya menjadi pengganti Shilla lagi. Namun, mengapa hatinya masih terasa nyeri setiap apa yang keluar dari mulut Barra itu terucap. "Di sini... banyak cewek cantik, seksi, dan pastinya lebih bisa bikin gue puas." "Barra..." "Apa lagi? Hah?!" "Mama sama Papa lo... mereka butuh elo." Barra tak menggubrisnya. Lalu Killa memegang lengannya. Sentuhan fisik pertama kali yang diawali oleh Killa. "Tante Vei kemarin pingsan. Tekanan darahnya rendah." Alis Barra terangkat satu. Laki-laki itu mulai memikirkan tentang Vei, mamanya. "Tante Vei... dia... mikirin lo terus." Barra menarik napas panjang. Mobil yang ia kendarai mulai Barra turunkan kecepatannya menjadi normal. "Bilang ke Mama gue, di sini gue baik-baik aja. Jangan khawatirin tentang gue. Gue selalu baik-baik aja." "Tapi..." Killa tetap tidak mau melepaskan Barra. Pegangan di lengan Barra pun tak mau Killa lepaskan. "Gue suka di sini. Di Los Angeles, Amerika." "Kenapa lo suka di sini?" tanya Killa. "Lo nggak punya banyak temen di sini, Barr." "Di sini panas..." Barra menerawang lewat kaca mobilnya. "Selalu ada matahari yang bersinar terang di sini. Gue nggak perlu bolak-balik mengamati ramalan cuaca. Kalau hujan, durasinya pendek dan biasanya hujan itu menyenangkan. Gue suka di sini." Karena Shilla menyukai tempat yang panas layaknya gurun pasir, tandus. "Karena Shilla suka tempat ini, 'kan?" tebak Killa. "Tuh, lo tahu alasan gue di sini." "Tiga tahun. Udah tiga tahun, Barr." "Lo mungkin nganggep hal itu biasa," kata Barra seraya tersenyum tipis. Wajahnya tak lagi sedingin tadi. "Tapi, apa lo bisa bayangin... lo lihat dengan mata kepala lo sendiri. Orang yang lo cintai mati di depan elo. Semua kejadian panas itu terekam sempurna di ingatan gue." Killa memang tak pernah bisa membayangkan semenyakitkan apa yang dirasakan Barra perihal kehilangan Shilla. "Kalau gue bisa minta sama Tuhan, gue mau dibuat amnesia seumur hidup." Killa terdiam. Itu percakapan terakhir mereka dalam mobil setelahnya hanya ada hening yang mencekam selama perjalanan menuju pulang. Mobil Barra berhenti di Comfort Inn and Suites LAX pada pukul setengah enam menjelang senja. Barra dan Killa masih dengan keterbungkamannya. Mereka berdua hendak masuk ke kamar penginapan masing-masing yang ada di hotel itu. Barra dan Vero tinggal dalam satu kamar, sedangkan Killa beda kamar. Kamar penginapannya terletak tepat di depan kamar milik Barra. Sebelum Barra memasuki kamarnya, Killa mengucapkannya. Mengucapkan kalimat tak terduga yang ternyata bisa Killa ucapkan. Dan... semuanya pun kembali dimulai. Memulai semua dari awal dengan awal yang berbeda. Dengan orang yang tak sama dan dengan tinta yang berbeda. Kisah percintaan Barra mulai ditulis ulang lagi. "Gue mau. Gue mau ngebantu elo buat ngelupain Shilla. Kasih gue waktu buat bikin lo lupa sama dia. Bikin lo amnesia sama kembaran gue itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD