(2) Present

799 Words
Gadisku mendelik ke arahku. Dengan senyum manisnya --yang masih tidak mencapai matanya-- dia meminta kami masuk ke dalam kafe milikku. Tidak, sebenarnya kafe bernama Lylac ini milik kami. Apapun yang menjadi milikku, adalah miliknya karena dialah satu-satunya pemilik jiwa dan ragaku. Miranda tersenyum meminta maaf padaku dan aku mengangkat bahu, tersenyum lemah padanya. Tidak.perlu orang cerdas untuk tahu bagaimana hubungan kami. Kami seperti magnet yang berbeda kutub, saling tarik menarik secara alami. Aku berjalan mendahului mereka, membuka pintu kafe dan merasa lega karena sore ini tidak banyak pengunjung di sini. Hanya ada dua orang yang tampak sibuk dengan laptopnya di sudut sana dan nampaknya dia tidak peduli dengan kericuhan beberapa saat lalu. Aku lalu merasakan tatapan tajam Kika yang mencelaku. "Hey, kau kan yang memintaku membantunya," gerutuku dalam hati. Aku bisa merasakan Kika memutar bola matanya, membuatku sebal dan berjanji akan memberikan tugas berat kepadanya sepulang kerja. Misalnya saja, mencuci semua oven hingga mengkilap yang kami gunakan hari ini. "Hey, baby. Aku bisa menjelaskannya-" Ara mengangkat tangannya, menyela ucapan yang akan kuberikan ketika kami sudah duduk di salah satu pojok ruangan yang lain. Aku menghela napas. Seperti seorang terdakwa hanya duduk di sampingnya dalam diam. Dan dia bahkan tidak menghiraukanku padahal aku sudah sangat merindukannya. Beberapa hari ini kami memang tidak sempat bertemu karena pekerjaan yang menuntutnya. Tatapannya yang tajam dan biasanya menggoda lalu menyelidik ke arah Miranda. Miranda menyadarinya, namun dia bukanlah tipe gadis yang kalah dengan adu tatapan. Miranda tetap mendongakkan wajahnya tanpa gentar. Siap menerima tuduhan dari gadisku. "Apa kamu datang dari luar negeri?" "Hhah?" tanya Miranda tidak mengerti. Aku pun sama bingungnya dengan Miranda dan hanya menunggu Ara dengan aksi selanjutnya. Pada akhirnya, Mira menatap Ara yang bergeming dan menggeleng. "Aku tinggal di sini." "Apa mungkin kamu memiliki hubungan darah dengan Kai?" "Tidak, aku-" "Kalian pernah pacaran?" Ara tidak berhenti ketika satu tangannya menyentuh lehernya. Ah! Dia pasti haus. Aku lalu bangkit dan menuju counter dapur. Membuat lemon tea hangat kesukaannya dengan satu sendok madu hanya untuknya. Aku kembali duduk di sampingnya, menaruh lemon tea di depannya dan berharap Ara akan memandang ke arahku alih-alih dia tetap menatap tajam Miranda. Bibir tipis merah muda menggodanya tetap terkatup rapat, dan aku bisa melihat sedikit denyutan seperti dia yang menahan diri untuk mengucapkan terima kasih. Aku terkekeh kecil. Gadisku benar-benar menggemaskan! Aku berusaha meraihnya. Ingin mengecup keningnya ketika tangannya meraih ke arahku. Dia lalu menempelkan tisu basah di bibirku dengam kasar. "Apa-apaan ini?" kataku protes. Ara menaikan sebelah alisnya. "Aku tidak ingin rasa bibir gadis itu ada di keningku," jawabnya datar. Aku melirik Miranda yang tampak salah tingkah. Dia lalu tersenyum meminta maaf kepadaku yang langsung membuat Ara menggeram marah. Miranda menarik napas panjang dan mulai berujar. "Tidak. Kami tidak pernah pacaran. Aku minta maaf atas apa yang kulakukan tadi. Kai hanya berusaha menolongku, dan dalam hal ini, sepenuhnya salahku." Miranda menarik napas panjang sekali lagi. "Maafkan aku." Aku menfokuskan diri kepada Ara. Berusaha menaksir reaksinya yang masih diam tak terbaca. Ketika dia membuka mulutnya, aku tidak menyangka bahwa yang keluar dari bibirnya adalah, "Baiklah. Masalah selesai, jadi siapa namamu?" Ara mengulurkan tangannya dan tersenyum. Senyum yang syukurlah telah mencapai matanya. Itu membuatku lega, namun di sisi lain aku juga merasa kesal karena hanya sebatas itu sikap posesif Ara kepadaku. Oh, aku menyukai sikap posesif Ara karena itu berarti aku bernilai lebih bagi dirinya. "Miranda, namaku Miranda." Miranda lalu menerima uluran tangannya. Menjabatnya tanpa ragu dan membalas senyumnya. "Uh huh, kau Mira dan namaku Tiara. Kamu bisa memanggilku Ara. Jadi, kamu bekerja sebagai model, eh?" Mir mengangguk. "Aku pemula, kupikir namaku tidak seterkenal itu sampai kamu bisa tahu?" "Aku bekerja di bidang jurnalistik. Jika kamu ingin tahu." Ara menyentuh lemon tea dan menyesapnya pelan. "Terima kasih." Ara mengangguk padaku dan sekilas menatapku. Membuatku menyeringai senang. Sepertinya mood baik gadisku sudah kembali. "Tapi apa maksudmu menanyakan pertanyaan tadi?" Dahi Miranda berkerut membentuk tanda tanya. Benar. Aku juga tidak mengerti apa maksudnya. Aku menyipit curiga mengamati Ara dengan bibir yang sekarang tertarik ke belakang membentuk seringai. Dia lalu melakukan gerakan untuk melemaskan tangannya. Uh oh! Jangan bilang- Ara dengan cepat bangkit dari kursinya. "Yeah, karena kamu bertanya." Dia lalu menggerakan lehernya ke kanan dan kiri, depan dan belakang. "Pertama, kamu tidak hidup di luar negeri yang melegalkan mencium orang sembarangan. Kemudian kamu bukan saudaranya jadi tidak ada alasan aku tidak marah padamu." Aku merasa seluruh darah tertarik dari wajahku. Jawabannya benar-benar konyol. Aku pernah tinggal di luar negeri dan akan dianggap aneh atau gila jika seseorang mencium orang secara acak. Namun rasa geli itu menghilang begitu melihat tangan Ara yang sudah terangkat di udara. "Ara, jangan!" teriakku bersamaan dengan bunyi 'plak' yang menggema. Aku menatap Miranda dengan ngeri sementata dia terlihat bingung dengan apa yang telah terjadi. Kemudian, aku melihat darah segar mengalir dari sudut bibirnya dan tahu bahwa Ara tidak tanggung-tanggung ketika menampar Miranda. Aku bahkan bisa melihat tanda merah dari tangan Ara di pipi Miranda dan meringis karenanya. Uh oh! "Ya Tuhan, Ara!" teriakku frustrasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD