bc

Tak Pernah Kumiliki

book_age12+
1
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
HE
friends to lovers
drama
sweet
bxg
bold
city
office/work place
cheating
love at the first sight
photographer
like
intro-logo
Blurb

Josh Andriano, seorang fotografer muda, telah mencintai Windy Alisha sejak SMA.

Selama bertahun-tahun, ia mencintai Windy dengan tulus; menjadi bahu untuk bersandar, menjadi tempat untuk Windy pulang tanpa diminta.

Jadi, ketika Windy akhirnya menerima cintanya, Josh langsung merasa bahwa dunianya telah menjadi utuh.

Namun, tiga bulan kemudian, Windy mengakhiri hubungan mereka. Alasannya simpel: Windy ternyata menjalin hubungan dengan pria lain di belakangnya dan kini telah bertunangan dengan pria itu.

Josh hancur.

Hidupnya kehilangan warna, kehilangan arah...sebab selama ini, pusat dari hidupnya adalah Windy.

Cinta yang ia bangun dengan tulus justru berakhir dengan pengkhianatan.

Sampai akhirnya, sahabatnya mengenalkannya kepada seorang model bernama Keisha Nathalie untuk menjadi 'objek' dalam proyek fotografi terbarunya.

Melalui lensa itulah, Josh menemukan sesuatu yang tak pernah ia sangka: seseorang yang begitu ringan untuk dicintai.

Keisha bukan Windy.

Ia tidak rumit, tidak penuh tuntutan, tidak bermain dengan perasaan.

Ia jujur, santai, cantik, dan terasa...mudah.

Dengan Keisha, segalanya mengalir tanpa beban, tanpa teka-teki, tanpa luka.

Untuk pertama kalinya, Josh mulai bertanya pada dirinya sendiri:

"Apakah cinta memang harus serumit itu?"

Lalu, di balik setiap jepretan, Josh perlahan menemukan jawabannya.

Kadang, cinta sejati tidak datang dalam bentuk yang penuh gejolak.

Kadang, ia datang dengan sederhana.

Melalui lensa.

Melalui senyuman baru.

Melalui seseorang...yang membuatmu merasa pulang.

chap-preview
Free preview
1. Bersamanya (1)
Bab 1 : Bersamanya (1) ****** APABILA seseorang meniti karir sebagai fotografer, sebetulnya perjalanannya tidak selalu mulus. Acap kali, orang mengira bahwa pekerjaan fotografer itu gampang sekali, seperti orang yang sedang bersenang-senang. Ada juga yang mengira bahwa fotografer itu bukanlah karir ‘utama’ atau sungguhan. Pertanyaan seperti, “Oh... Kamu tukang foto, ya? Jadi, kapan mau cari kerja tetap, nih?” sering kali keluar dari mulut orang-orang yang minta ditabok. Terkadang pula, klien senang dengan hasil jepretan kita, tetapi dia ingin memberi sentuhan lainnya seperti filter. Sangat-sangat tidak menghargai hasil potret orisinalnya. Pokoknya ada saja problem-nya, apalagi soal bayar membayar. Karya yang bagus tidak selalu dihargai dengan bayaran yang setimpal. Sekali lagi, fotografer juga memiliki banyak masalah. Masalah dengan modelnya, masalah dengan teman-teman yang selalu aji mumpung ingin difoto tiap kali jalan bareng (tanpa bayaran), serta masalah dengan para SDM rendah yang mengira kalau fotografer tugasnya hanyalah memfoto orang-orang yang mau pre-wedding. Josh Andriano juga memiliki permasalahan yang kurang lebih sama. Dulu, saat dia tengah menjadi fotografer di sebuah acara pernikahan anak anggota DPRD, dia mendengar ada seorang anak muda yang mengomentarinya dari belakang. Kira-kira yang Josh dengar itu begini: “Pantas fotonya bagus, kameranya itu pasti mahal banget. Kalau aku punya kamera yang mahal, aku juga pasti bisa kayak dia.” Ngg…nggak salah dengar, nih? Benar-benar menyebalkan. Josh belajar menggunakan kamera itu selama bertahun-tahun, lho. Bukan satu hari dua hari. Josh mulai merintis karirnya pelan-pelan secara part-time saat kuliah dan baru benar-benar mendedikasikan dirinya sebagai fotografer sepenuhnya setelah lulus kuliah. Layaknya pekerjaan yang lain, karir Josh juga awalnya naik turun. Penuh dengan trial dan error. Terkadang bermasalah dengan klien, terkadang juga bermasalah dengan dirinya sendiri yang kekurangan motivasi ataupun kekurangan inspirasi. Namun, Josh begitu menyukai dunia fotografi. Fotografi telah menjadi bagian dari hidupnya. Bagian dari dirinya. Baginya, sebuah foto bisa mengandung ribuan makna. Ribuan kesan. Sebuah foto yang bagus akan terasa seolah hidup. Seolah kau mengetahui segala cerita yang ada di dalamnya dan menonton kejadian di dalam foto itu secara langsung. Inilah yang Josh anggap sebagai seni yang tiada tandingannya. Namun, meski Josh selalu terpukau dengan fotografi, sesungguhnya Josh belum merasakan makna mendalam dari ‘fotografi’ di dalam kehidupannya sendiri. Dari balik lensa, Josh selalu melihat berbagai momen, berbagai kejadian, berbagai perasaan, dan berbagai memori. Akan tetapi, makna terdalam dari fotografi, yaitu ‘melihat’ perspektif baru dari kehidupannya, belum pernah benar-benar ia rasakan sendiri. Dia masih memiliki perspektif lama yang baginya adalah sebuah keabsahan. Sebuah jalan terbaik. Jadi, meski Josh adalah seseorang yang perasa, dia masih belum memahami makna fotografi yang satu itu. Sepertinya, makna tersebut adalah jalan menuju pemahaman penuh pada fotografi yang tengah ia tekuni. Seperti kata fotografer profesional Deniek G. Sukarya, fotografi mengajarkan pada kita cara yang unik dalam melihat dunia dan sekaligus memberikan penyadaran baru akan segala keindahan yang ada di sekitar kita. Namun, nanti dulu, deh, memikirkan soal itu. Sore ini Josh sedang istirahat dan memutuskan untuk mengiyakan ajakan Alvin, sohibnya, yang kepengin makan mie ayam di warung lesehan langganan mereka. Warung itu lumayan besar. Desainnya simpel; warna bangunannya didominasi oleh warna krem dan coklat. Di warung itu, semua meja kayunya tertata rapi dan kebersihannya terjaga. “Makasih, Bu,” ucap Josh dan Alvin—nyaris bersamaan—tatkala ibu-ibu pemilik warung itu tengah duduk bersimpuh untuk menaruh pesanan mereka di atas meja. Pesanan Josh dan Alvin adalah dua mangkuk mie ayam bakso dan dua gelas es teh. Ibu itu berusia sekitar 45 tahunan ke atas dan seperti biasa wanita itu berpakaian kebaya lawas. Wanita itu kemudian berdiri, lalu membungkuk sejenak dan berkata, “Monggo, Mas.” Setelah wanita paruh baya itu pergi meninggalkan mereka, Alvin dan Josh langsung menambahkan cabai, kecap, serta saus ke dalam mangkuk mie ayam mereka sesuai dengan selera mereka masing-masing. Saat Josh tengah mengaduk mie ayamnya, Alvin yang masih menambahkan saus ke dalam mangkuk mie ayamnya itu tiba-tiba berkata, “Eh, lo masih, ya, sama si Windy?” Josh menatap Alvin sejenak, lalu dia tersenyum manis—seakan sedang memamerkan kebahagiaannya—dan mengangguk. Setelah itu, seraya mencicipi mie ayamnya, dia pun menjawab, “Iya, masih.” Tanpa Josh sadari, Alvin menghela napas samar. Alvin Bastian sudah mengenal Josh dan Windy sejak lama, tetapi dari segala hal yang ia sukai dari Josh, ada satu hal yang tidak ia sukai. Hal yang tidak Alvin sukai adalah kenyataan bahwa Josh terlalu mencintai Windy Alisha, teman sekelas mereka saat SMA dahulu. Josh Andriano sudah lama jatuh cinta sebelah pihak pada Windy Alisha dan cinta yang Josh miliki bertahun-tahun lamanya itu kian menguat seiring dengan kedewasaan mereka. Alvin tidak menyukai Windy sama sekali. Akan tetapi, melihat Josh yang terlalu mencintai wanita itu, Alvin jadi sedikit kelimpungan. Dia tentu harus berhati-hati dalam mengeluarkan kata-kata larangan pada orang yang tengah dimabuk cinta. Josh dan Windy sekarang malah sudah jadian, sudah berpacaran, selama tiga bulan lamanya. Namun, Alvin tetap berusaha, mengingat dia juga sebenarnya tak bisa menahan unek-uneknya di dalam hati. “Josh. Lo yakin dia nggak manfaatin lo doang?” Josh, yang baru saja menyuap sesendok mie ayam ke dalam mulutnya itu pun menatap Alvin seraya mengerutkan dahi. “Vin, lo udah nanyain itu ke gue lebih dari sepuluh kali, tau nggak?” Alvin—yang baru saja selesai mengaduk mie ayamnya tersebut—hanya mengedikkan bahu, lalu ia memasukkan sebuah bakso ke mulutnya. Ia tampak masih mengunyah saat ia mulai berbicara lagi, “Ya abisnya diliat-liat dia cuma baik sama lo pas ada maunya doang. Dari dulu, kan, dia nggak pernah nunjukin kalo dia suka sama lo. Jadi, agak aneh aja liat dia tiba-tiba nerima lo.” Alvin, Josh, dan Windy berasal dari SMA yang sama dan kelas yang sama. Mereka bersekolah di salah satu SMA swasta yang ada di Jakarta. Ketika lulus SMA, Alvin dan Josh bernasib baik dan akhirnya berkuliah di universitas yang sama, yaitu ITB. Dahulu, Alvin pernah dengar dari Josh—berhubung Josh selalu memperhatikan Windy—bahwa Windy lanjut kuliah di Yogyakarta dan mengambil jurusan perhotelan. Lama mereka tidak bertemu satu sama lain—wajar saja, Alvin dan Josh tidak dekat dengan Windy, mereka hanya satu kelas—hingga Alvin kira Josh akan melupakan Windy. Namun, ternyata tidak semudah itu. Kalau Alvin boleh berkomentar pedas, sesungguhnya Alvin juga tak mengerti apa yang Josh lihat dari Windy. Wanita itu tidak begitu cantik. Dia juga tidak menganggap Josh ada selama ini. Dia tidak memedulikan Josh sama sekali. Akan tetapi, Josh terus saja mencintainya. Saat Alvin dan Josh lulus kuliah, mereka berdua memutuskan untuk merantau ke Surabaya. Meniti karir di Kota Surabaya. Alvin berprofesi sebagai graphic designer (dia juga berprofesi sebagai fotografer, tetapi hanya part-time) dan Josh berprofesi sebagai full-time fotografer. Saat ini, Josh sudah terbilang fotografer profesional. Dia cukup dikenal banyak orang. Sialnya, lima bulan yang lalu, mereka tak sengaja bertemu dengan Windy di sebuah restoran tatkala sedang meeting dengan klien perihal proyek advertisement. Mau tidak mau, mereka jadi harus saling menyapa. Josh jadi bertemu dengan cinta lamanya di sana, cinta lama yang belum ia lupakan. Alvin sontak berspekulasi bahwa mungkin saja Josh langsung berpikir bahwa Windy ini adalah “jodohnya” karena mereka dipertemukan lagi meski tak berkabar sekian tahun. Namun, Alvin tak tahu apakah selama beberapa tahun belakangan ini Josh sudah pernah menghubungi media sosial Windy atau belum. Alvin malas mencari tahu sebab Alvin tidak menyukai Windy. Sesuatu terasa mengganjal tiap kali Alvin melihat perempuan itu. Dari pertemuan itulah, Josh dan Windy jadi bertukar kontak. Setelah bertukar kontak, seperti yang Alvin duga, Josh langsung mengejar-ngejar Windy. Setelah dua bulan ‘dekat’, Josh dan Windy akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih. Agak aneh, pasalnya Alvin tahu persis bahwa Windy itu dari dulu cuek-cuek saja; wanita itu tidak berkomentar apa-apa soal perasaan Josh. Dia berpura-pura tidak tahu bahwa Josh menyukainya. Alvin sering memberitahukan hal ini kepada Josh saat SMA dulu, tetapi jawaban Josh hanyalah: “Jangan gitu, Vin. Lo kok berburuk sangka terus, sih? Dia itu memang nggak tau kalo gue suka sama dia. Gue, kan, nggak pernah kasih tau dia.” Halah. Cinta memang bisa membuat orang jadi bodoh setengah mampus. Alvin juga punya pacar sampai sekarang, tetapi buktinya pacar Alvin—Meira—tidak serumit itu. Kalau sama-sama suka, ya tinggal gas. “Vin, kan udah gue bilang berkali-kali sama lo. Tenang aja. Dia sayang kok sama gue. Jangan berburuk sangka mulu sama dia, Vin, karena lo itu sahabat gue,” pinta Josh seraya mendengkus sejenak, lalu ia kembali memakan mie ayamnya. Alvin menghela napas. Akhirnya, hari ini pun dia memilih untuk menyerah. Entah kapan mata Josh akan terbuka, yang jelas hari ini Alvin sudah mencoba meyakinkan Josh untuk yang kesekian kalinya. Mereka berdua sama-sama diam dan fokus untuk memakan mie ayam di mangkuk masing-masing. Bukan diam karena canggung, tetapi diam karena mau fokus makan sebentar. Tak lama kemudian, seperti teringat akan sesuatu, Alvin pun menegakkan kepalanya lagi untuk menatap Josh. Matanya agak melebar; kedua tangannya masih memegang sendok dan garpu yang ia gunakan untuk makan. “Oh iya, Josh.” “Hm?” Josh menatap Alvin dan mengangkat kepalanya singkat untuk mengisyaratkan ‘Apa?’ “Lo nyari orang yang bisa jadi model buat foto-foto lo, ‘kan? Semacam muse gitu, untuk pameran lo?” tanya Alvin. Josh mengangguk. “Iya, sih, kalau seandainya gue bener-bener bisa bikin pameran gue sendiri.” Seolah mendapat pencerahan, Alvin langsung menjentikkan jarinya, lalu menunjuk Josh dengan jari telunjuknya. “Nah, bingo! Ya kalau foto-foto lo bagus, kenapa nggak? Pasti sukses. Makanya, lo butuh seseorang yang bener-bener bisa jadi muse lo. Seseorang yang cocok untuk foto-foto lo.” “Hmm.” Josh mengangguk. “Bener. Emang kenapa?” Dalam hati, Alvin bersyukur karena Josh tidak kepikiran untuk menjadikan Windy sebagai objek di foto-fotonya. Apa jangan-jangan…diam-diam Josh juga mengakui bahwa Windy kelihatan kurang estetik? Yaa sebenarnya Windy itu tidak jelek, sih, tetapi dia masih kurang untuk dibilang ‘cantik’. Dia manis, tetapi bukan yang semanis gula. Sedang-sedang saja. Namun, dia enak dilihat karena selalu berpakaian rapi dan elegan. Rambutnya sepunggung, agak bergelombang di bagian bawahnya, dan berwarna hitam pekat. Dia juga merupakan orang yang percaya diri. Cocok dengan profesinya sekarang, yaitu resepsionis hotel. “Gini. Inget waktu kita ngerjain proyek Humanity bareng Kak Aji?” tanya Alvin, memastikan. Josh mengangguk. “Iya, inget. Kenapa?” Alvin pun tersenyum. Dia kelihatan bersemangat. “Nah. Itu Kak Aji punya kenalan. Model. Namanya Keisha; Keisha Nathalie. Lo pernah denger?” []

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.7K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
51.2K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.1K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
31.0K
bc

Desahan Sang Biduan

read
54.0K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook