"Dia yang tidak berani menunjukkan dirinya di hadapanku saat ini adalah seorang pengecut."
-Akilla Ainina Gardiawan-
°°°°°°°°°°
Killa memijat pelipisnya sebentar guna memperlancar aliran darahnya yang seakan tersumbat saat ini. Ia begitu pusing tatkala menyadari apa yang Killa katakan pada Barra tadi.
Benarkah Killa mengatakan itu? Ia bahkan tak bisa memercayai apa yang mulutnya itu lontarkan. Killa meremas mulutnya dengan gemas. Mengapa bisa-bisanya ia berbicara tanpa berpikir lebih dulu. Namun, jika diteliti lebih lanjut, apa yang Killa ucapkan tidak sepenuhnya salah mulutnya yang asal bicara. Itu merupakan apa yang hati kecilnya ingin lontarkan.
Tidak cukupkah tiga tahun untuk Killa pura-pura tak peduli pada Barra. Sekarang, ia memutuskan untuk memakai hatinya.
Selama menangis di emperan toko tadi karena Barra mengusirnya lalu laki-laki itu juga yang datang menjemputnya, Killa sadar satu hal. Mereka berdua sama-sama keras kepala dan lebih mementingkan ego masing-masing.
Barra memang benar menyuruh Killa kembali ke penginapan, tapi laki-laki itu sampai detik ini belum mengatakan permintaan maafnya. Terbukti Barra itu mempunyai ego yang tinggi.
Killa pun sama.
Maka dari itu, Killa mengambil jalan lain.
"Gue mau. Gue mau ngebantu elo buat ngelupain Shilla. Kasih gue waktu buat bikin lo lupa sama dia. Bikin lo amnesia sama kembaran gue itu."
Dan kalimat itu juga yang bagai petir dalam kehidupan Killa selanjutnya.
Barra mengingkan sebuah pernikahan. Killa pun sedikit mengalihkan perhatian. Tak mau langsung menuruti permintaan Barra. Apa Barra pikir menikah itu mudah? Semudah membeli kacang di pasaran? Tidak. Killa tak pernah berpikiran seperti itu.
"Hei! Lo lagi ngapain di dalem?"
Killa mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba membuyarkan berbagai lamunannya yang mulai terangkai di dalam pikirannya.
"Keluar, gih. Gue pengin ngomong sesuatu."
Itu artinya, Barra minta dibukakan pintu, 'kan?
Saat pintu terbuka, entah mengapa debaran jantung Killa menjadi tak menentu ketika dihadapkan pada raut wajah Barra. Raut wajah yang menyimpan sejuta ekspresi.
"Kita besok udah balik ke Indonesia."
"Te-rus ke-na-pa?"
"Lo abis makan apa? Kok jadi gagu, gini?" tanya Barra sambil mengamati diri Killa lekat-lekat.
"Eh," Killa salah tingkah. Perempuan itu nyengir. Pipinya memerah. "Enggak makan apa-apa."
"Ya, udah. Ayok!" Barra menarik pergelangan tangan Killa.
"Eh-eh, mau ke mana, Barra?"
"Satu hari bahagia jadi tunangan gue. Mau? Kapan lagi bisa jalan-jalan di LA sama orang ganteng kayak gue."
Deg.
Killa langsung menghentikan langkah kakinya. Begitu pun dengan Barra yang menyadari Killa diam, tak terima.
"Gue bukan tunangan elo, Bar."
"Gue rasa, apa yang lo omongin tadi sudah cukup jelas. Lo mau jadi Shilla, milik gue. Tunangan gue."
Killa menggelengkan kepalanya seraya tersungging senyum pahit yang terlukis di bibir mungilnya. "Gue cuma bilang, gue mau bantuin elo lupain Shilla."
Barra mendengus. Laki-laki itu berpikiran Killa mulai berani mempermainkannya.
"Barr..." Killa berucap lirih. "Tatap mata gue."
Barra membuang pandangannya.
"Tatap gue sebagai Killa. Gue bener-bener mau bantu elo buat lupain Shilla. Yang udah nggak ada... selamanya nggak akan pernah bisa digantiin dengan apa pun itu. Termasuk gue," Killa menunjuk diri sendiri dengan miris. "Meskipun gue mirip sama Shilla... gue tetep aja nggak bisa jadi pengganti dia, Barr."
"Mau lo itu apa, sih?!" Barra meremas rambut hitam pekat miliknya.
"Gue mau elo bisa ngelupain masa lalu. Memulai kenangan baru, Barr."
"s**t! s**t! s**t!"
"Barr..." Killa tahu Barra sebentar lagi emosinya akan memuncak, meletup-letup. Maka dari itu, Killa menggenggam tangan Barra. "Lo tahu nggak sih apa kelebihan orang yang udah meninggal? Orang yang udah meninggal... punya alamnya sendiri. Dia hidup bukan di alam kita. Kalau udah saatnya kita bakal dipertemukan lagi, nanti." Killa menarik napasnya lalu melanjutkan. "Di alam mereka, orang yang udah meninggal itu... mereka bisa ngelihat apa yang terjadi di dunia kita. Lo tahu apa maksud gue?"
Barra mengepalkan tangannya. Pikirannya tak bisa berpikir jernih saat. Ia tadi sudah diajak melambung tinggi dengan ucapan manis Killa. Lalu saat ini, Killa menghempaskannya lagi.
"Di alam sana... Shilla tahu lo masih berat buat ngelepas kepergian dia. Jangan jadiin dia beban dan halangan elo buat melangkah maju, Barr."
Baru saja Barra akan berteriak omong kosong dengan nada keras tepat di depan wajah Killa. Namun, tak disangka-sangka Killa memeluknya. Benar-benar memeluknya.
Selama tiga tahun terakhir ini, tidak ada perempuan yang memeluknya selain Shilla dan mamanya, Vei. Selain itu, tak ada lagi. Dan kehangatan akibat pelukan itu pun terasa. Terasa sekali hingga bisa menembus hatinya, membuat bagian terkecil dalam hatinya bergetar.
Barra sampai tak bisa berkutik. Killa memeluknya dengan erat. Tinggi tubuh mereka berdua yang terpaut cukup jauh memudahkan Barra untuk mengecup puncak kepala Killa di saat perempuan itu memeluknya.
"Ikhlasin Shilla, Barr. Biarin dia tenang di alam sana."
"Nggak bisa. Nggak akan pernah bisa."
"Nggak ada kata nggak bisa. Semua bisa asalkan ada niatan."
Barra terdiam.
Mengapa Killa menjadi lebih pengertian kepadanya?
Killa memang sengaja memeluk Barra karena ingin meruntuhkan egonya yang setinggi langit sama seperti Barra.
"Gue janji bakal buat lo lupain Shilla atau minimal lupain kejadian buruk yang pernah terjadi dalam hidup lo atau mungkin... bisa buat lo bahagia tanpa adanya Shilla."
Gue janji. Gue janji bakal bantu elo sesuai permintaan Tante Vei. Gue janji, Barr.
°°°°°°°°°°
"Udah napa sih foto-fotonya!"
"Nggak! Semua moment itu harus diabadikan."
"Dasar lebay, alay, kampungan..."
"Barra!"
"Terserah elo deh, terserah."
"Pelan-pelan bawa mobilnya biar semua bisa terekam."
Barra mengajak Killa pergi keluar dari kamar penginapan mereka. Menghabiskan waktu di dalam kamar hotel sungguh membosankan bagi keduanya, kecuali bagi Vero. Karena laki-laki itu memang berbeda dari jenis laki-laki yang lain.
"Jadi, kita mau ke mana ini?"
"Disneyland..."
"Kayak anak kecil aja."
"Emang gue masih masih kecil, nih, ya, gue tanya, lo sama gue tuaan siapa? Elo, 'kan? Itu berarti gue emang masih kecil. Masih imut gini."
Barra mendengus, sedangkan Killa masih sibuk dengan ponsel pintarnya. "Mulai narsisnya."
"Pokoknya kita ke Disneyland."
"Enggak," Barra menolak permintaan Killa ke Disneyland. "Apaan sih ke tempat kayak begituan. Nggak guna."
"Ya ampun, Barra. Nggak guna gimana, sih?!" Killa memiringkan posisi duduknya, menyimpan ponselnya sebentar agar bisa memberi Barra penjelasan lebih perihal tempat wisata Disneyland itu. "Di sana kita bisa foto-foto cantik layaknya ada di negeri dongeng."
"Nggak. Pokoknya enggak."
"Barra, ih."
"Cari destinasi lain atau kita balik ke hotel aja."
"JANGAN, DONG!"
"Biasa aja napa."
"Terus kita ke mana?"
"Gue tahu tempat yang bagus buat lo foto-foto selain di Disneyland."
Killa mengernyitkan keningnya, bertanya di mana mereka akan pergi? Namun, Barra tak memberikan jawaban.
Mobil Barra terus melaju ke suatu tempat yang Killa tak tahu tujuannya akan ke mana.
Akhirnya Killa kembali pasrah, kembali bergelut dengan dunianya sendiri. Dunia maya. Killa bahkan melakukan siaran langsung di akun Instagramnya selama dalam perjalanan menuju ke suatu tempat yang masih dirahasiakan. Di sampingnya, Barra hanya bisa geleng-geleng kelapa.
Beberapa saat berlalu, Killa sudah lelah dengan ponselnya barulah mobil Barra berhenti. Dan Killa tercengang senang.
Siapa yang tidak tahu dengan papan bertuliskan Hollywood yang berada di Los Angeles. Tempat itu adalah sebuah markah tanah yang dijadikan salah satu icon kultural yang terkenal di Amerika.
Destinasi wisata itu bisa memanjakan mata dan pikiran Killa yang tadinya sudah lelah. Tidak salah Barra mengajak pergi keluar kali ini.
Dengan cuaca yang relatif sama dengan Indonesia, Barra dan Killa tidak perlu berhadaptasi terlalu lama di sana. Karena itulah Los Angeles menjadi tempat yang menyenangkan dan memikat para hati wisatawan.
Hollywood Sign.
"Wah, GILAK. Kayak mimpi gue."
"Di sini angelnya pas buat foto."
"Barra, gue nggak kepikiran buat ke sini tadinya."
Barra tidak memperbolehkan Killa untuk mendaki ke bukit Hollywood karena kondisinya yang sangat terjal, serta terdapat jurang yang curam. Tempat termudah untuk melihat dan menangkap foto icon Hollywood itu adalah di Hollywood dan Highland Center. Killa mencebikkan bibirnya. Namun, bahagia itu masih tersisa di sela senyuman tipisnya.
Barra pun tersenyum dengan refleks, tanpa permintaan dari Killa, laki-laki itu mengambil alih kamera digital milik Killa. Mulai memotret-motret dengan asal pemandangan di sana, tanpa memfokuskannya terlebih dahulu. Di saat lensa kameranya terhenti tepat di wajah Killa, Barra mulai memfokuskannya lalu mengabadikan moment yang terjadi.
Untuk pertama kalinya, Barra memotret bidadari tengah tersenyum riang dengan kamera digitalnya. Ya, Killa layaknya bidadari.
Killa tidak tahu Barra memotretnya secara diam-diam. Perempuan itu fokus melakukan siaran langsung di Instagramnya guna memberikan pemberitahuan pada pengikutnya di sosial media bahwa ia tengah berlibur di Los Angeles.
"Barra, haus..." Killa menurunkan ponselnya. "Batrei hapeku juga abis."
"Makanya, hape itu jangan dipake terus. Pas dibutuhin jadi low bat, 'kan."
"Bawel!"
"Ya, udah. Gue beli minum dulu. Lo tunggu di sini."
Killa menganggukkan kepalanya.
Belum sampai lima menit Killa menunggu Barra, perempuan itu berinisiatif mengambil power bank di dalam mobil. Sembari bersenandung riang menyanyikan salah satu lagu dari boyband Korea favoritnya, Killa melangkahkan kakinya. Tak menyadari jika ada yang memerhatikannya dari kejauhan.
Killa mengambil power bank yang dibutuhkannya lalu saat ia baru saja keluar dari mobil. Ia menyadari ada yang memerhatikannya. Dua pria berbadan tegaplah yang tengah memerhatikannya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Mereka berdua mendekat ke arah Killa.
Dari perawakannya saja Killa langsung bergidik ngeri.
Bengis. Itulah definisi dari mereka berdua.
Banyak pertanyaan yang timbul dalam benak pikiran Killa. Mulai dari mengapa ia diperhatikan oleh dua pria itu. Maka dari itu, saat Barra datang dengan membawakan dua minuman untuknya Killa langsung berlindung pada laki-laki itu.
"Barra..."
"Lo minta apa lagi, sih?!"
Killa mengarahkan pandangan matanya pada dua pria itu. Barra langsung mengerti apa yang membuat Killa merasa was-was.
"Mereka siapa?" tanya Barra. Killa hanya bisa menggelengkan kepalanya sebagai tanda tidak tahunya. "Mending kita balik sekarang. Tempat ini nggak aman."
Barra mengajak Killa pulang. Entah mengapa firasatnya menjadi tidak enak. Ada apa? Siapa dia? Mengapa tatapan dua pria itu seakan ingin melenyapkan Killa-nya. Laki-laki itu lalu menolehkan pandangannya pada Killa, ia tak pernah siap untuk kehilangan kedua kalinya pada seseorang yang berwajah sama.
Tidak.