Ayah sakit

1534 Words
Pagi ini Ayah tampak lesu dari biasanya sehingga dengan terpaksa aku menahan diri untuk menanyakan perihal Bibi Dorothy, kurasa menunggu beberapa hari bukanlah sebuah masalah.   Duduk di ruang makan, Ayah hanya mengaduk makanannya tapi tidak segera memakannya. Aku menjadi sangat khawatir dengan kondisinya sekarang. "Sebaiknya Ayah ke dokter!” Aku tidak ingin kondisi Ayah lebih parah dari sekarang.   "Ayah tidak apa-apa. Hanya banyak pekerjaan dan sedikit lelah.” Ayah menatapku, sementara tangannya masih sibuk mengaduk sup labu.   Aku mengamati wajah Ayah, terlihat jelas jika Ayah sedang kurang sehat. Terdapat lingkaran hitam di sekeliling matanya, kulitnya juga menjadi terlihat sangat pucat.   "Tapi Ayah..."   "Ella. Cepat berangkat! Kamu tidak mau terlambat sekolah kan?" Ayah menatapku lekat, pertanda ia enggan membahas sakitnya denganku.   Aku menghela napas, mengusap bibirku dengan sapu tangan lalu melemparnya di samping mangkuk sup yang telah kosong. Meski khawatir dengan kesehatan Ayah, tapi Ayah benar, aku harus segera berangkat sekolah atau aku bisa terlambat.   Aku memandang Ibu, kurasa hanya Ibu yang bisa membuat Ayah mau pergi ke dokter. "Ayahmu hanya perlu istirahat. Tidak perlu ke dokter," ucap Ibu, seolah mengerti jalan pikiranku.   "Tapi..."   "Ibu akan merawatnya. Kamu pergi saja!" Ibu menatapku tajam, ia ingin aku menurutinya.   “Turuti kata-kata Ibumu, Ella!” Ayah pun sependapat dengan Ibu. Aku mengerutkan dahi, entah mengapa Ayah sekarang lebih berpihak kepada Ibu bahkan cenderung mengabaikan kesehatannya sendiri.   “Ayah, aku bisa libur sekolah untuk merawatmu.” Kurasa ini yang seharusnya kulakukan, demi Ayah.   “Tidak, Ella! Ayah baik-baik saja. Lagipula ada Ibumu yang merawat Ayah. Sebaiknya pergi sekarang atau kamu akan terlambat.” Ayah tidak bisa dibujuk, membuatku hanya bisa menghela napas pasrah.   ***   Aku duduk di dalam kelas, di bangku paling belakang, memandang keluar jendela selama Miss Collin mengajar. Pikiranku hanya terfokus kepada Ayah dan kesehatannya. Aku tidak tahu apakah harus memaksa dokter untuk datang ke rumah lalu memeriksa Ayah atau aku terus memaksa Ayah untuk segera berobat ke dokter.   “Miss Madamoissale. Apakah anda mendengarkan saya atau ada orang lain di luar jendela yang mengajak anda kencan?” Pertanyaan Miss Collin sontak membuat keriuhan di kelas sekaligus membuatku segera berpaling dan memandangnya.   Aku tidak bisa membalas ucapan Miss Collin karena sudah jelas pertanyaannya tidak memerlukan jawaban. Aku menunduk, merasa malu sekali telah menjadi bahan ledekan. Beruntung suara bel pulang sekolah mengalihkan perhatian, karena kalau tidak maka aku tidak tahu seberapa besar lagi rasa malu menjadi bahan ledekan seluruh kelas.   Aku segera memasukkan buku ke dalam tas dan berusaha menutup kuping karena beberapa teman masih meledekku. Bahkan Pablo, si jangkung yang suka duduk di depan masih memandangku dengan senyum mengejek, tentu saja.   ***   Duduk di atas pembatas balkon kamar, menyandarkan punggung di dinding dan kedua kaki kutekuk. Tubuhku terasa lemas sampai aku enggan melakukan apapun selain duduk sambil berusaha mengenyahkan pikiran tentang Ayah.   Aku menatap Darkforest berhias pepohonan dengan daun yang berguguran. Memandang jajaran pohon maple, kurasakan seseorang tengah mengawasiku. Kutajamkan penglihatanku, keyakinanku tentang seseorang itu cukup kuat tapi mungkin aku salah.   Setelah sekian lama duduk sambil memerhatikan sesuatu yang sedang memerhatikanku, kupikir aku harus mengajak Mr. Maximiliano untuk menemui Ayah dan memeriksanya. Aku menyesal karena tidak memiliki kenalan orang rumah sakit karena selama ini jika aku atau Ayah sakit, Redrick memiliki ramuan keluarganya yang bisa menyembuhkan kami dan jika terlalu parah maka Mr. Maximiliano yang akan menolong kami dengan obat-obatan yang ia simpan dalam kotak penyimpanannya.   Mr. Maximiliano adalah seorang dokter yang telah pensiun dari prakteknya di rumah sakit Westville beberapa tahun lalu. Pria itu sangat baik dan ramah, dia satu-satunya teman yang suka mengisi hari denganku. Pria itu seumuran dengan Ayah, tinggal di tengah hutan Rotterwood sendirian. Aku tidak yakin bisa membuat Ayah bersedia ke dokter jadi lebih baik jika aku yang mengajak dokter kemari.   Dengan langkah cepat, aku keluar kamar dan bergegas menuruni anak tangga. Sampai di lantai dasar, dua saudariku menatapku sambil saling berbisik. Entah apa yang sedang mereka bicarakan namun aku tidak punya waktu dengan mereka, aku hanya perlu menjemput Mr. Maximiliano, jadi aku kembali melangkahkan kaki.   "Kau mau kemana?" Pertanyaan Ibu membuatku urung berjalan. Aku memutar badan, memandangnya beberapa lama sebelum aku membuka suara.   "Aku ingin menemui Mr. Maximiliano.”   "Siapa Maximiliano?" Ibu menatapku tajam. Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya jadi aku memilih untuk diam.   Ibu terlihat marah, ia melipat kedua tangannya dan terus mengawasiku layaknya seekor macan yang lapar. Entah mengapa Ibu sama sekali tidak mengkhawatirkan kondisi Ayah. Aku merasa Ibu tidak benar-benar mencintai Ayah, aku menjadi sangat menyesal karena dulu aku senang karena Ayah akan memiliki seseorang yang akan menjaga dan memerhatikan dirinya tapi setelah tahu Ibu seperti ini. Seandainya dulu aku keberatan jika Ayah menikah lagi...   Ayah keluar dari kamar, wajahnya pucat dan sesekali ia terbatuk. Langkahnya lemah, mendekati kami berdua. "Ayah sudah diperiksa dokter saat kamu sekolah tadi. Ayah tidak apa-apa. Hanya kurang darah dan perlu istirahat," ungkap Ayah.   "Lebih baik kamu mengawasi pekerja yang sedang mengambil telur! Ibumu terlalu sibuk di kantor sampai tidak bisa mengawasi pekerjaan mereka." Ayah melirik Ibu, mengajak wanita itu kembali ke kamar mereka.   Aku hanya bisa menghela napas berat tanpa bisa melawannya. Entah sihir apa yang digunakan kepada Ayah atau kekuatan cinta memang besar hingga Ayah mau menuruti kata-kata Ibu? Entahlah. Tapi aku sendiri juga tidak berani membantah kata-kata Ayah.   ***   Berada di dalam sebuah ruangan dengan ratusan ayam yang disimpan dalam kandang besar di sisi kanan dan kiri.  Aku memeriksa para pekerja yang sibuk mengumpulkan telur-telur yang selanjutnya akan dikemas dan dikirim ke kota. Samanta dan Diego sedang berbisik-bisik tepat di depanku –membelakangiku—keduanya terlalu serius hingga mereka tidak sadar keberadaanku sekarang.   "Kurasa Nyonya menggunakan sihir. Selama ini Tuan selalu sehat bugar dan menurutku aneh kalau sekarang tiba-tiba dia sakit," bisik Samanta.   Diego terkejut, ia memandang Samanta dengan mata membulat. "Sihir? Jaman sekarang, mana ada sihir? Jangan mengada-ada," lirihnya.   "Kudengar, Tuan pernah memeriksakan dirinya ke rumah sakit tapi anehnya semua pemeriksaan normal. Tidak ada yang sakit. Jadi menurutku itu aneh,” ucap Samanta.   Aku bergeser beberapa langkah demi bisa mendengar percakapan mereka dengan lebih jelas. Aku sangat penasaran dengan semua hal yang mereka ketahui.   "Darimana kamu tahu semua itu?" tanya Diego. Pria itu menggeser badannya menjadi benar-benar berhadapan. Aku bergeming, kurasa mereka terlalu asyik hingga tidak menyadari keberadaanku tapi ini membuat semuanya lebih mudah.   "Aku tanpa sengaja mendengar pembicaraan Tuan dengan Mr. Redrick," jawab Samanta.   Aku tidak tahan dengan pembicaraan mereka, jika dibiarkan maka rumor ini bisa berkembang lebih jauh lalu bisa saja masalah ini menjadi masalah besar suatu hari nanti.   "Apa kalian berdua tidak takut jika Ibu memergoki kalian?" tanyaku. Aku berkacak pinggang, berpura-pura sedang sangat marah dan itu berhasil membuat keduanya terkejut.   Samanta dan Diego berdiri tegak, perlahan keduanya menggeser badan hingga berdiri berhadapan denganku. Ingin rasanya tertawa melihat wajah keduanya namun tentu saja aku harus tetap terlihat sedang marah. Aku mendekati mereka berdua, berdiri seolah sedang menunggu apapun yang akan mereka katakan.   "Nona, ap ... apakah. Anda mendengarnya?" Samanta menunduk, kedua tangannya beradu dan terlihat jelas sedang gemetar.   "Dengar apa? Selesaikan pekerjaan kalian dan segera bawa telur-telur itu ke ruang pengepakan! Aku tidak mau kena masalah karena ulah kalian," perintahku.   Baik Samanta maupun Diego saling bersitatap lalu keduanya segera meninggalkanku bersama pertanyaan lain yang harus segera kuketahui jawabannya.   Keluar dari peternakan ayam, aku segera mencari Redrick yang aku yakin ada di paviliunnya. Ini jam istirahatnya dan ia selalu pulang ke paviliun kecuali jika saat-saat tertentu dimana Ayah menunda jam istirahatnya.   Letak paviliun ada di belakang kastil, sebuah bangunan yang lima kali lebih kecil dari kastil itu sudah ditempati Redrick sejak waktu yang sangat lama. Bangunannya sendiri bergaya Romawi dengan kulit tembok yang dibiarkan mengelupas sana-sininya. Ada dua pilar berdiameter sekitar setengah sampai satu meter dengan sebuah patung malaikat di sisi kanan bangunan.   Aku mengetuk pintu beberapa kali, tidak lama kemudian Redrick membuka pintu. Ia terkejut saat mengetahui aku yang datang. Aku memang hampir tidak pernah menemuinya disini kecuali saat aku masih anak-anak. Saat itu, Redrick seperti seorang paman bagiku, aku suka sekali bermain dengannya bahkan saat seharusnya ia istirahat pun aku tetap saja memaksanya bermain denganku. Namun semakin beranjak dewasa, aku merasa tidak perlu lagi bermain ke paviliun ini, aku lebih suka bermain dengan binatang ternak yang tidak akan pernah memprotesku.   "Ada yang perlu kita bicarakan!" Tanpa menunggu dipersilahkan, aku segera masuk ke dalam. Berdiri di depan perapian yang sedang menyala, aku memutar badan dan menatapnya lekat.   "Silahkan duduk, Nona!" Redrick duduk di futon berwarna hitam yang berhadapan dengan perapian, ia menunjuk sebuah kursi malas berlapis kulit domba yang terlihat hangat dan empuk. Aku bersikeras ada di posisiku meskipun sebenarnya aku ingin duduk disana. Aku hanya perlu tahu kebenaran soal Ayah lalu pergi.   "Benarkah apa yang dikatakan pelayan itu?"   "Apa yang sebenarnya ingin anda tanyakan?" Sekilas kutahu Redrick tahu apa yang kumaksud walaupun ia berusaha menyanggahnya dengan kata-kata.   "Ada kemungkinan Ayahku terkena sihir?" Aku sendiri tidak yakin soal itu tapi bisa saja itu benar.   "Maafkan saya. Tapi saya tidak tahu apa yang sedang anda bicarakan."  Redrick berkelit, berusaha menyudahi pembicaraan tapi aku belum puas sama sekali.   "Apa benar hasil pemeriksaan di rumah sakit menyatakan Ayahku baik-baik saja? Lalu kenapa Ayahku sakit seperti sekarang? Adakah jawaban logis dari pertanyaanku selain ... Sihir?" Pertanyaan itu meluncur seluruhnya.   Redrick menatapku lekat, aku tahu ia adalah seorang pelayan yang sangat berdedikasi. Semua rahasia yang harus dirahasiakan akan tetap menjadi rahasia bahkan bisa saja ia bawa hingga akhir, hingga jasadnya masuk ke dalam liang lahat.   "Katakan sekarang, Redrick! Aku masih Nona-mu.” Aku berusaha mengancam meskipun nada suaraku tidak seperti mengancam. Nada suaraku justru seperti memohon ketimbang mengancam.   Redrick menarik napas dalam, ia merangkum wajahnya yang dihiasi cambang tipis. Akhirnya aku memilih duduk di kursi malas sambil menunggunya menceritakan semua yang ia ketahui.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD