•Awalan•

470 Words
Semisal kamu memang ditakdirkan untuk menorehkan kenangan pahit lantas mengubahnya menjadi potongan-potongan kebahagiaan yang acak, akan kuterima. Semisal kamu memang tak berniat berjalan beriringan bersamaku, maka jangan pernah mendekat ke arahku. Jangan pernah mengulurkan tanganmu untukku, jangan. Semisal kamu memang sekadar lewat saja pun akan kuterima. Namun, aku tak terima jika kamu sudah terikat olehku lalu tiba-tiba kamu pergi. Hal yang paling aku sesalkan atas pertemuan ini adalah kamu dan aku yang berbaur menjadi kita. Di hari-hari berikutnya aku merasakan hidupku hancur hanya karena kamu. Kehilangan kamu adalah kegagalan terbesar dalam hidupku. Kehilangan kamu adalah momok tak terduga yang tak pernah kubayangkan. Kehilangan kamu rasanya seperti bumi ini berhenti berputar saat itu juga. Sebelum perempuan itu melontarkan rangkaian kalimat yang tertahan di bibirbya, Barra terlebih dahulu mengatakan sesuatu padanya. "Jadi Shilla buat gue, please." "Barr..." perempuan yang mempunyai netra cokelat itu tampak meremas ujung pakaian serba hitamnya. Ia menggelengkan kepalanya, menjauhkan tubuhnya dari jangkauan laki-laki yang ada di hadapannya itu. "Stop!" "Karena gue lo masih hidup!" "Bar-ra..." "Karena lo juga Shilla mati! Dia mati! Dia pergi ninggalin gue." Perkataan Barra itu mempunyai makna tersendiri bagi Killa. Yang pertama, ia merasa perlu berterima kasih pada Barra karena sudah menyelamatkan nyawanya. Memberinya kesempatan untuk bernapas di dunia ini lebih lama lagi. Namun, makna yang kedua seakan Barra menyesal telah menyelamatkannya. Menyalahkannya atas kematian Shilla. Killa tidak bisa lagi berjalan mundur. Barra mendorongnya hingga menabrak dinding. Lalu kedua tangan Barra mengunci pergerakan tubuh Killa. Laki-laki itu menepis jarak yang terbentang di antara keduanya, Barra merunduk guna mengendus aroma khas dari tubuh Killa. Ia menempatkan kepalanya di ceruk leher Killa. "Lo pembunuh tunangan gue." "Barr, jangan gini. Shilla juga pasti nggak tenang di alam..." Killa menelan ludahnya secara terpaksa ketika Barra mendongakkan kepalanya, kini bola mata keduanya saling bersitatap. Barra dengan tatapan penuh kebenciannya, sedangkan Killa dengan nyalinya yang kian menciut. "Bar-ra." "Jadi Shilla buat gue, please!" Entah itu permintaan atau apa. Namun, Killa menganggapnya sebagai sebuah perintah. "Dua minggu lagi gue nikah. Nikah! Dan gara-gara lo! Semua jadi kacau kayak gini." Killa terdiam. "Lo mau lihat gue gila atau lo mau nyerahin diri lo sekarang buat gue?" Barra memberinya pilihan yang tidak logis. "Lo harus milih di antara dua pilihan itu. Karena gue udah nyelametin hidup lo. Itu artinya, hidup lo sepenuhnya dalam kendali gue." "Enggak..." ucap Killa tidak mau. "Gue nggak mau." Kedua pilihan itu sama-sama tidak pernah terlintas dalam pikiran Killa. "Gantiin Shilla. Jadi tunangan gue. Dan kita akan nikah dua minggu lagi." Bagaimana bisa? Shilla baru saja menutup matanya. Baru beberapa jam yang lalu jenazah Shilla dikebumikan. Mereka bahkan masih melantunkan beberapa doa untuk Shilla. Belum genap satu hari Shilla meninggal dunia. Dan kini? Barra memintanya untuk menggantikan posisi Shilla itu? "Anggep aja yang mati itu Killa," kata Barra seraya membelai lembut pipi Killa. "Dan lo jadi Shilla buat gue."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD