Pelarian

1200 Words
Seekor serigala yang sangat besar menarikku dan membuatku mendarat di punggungnya. Ia berlari keluar kastil dengan kecepatan yang tidak bisa kubayangkan. Suara angin begitu keras memekakkan telinga. Malam yang gelap tidak menghentikan pikiranku dari bayangan betapa cepatnya pepohonan yang berjajar di pinggir jalan dilewati. Bagaimana dengan Redrick? Serigala itu memaksaku mengencangkan pegangan karena bila tidak, aku pasti sudah terlempar di jalan sementara Gloudes yang sedang terbang membuntuti kami akan menangkapku. Mungkin terdengar egois, tetapi aku tidak mau dihadapkan dengan tontonan paling menyakitkan. Ibu tidak akan mengampuni Redrick, entah bagaimana nasib Redrick sekarang, tetapi sudah jelas bukan sesuatu yang baik. Serigala itu membawaku ke tempat yang sangat jauh hingga aku tidak tahu dimana sekarang. Suara gemerisik dedaunan membuatku sadar, kami berada di tengah hutan. Tetapi apakah ini hutan Rotterwood, aku tidak yakin. Lalu apakah ini Darkforest? Tidak mungkin, walau aku tidak terlalu yakin. “Rachella.” Suara seseorang yang sangat kukenal membuatku memandang ke sumber suara. Butuh beberapa lama untuk membuat mataku terbiasa dengan kegelapan. “Ini aku. Ethan.” Bayangan hitam berukuran cukup besar mendekatiku, jika bukan karena suaranya benar-benar Ethan, aku pasti gemetar dan segera berlari. “Ethan, kaukah itu?” “Ya. Rachella, syukurlah kau selamat.” Ethan merengkuhku erat. Kedua lengan kokohnya melingkari leherku. Beberapa lama kubiarkan waktu berlalu. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menyerap aroma rempah-rempah khas Ethan yang begitu menenangkan. “Kau tidak tahu seberapa besar kekhawatiranku, my mate, my soulmate.” Ethan menangkup wajahku, mencium bibirku dengan begitu lembut. Kuletakkan kedua tanganku di dadanya. Ciuman Ethan begitu mengejutkan sekaligus begitu sulit untuk ditolak. Bibirnya begitu lembut dan manis. Meski harus mendongak, tidak ada rasa pegal sama sekali. Hanya kehangatan yang kurasakan, perasaan yang begitu menggebu-gebu dan sulit diredamkan. Tetapi ada teriakan keras muncul tiba-tiba hingga membuat kedua mataku terbuka. Ini semua tidak benar. Ini benar-benar salah. Aku melepaskan diri dari Ethan dan segera mundur beberapa langkah. Ketegangan muncul begitu saja dan berbagai pertanyaan kini muncul di kepalaku. “Bagaimana kau bisa tahu? Siapa kau? Apakah kau….” Aku menyipitkan mata. Sekalipun begitu penasaran dengan masalah itu, aku menggelengkan kepala untuk membuang pertanyaan yang terakhir. “Rachella, kau kekasihku. Redrick meminta bantuanku untuk menolongmu. Kau tidak benar-benar percaya kalau aku penyihir seperti dugaanmu kan?” Pertanyaan Ethan yang begitu tepat sasaran justru semakin membuat ketakutanku terasa benar. Redrick tidak mengatakan apapun soal Ethan, aku juga sangsi jika Redrick cukup dekat dengannya. Semua yang tidak masuk akal benar-benar sedang terjadi, tapi kenapa kali ini aku tidak memercayainya. “Pergilah Ethan. Pergilah.” Sekalipun berharap dugaanku salah, namun Ethan disini adalah sebuah kesalahan. “Rachella, aku yakin ini semua masih sulit. Tetapi kau harus percaya, aku ada di pihakmu.” Ethan melangkah sambil mengulurkan tangan. Meski tidak bisa melihatnya, namun aku bisa merasakan jika tatapannya sedang memohon. Aku tidak boleh memercayainya. Saat ini aku tidak boleh memercayai siapapun. Aku kembali menggelengkan kepala. Aku mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak darinya, sekalipun aku yakin Ethan bisa menangkapku dengan mudah tetapi setidaknya aku harus melakukan perlawanan. “Pergilah Ethan. Kau….” Ucapanku belum selesai saat tiba-tiba seseorang atau sesuatu mencengkeram bahuku. Ethan tidak tinggal diam, ia mendekat dan melepaskan cengkeraman itu dariku. “Rachella, larilah! Selamatkan nyawamu.” Segalanya terjadi begitu cepat. Tiba-tiba saja ada adu hantam antara Ethan dengan entah apa atau siapa itu namun dari suara kerasnya pukulan serta tumbukan terhadap benda di sekitarnya, ini bukan hanya perkelahian biasa. Sulit bagiku untuk menerka, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah terus berlari tak peduli gelap membuatku sulit melihat sekitar. Tidak peduli arah mana yang sedang kutuju, aku hanya terus berlari sambil sesekali terjatuh saat melintasi ranting-ranting pohon di jalan. Aku menghentikan langkah saat melihat sebuah rumah kayu yang terletak di dekat sungai. Suara alirannya cukup deras, membuatku yakin bahwa ada sungai di dekat sini. Kedua kakiku sudah tak mampu lagi berlari, napasku serasa mau putus karena terlalu lelah, ditambah perut yang terasa perih karena lapar. Kuputuskan untuk melangkah masuk ke rumah kayu yang luasnya hanya sekitar tiga meter persegi. Aku meraba-raba ruangan yang terlalu gelap, berharap bisa menemukan pemantik untuk menyalakan api. Aku menemukan sebuah meja dan laci-laci berisi kertas yang berserakan serta sebuah kotak logam. Sebuah pemantik ada di dalam kotak itu. Tanpa pikir panjang, kukumpulkan kertas-kertas itu dan kuletakkan di tengah ruangan untuk kubakar. Nyala api membuatku bisa melihat sekeliling ruangan. Hanya ada sebuah ranjang kecil dengan kasur tipis dan seprai berdebu, sebuah meja dan kursi. Nyala api mulai padam, aku mencari sesuatu yang bisa kubakar. Meski musim mulai berganti, suhu udara masih sangat rendah sehingga aku bisa saja mati kedinginan jika terlalu lama disini tanpa penghangat. Aku mengambil kursi lalu membantingnya ke lantai. Kursi terbelah menjadi beberapa bagian. Sembari menjaga api agar tidak padam, pikiranku terus dihantui kematian-kematian serta pertanyaan tentang keadaan Redrick sekarang. Apakah Redrick sudah mati? Ataukah ia disiksa karena perbuatannya? Bagaimana keadaan kastil sekarang. Bagaimana keadaan pelayan-pelayan yang lain. Aku menekuk lutut dan mendekapnya erat. Menyembunyikan wajahku di sela-selanya saat teringat Ethan. Bagaimana keadaannya sekarang? Aku terlalu takut sehingga memilih berlari menyelamatkan diri. Sungguh bukan sikap seorang ksatria, tetapi apakah aku tidak boleh menyelamatkan diriku? Aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya ke udara. Kepalaku penat, saat ini sulit untuk memikirkan langkah-langkah apa yang harus kuambil untuk menyelamatkan kastil apalagi untuk menyelamatkan orang-orang di dalamnya. Suara derit pintu membuatku tersentak. Jantungku berdetak kencang dan keringat dingin keluar begitu saja. Sesaat pikiranku tercekat hingga tatapanku terpaku padanya sebelum kelegaan mengisi segalanya. Aku berlari dan memeluknya erat. “Wolfy, kau selamat. Oh Tuhan, kau selamat.” Aku menciumi moncong wolfy berkali-kali hingga ia menghindar dan membuatku tertawa. Aku masuk ke dalam dekapan wolfy. Tubuhnya benar-benar membuatku merasa hangat. “Kau lihat semuanya kan, wolfy. Kau lihat semuanya kan?” Aku memeluk wolfy sambil menangis tersedu-sedu. Kepadanya, kuceritakan segala kegundahanku. Segala siksaan itu seperti pisau yang ditancapkan ke dadaku. Malam telah berganti pagi. Abu bekas pembakaran semalam menumpuk di atas lantai. Sinar mentari masuk melalui pintu yang kini terbuka lebar. Sadar bahwa wolfy tidak ada, aku segera bangkit lalu keluar rumah. Wolfy berdiri di halaman dengan kelinci yang telah mati berada dalam gigitannya. Melihatnya, aku tersenyum. Rasa lapar yang kembali membuatku ingin segera memakannya. Aku duduk di halaman sambil menunggu daging kelinci bagianku terbakar sampai matang. Wolfy sedang menikmati daging kelinci bagiannya sambil menggeram nikmat. Geraman yang mengingatkanku pada geraman Ethan saat ia menciumku. Tak bisa kupungkiri jika aku sangat merindukannya. Hanya saja aku tidak yakin dia manusia sepertiku. “Enakkan wolfy? Apa kita perlu menangkap kelinci lagi?” Wolfy menoleh hanya untuk memamerkan gigi-giginya yang dipenuhi darah. Tawaku meledak, jika wolfy adalah serigala lain, mungkin kini aku sudah berlari ketakutan. Aku memandang langit yang begitu cerah. Menghirup dalam-dalam aroma hutan, menikmati embusan angin sepoi-sepoi dan mendengarkan music alam yang begitu shahdu. Aku menutup mata, mengosongkan pikiran serta hanya menikmati lagu alam yang sedang dinyanyikan. Jilatan wolfy di wajahku membuatku membuka mata. Sudah saatnya bagiku untuk pergi. Aku harus mencari bantuan ke Mr. Max atau mungkin Mr. Dexter. Aku bangkit, memandang pepohonan yang mulai dihiasi tunas-tunas baru. Pohon-pohon yang baru sekarang kuperhatikan. “Ini hutan maple. Ini darkforest.” Mataku terbuka lebar, tak percaya dengan apa yang kulihat dan apa yang baru keluar dari mulutku. Aku berada di hutan yang tidak seharusnya kumasuki. Aku harus bergegas keluar dari hutan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD