Keangkuhan ibu

1052 Words
Bab 5.1 Aku tidak yakin apakah aku harus bangga terhadap Redrick yang tetap pada pendiriannya ataukah aku harus kecewa karena ia memilih tetap merahasiakan masalah ini dariku. Satu hal yang pasti, aku harus mencari tahu tentang kondisi Ayah yang sebenarnya. Karena itulah kini aku sedang berjalan di sebuah jalan setapak diantara rimbunan pohon pinus untuk ke rumah Mr. Maximiliano. Kuharap pria itu mengetahui penyakit apa yang sedang diderita ayah, berdasarkan tanta-tanda yang muncul padanya. Aku telah duduk di ruang tamu Mr. Maximiliano, telah menceritakan semuanya dan Mr. Max hanya memandangku dengan sangat tenang. Mr. Max mengambil cangkir berisi kopi pekat lalu menyesapnya “Apa kamu memercayai sihir?” Mr. Maximiliano meletakkan cangkirnya di atas meja sebelum ia kembali duduk dengan satu kaki menumpang ke kaki yang lain. “Aku … tidak yakin.” Menurutku sihir hanya ada dalam buku dongeng anak-anak. Aku yakin ada penjelasan logis tentang masalah ini. Tapi apa? “Aku mengerti. Tapi sebaiknya mulai sekarang kamu mulai memercayainya.” “Apakah itu artinya, Ayahku memang terkena sihir?” Aku masih sulit percaya dengan apa yang dikatakan Mr. Max. Selama ini kupikir seorang dokter tidak memercayai hal-hal semacam itu. “Jika memang benar semua pemeriksaan Ayahmu normal. Tidak ada salahnya memikirkan hal ini.” Mr. Max membuatku terkejut. Apakah benar ayahku terkena sihir? *** Ayah sakit. Meski demikian, Ayah tetap saja memaksa dirinya bekerja. Berulang kali Ayah mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Seringkali aku melihatnya duduk di ruang kerja, membaca dokumen pekerjaannya sambil sesekali terbatuk. Musim gugur hampir saja berganti musim dingin tetapi cuaca sudah cukup dingin bahkan jauh lebih dingin dari musim gugur tahun kemarin. Aku hanya bisa membuatkan segelas lemon hangat dengan sedikit campuran madu untuk membuatnya tetap merasa hangat tapi itu saja tidak cukup. “Ayah harus ke rumah sakit!” Entah ke berapa kali aku meminta Ayah untuk memeriksakan diri ke dokter. “Setidaknya biarkan Mr. Maximilliano kemari.” Pria itu pasti bisa mengobati Ayah. Ayah sibuk mengaduk makanan tanpa ada niat untuk memakannya. Mendengar ucapanku, Ayah justru meletakkan sendok. Ia menatapku saksama lalu menggenggam tanganku erat, memberiku senyum seolah berkata ia baik-baik saja, tapi aku tahu ia tidak baik-baik saja. “Jika cuaca lebih hangat. Ayah yakin, Ayah pasti sembuh.” Entah untuk ke berapa kali Ayah mengatakan hal serupa tetapi kenyataannya musim dinginlah yang siap datang dan aku yakin sungai Wreth di hutan Rotterwood akan beku saat salju turun pertama kali. Aku memandang Ibu, memohon agar ia membantuku membujuk Ayah tetapi wanita itu hanya menatapku lama, tanpa bicara apapun. Aku menjadi sangat marah kepadanya, seharusnya Ibu memaksa Ayah seperti aku memaksanya. “Ibu yakin Ayahmu benar. Ibu sendiri terkena flu karena cuaca buruk ini.” Ibu baik-baik saja, kemarin ia menghabiskan waktu bersama dua anaknya berbelanja di Sommerset sehari penuh. Aku yakin hari ini pun mereka akan ke kota untuk ... membeli ini dan itu. “Aku tidak melakukan seperti yang kamu, pikirkan. Anak muda.” Ibu seolah mengerti jalan pikiranku, ia masih memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. “Ayah....” Ayah berdehem, ia kembali menggenggam tanganku erat sambil memberiku senyum aku baik-baik sajanya. Apa yang harus aku lakukan untuk membuat Ayah mau memeriksakan diri ke dokter? *** Duduk di pembatas balkon, menatap rimbunan pohon maple yang menguning. Memikirkan ayah yang kini menjadi kurus dan pucat. Apakah benar bahwa Ayah terkena sihir seperti desas-desus yang kudengar akhir-akhir ini? Apakah sihir benar-benar ada? Aku menggeleng, mengenyahkan soal sihir yang sama khayalnya dengan werewolf, zombie atau pun vampire. Hal-hal semacam itu tidak ada di dunia ini. Rasanya semua tulangku hilang jika memikirkan Ayah. Badanku jadi sangat lemas, seiring dengan kesedihan yang kini kurasakan. Aku menghela napas panjang, sekali lagi membuyarkan semua beban pikiran. Aku mengosongkan kepala, memandang hutan Darkforest cukup lama hingga kurasakan seseorang atau sesuatu sedang mengintaiku, sama seperti yang kurasakan beberapa hari yang lalu. Aku menyipitkan mata, memfokuskan pandangan ke sebuah dahan pohon diantara semak-semak. Aku yakin ada seseorang berdiri di balik pohon itu dan aku penasaran. Aku tidak tahu siapa dia dan kenapa dia berdiri disana, tapi jika aku menemuinya maka aku akan mendapatkan jawabannya. Aku keluar kamar dan berlari menuju tangga secepat yang aku bisa. Dua saudariku baru saja naik satu anak tangga dengan dua tangan penuh dengan tas belanja. Mereka terkejut melihatku berlari mendekati mereka. “ELLA. HATI-HATI!” teriak keduanya secara bersamaan saat aku hampir saja menabrak mereka. “MAAF,” teriakku sambil berlari. Aku tidak benar-benar ingin minta maaf. Aku hanya tidak ingin membuang waktu dengan mereka. Keluar rumah, aku berlari melewati kandang ayam, domba dan istal lalu melintasi padang rumput dengan domba-domba yang sedang sibuk merumput. Tak kuindahkan larangan tentang masuk ke hutan. Aku sangat penasaran dengan seseorang yang mengintaiku. Apakah ini ada hubungannya dengan sihir dan dia adalah seorang penyihir? Namun pertanyaan itu tidak terjawab, tidak ada siapapun di balik rimbunan pohon maple. Hanya tumpukan daun kering dan jajaran pohon dengan daun yang berguguran. Aku memutar badan, udara dingin membuatku ingin segera pulang. Saat berjalan di padang rumput, sekali lagi aku menoleh dan untuk ke sekian kalinya aku merasa seseorang mengintaiku disana, tapi sudahlah. Mungkin hanya perasaanku saja. *** Masuk ke dalam kastil, kulihat dua pekerja membawa tas besar. Keduanya menatapku dengan tatapan berkaca-kaca. Aku berdiri menatap keduanya, heran bercampur penasaran untuk apa mereka membawa tas besar itu? "Samanta. Diego. Apa yang kalian lakukan?" tanyaku. Aku masih mengamati dua tangan mereka yang sedang membawa bungkusan besar. Samanta meletakkan bungkusan besarnya diatas lantai, ia mendekatiku dengan berurai air mata lalu memelukku erat. "Saya tidak bisa lagi bekerja untuk anda, Nona." Samanta melepas pelukannya, menggenggam tanganku erat dan kembali terisak. Aku menangkap kesedihan besar dari sorot matanya yang masih dialiri airmata. Diego mendekatiku, ia menggigit bibir bawahnya sambil menunduk. Tanpa banyak bicara, aku segera memeluknya erat. Diego menangis di pundakku, membuatku bertanya-tanya mengapa Diego dan Samanta tidak lagi bekerja disini? "Apakah Ibu yang memecat kalian?" tanyaku. Tidak ada jawaban dari keduanya tapi itu sudah cukup bagiku untuk mengetahui kebenarannya. "Tunggu disini! Dimana Ibu? " Ibu tidak berhak memecat para pekerja kastil keluarga Madamoissale. Dengan perasaan marah, aku mencari Ibu. Wanita itu baru saja keluar dari ruang kerja Ayah dengan dua tangan penuh tas belanja. Ia menatapku lekat, satu alisnya terangkat. Ia memandangku dari kepala hingga kaki lalu kembali ke mataku, menungguku berkata sesuatu.  “Mengapa Ibu memecat Samanta dan Diego?” Aku terlalu tidak sabar untuk tahu jawabannya. Aku berdiri dengan tatapan tajam, menunjukkan kalau aku tidak setuju dengan tindakan Ibu.                                                                                                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD