“Zayn, pulanglah dulu, kita harus bicara,”mohon Seva, ditalak seperti ini membuat pikirannya kacau, ia bahkan sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya hidup tanpa seorang suami. Ia akan menjadi janda sebentar lagi. Apa yang akan dikatakan orang tentangnya. Tidak, ini tidak boleh terjadi.
“Aku nggak akan pulang sebelum kamu benar-benar setuju bercerai. Kalau memang kamu nggak setuju, aku akan tetap menceraikan kamu. Keputusanku sudah final, Seva. Jangan meminta dan memohon apa pun. Jangan harap akan kukabulkan.” Zayn memutuskan sambungan telepon.
Seva menggenggam handphonenya dengan erat sambil menangis pilu. Ia sampai memukuli meja dan meremas hatinya sendiri untuk mengurangi rasa sakitnya.
“Bu Seva, Ibu kenapa?” Fadli yang melintasi ruangan kaca itu kaget.
Semua staf yang mendengarkan kepanikan Fadli segera berkerumun. Mereka terkejut melihat kondisi Seva yang terlihat begitu frustrasi. Mereka segera membawa Seva ke ruang kesehatan untuk beristirahat dan menenangkan diri.
Selin berjalan cepat menuju ruang kesehatan begitu mendengar kabar mengenai Seva. Kabar perceraian Seva dan Zayn begitu cepat menyebar usai Seva ditemukan dalam keadaan menangis histeris di ruangannya. Kini, Seva menjadi bahan perbincangan satu kantor.
Mereka tidak menyangka hubungan Seva dan Zayn yang terlihat serasi dan romantis itu justru sedang di ujung tanduk. Lagi-lagi, mereka menduga masalah perceraian itu disebabkan oleh momongan yang tak kunjung hadir. Dugaan mereka tepat sekali sampai-sampai Selin tidak bisa menyetujui atau pun mengangkalnya.
Pintu dibuka dengan cepat, Selin melihat Seva terbaring dengan mata bengkak.”Seva...”
“Selin!”isak wanita itu. Mereka berpelukan dan tangisan Seva pecah.
Selin mengusap punggung Seva.”Ya ampun, Seva...iya...iya aku udah denger semuanya. Sorry...aku telat banget tahu.”
“Aku diceraikan, Selin...aku diceraikan sama Zayn. Dia jahat banget, Selin...salahku apa...kenapa aku diperlakukan seperti ini. Aku juga mau punya anak, aku mau jadi Ibu, aku mau jadi menantu yang disayang, jadi istri yang sempurna!” Seva histeris di dalam sana.
Selin ikut menangis, hatinya sakit melihat nasib sahabatnya yang diperlakukan semena-mena oleh Zayn. Tapi, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Selin terus memeluk Seva, erat sekali sampai wanita itu benar-benar tenang.
Jam kerja berakhir, Seva merapikan meja dan memasukkan barang-barang pentingnya ke dalam tas. Ia mencuci muka, kemudian memoles wajahnya dengan make up agar tidak terlihat begitu pucat. Ia memang begitu sakit sekarang, tapi, ia tidak boleh terlihat begitu mengenaskan di depan suami dan calon mertuanya, bukan.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, menatap dirinya di depan cermin, berusaha tersenyum walau begitu sulit. Mengabaikan rasa malu atas kejadian tadi, Seva keluar kantor. Untunglah sebagian karyawan sudah pulang higga rasa malunya tak begitu besar.
Dengan kekuatan yang ada, Seva pergi ke rumah mertuanya untul bicara pada Zayn dan juga orangtua Zayn tentunya. Ia tidak ingin diperlakukan semena-mena seperti ini. Dulu saja saat masih pacaran sikap Zayn dan Mama mertuanya begitu manis.
Berusaha keras meyakinkan dirinya agar mau segera menikah dengan Zayn. Tapi, apa yang ia dapatkan sekarang, ia sudah mengabdi pada keluarga ini, melakukan dan memberikan apa pun. Menganggap mertua sudah seperti orangtua kandungnya sendiri, tapi, kelamaan ia justru diperlakukan selayaknya pembantu. Untung saja ia memiliki pekerjaan, jadi, di posisi seperti ini, ia tidak bergantung pada Zayn. Ia masih punya tabungan jika Zayn menceraikan dan tidak membagi harta bersama. Tapi, sungguh, Seva tidak ingin ada perceraian. Orangtuanya tidak suka dengan perceraian dengan alasan apa pun.
Seva memencet bel rumah, berkali-kali baru dibuka. Itu pun dibuka oleh asisten rumah tangga. Seva langsung masuk tanpa permisi, kesabarannya sudah habis. Ia tahu Zayn ada di sini, mobilnya ada di garasi.
“Zayn!”panggil Seva.
“Pak Zayn nggak ada di sini, Bu.”
“Jangan bohong, saya tahu dia ada di sini. Kamu nggak usah ikut campur!”balas Seva pada asisten rumah tangga mertuanya.
“Ada apa, sih, kok ribu sekali!” Suara khas itu membuat Seva lega, ia sehera mencari sumber suara.”Mama...”
“Seva, ada apa?”tanya mertuanya dengan wajah tak berdosa.
“Zayn mana, Ma?”
“Kok tanya Zayn di sini? Kamu, kan istrinya...harus lebih tahu dimana Zayn.”
“Sudah dua hari Zayn nggak pulang,Ma. Mama pasti tahu, kan apa masalahnya.”
“Memangnya apa?”
Seva memejamkan mata, berusaha sabar menghadapi orangtua itu. Bagaimana pun, dia adalah mertuanya.”Ma, Seva mau ketemu suami Seva sekarang juga...”
“Mau ngapain lagi? Memangnya di surat itu belum jelas apa? Kamu sudah ditalak! Tinggal urus akta cerai kalian saja sana di Pengadilan Agama.”
“Mama...kenapa tega seperti ini sama Seva.” Air mata Seva menetes.
“Kamu yang tega...membiarkan Zayn seperti ini. Kamu pikir Zayn tidak tersiksa, tidak memiliki anak. Mau menunggu sampai kapan ? Ini sudah lima tahun, kami sudah cukup sabar. Mau sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Maaf, mempertahankanmu adalah buang-buang waktu!”jawabnya dengan ketus.
“Seva juga nggak mau seperti ini, Mama! Seva juga mau punya anak! Tapi, ini, kan di luar kendali Seva. Tuhan yang kasih cobaan ini, kenapa Seva yang disalahkan!”pekik Seva.
“Sudahlah...”
Seva dan mertuanya menoleh ke arah tangga. Zayn berdiri di sana dengan tatapan dingin. Seva bangkit dan menghampiri suaminya.”Zayn...”
“Mama, kami bicara berdua dulu.”
Wanita itu mengangguk, lalu menatap Seva sinis sebelum ia pergi.
“Zayn, jangan lakukan ini!” mohon Seva,”kita masih bisa berusaha,kan...masih bisa mencari jalan lain.”
“Pergilah, Seva. Kita bukan suami istri lagi. Kamu tidak perlu datang ke Persidangan supaya prosesnya lebih cepat. Aku akan uruskan akta cerai milikmu juga.”
Seva menggeleng kuat.”Zayn, kenapa begini, sih, aku nggak mau, Zayn. Tolong!”
“Siapa suruh menjadi wanita tidak berguna!” Zayn mendorong Seva hingga terjerembap ke lantai. Wanita itu terisak-isak, kemudian ia diseret keluar rumah.
“Jangan pernah datang ke sini,jangan pernah temui aku! Kita sudah nggak ada hubungan apa-apa!” Zayn menutup pintu dengan keras. Seva mengetuk pintu dengan keras sambil menangis histeris. Di sana ia memohon-mohon agar Zayn membukakan pintu dan bicara lagi padanya.
“Zayn!”
Seva terjatuh ke lantai, ia sudah bagaikan gelandangan yang sedang meminta makan di rumah orang. Seva belum mau pulang, ia duduk saja di depan pintu, tidak peduli jika ia sampai pagi ada di sana, asalkan ia bisa bertemu lagi dengan Zayn.
Seva ketiduran di teras rumah mertuanya. Lalu, tiba-tiba ia merasakan tendangan di betisnya. Ia terbangun dan kaget mendapati ada tiga orang satpam di sana membangunkannya.
“Pak, bawa dia, sedari tadi mengetuk rumah saja ...mengganggu waktu istirahat kami!”kata mertua Seva dengan tega.
“Mama, kok tega, sih...Pak, saya ini menantu keluarga ini,”kata Seva berteriak.
“Bukan, Pak. Dia ini orang gila yang memang terobsesi dengan anak kami.”