(4) Present

732 Words
"Tidurlah," kataku ketika melihat Ara yang sudah menguap tiga kali dalam lima menit terakhir. Aku meliriknya dari kaca spion dan bisa melihat wajah lelah Ara dan kepalanya yang bersandar miring. "Hmm," jawabnya singkat dan dia mulai memejamkan matanya. Aku memutar musik instrumen piano di dashboard mobil. Menyetelnya dengan suara sayup-sayup seperti favorit Ara. Gadisku selalu suka suara piano dan musik klasik. "Eh, Kai-" Miranda bersuara dengan lirih. Tatapan tidak mengerti tercetak jelas di matanya. "Kita akan ke mana?" Aku terkekeh melihat tingkah bingungnya. Dia pasti kebingungan dengan perilaku Ara. Selepas dari kafe, Ara menyeret Miranda agar ikut bersama kami. Kemudian, Ara juga memaksanya untuk duduk di sampingku di kursi depan, sementara Ara ada di kursi belakang. Aku melirik Ara ketika melihat pergerakan darinya. Dan seperti tidak sadar, dia terbangun dan mengubah posisi tidurnya. Kini dia tidak lagi tidur dalam posisi duduk, melainkan merebahkan tubuhnya di sepanjang kursi tengah sementara space di belakang terdapat bungkusan yang Kika berikan. "Panti asuhan," jawabku. "Kita akan sampai kira-kira setengah jam lagi. Kamu merasa lelah?" Miranda menggeleng. "Maafkan perilaku Ara yang suka seenaknya. Dia memang seperti itu," kataku kemudian terkekeh karena membayangkan perilaku ajaibnya yang lain. Tapi demi Tuhan, aku mencintai segala perilaku uniknya itu. Aku lalu menghentikkan kekehanku ketika merasakan tatapan bingung dari Miranda kepadaku. "Apa hari ini kamu sibuk?" tanyaku tidak yakin. Miranda lagi-lagi menggelengkan kepalanya. "Jadi, apa isi bungkusan itu, Kai?" "Oh, hanya kue buatan Kika dan kamu harus mencobanya." "Gadis di kafe itu?" Aku mengangguk. "Dia memang pemarah dan sedikit murung. Tapi percayalah. Tangannya adalah tangan dewa." Aku terkekeh lagi. Jika Kika mendengar aku memujinya dihadapan orang lain, dia pasti akan memarahiku. Setahuku, dia benci dipuji. "Kamu berkerja di Kafe itu, Kai?" Aku menyeringai. "Aku pemiliknya," ujarku sombong. "Kamu pasti bercanda." "Dan aku juga kokinya." Aku bisa melihat wajah terkejut Miranda dan kemudian dia tertawa. "Kamu benar-benar Kai yang itu?" katanya takjub. Aku mengedikkan bahuku. Tahu maksud dari perkataan Miranda. Rakai yang dulu tidak akan pernah berurusan dengan dapur. Rakai yang dulu tidak seramah ini atau barangkali semenyenangkan ini. "Setahuku Kai yang dulu sangat jarang tertawa dan hanya bisa berkelahi. Kemudian tahu- tahu kamu menjadi Koki? Demi apa, Kai?" Aku tersenyum masam. Mengingat kebodohanku saat remaja. Tepatnya ketika pergaulanku diisi dengan hal tidak bermanfaat dan hanya pandai menghamburkan uang. "Well, manusia bisa berubah." "Apa itu karena gadis itu?" bisik Mir lagi. Aku hanya tersenyum sebagai jawabannya. Membuat Miranda mengalihakan wajahnya. Ketika aku meliriknya melalui spion, aku melihat rona merah pada wajahnya. Uh oh, untung saja Ara tidak melihatnya. Dia benci melihat gadis lain merona karena senyumanku yang katanya membuat para gadis meleleh. Aku hanya tertawa terbahak saat Ara menggumamkan ketidaksukaannya. Namun apa yang bisa kuperbuat? Aku tidak bisa bermuka masam di hadapan para pelangganku, kan? Mengingat hal itu membuat senyumku muncul. "Jadi, kamu akan menetap di kota ini?" "Ya. Aku sudah menyewa flat dekat dengan kafemu. Aku rasa aku akan senang tinggal di sini." "Kuharap kamu menikmati waktumu." Aku melambatkan laju mobilku dan masuk ke sebuah tikungan. Di ujung tikungan terdapat bangunan besar dengan plang Rumah Hebat. Tempat yang kami tuju. Aku memarkirkan mobil dan meminta Miranda membuka pintu belakang sementara aku membangunkan Ara. Aku mengembuskan napas melihatnya. Wajahnya tampak damai dan sejujurnya, aku tidak tega membangunkannya. Namun aku juga tidak mungkin meninggalkannya di sini. Akhirnya, aku mengelus lembut rambutnya. Turun ke pipinya yang halus. Dia lalu bergumam kecil. Mengenai pekerjaannya yang tertunda dan membuatku mengernyit kesal. Dia pasti memaksakan dirinya lagi. Dia selalu terlalu keras bekerja. "Hey, bangunlah. Kita sudah sampai," bisikku lembut di telinganya, ketika aku sudah meredakan kekesalanku. Ara mulai terbangun dan mengerjap-ngerjapkan matanya. "Tidurmu nyenyak?" tanyaku lagi dan membantunya duduk. Ara mengangguk. Mulai meregangkan tubuhnya seperti kucing kecil yang menggemaskan. Kami kemudian turun dan menemukan Dito --salah satu anak panti-- yang sudah membawakan bungkusan yang Miranda ambil. "Hai boy," sapa Ara dengan suara serak bangun tidurnya. Dia lalu mengacak rambut Dito dan membuatnya menggerutu. Membuat Ara tertawa kemudian ketika dia mulau memprotes. "Namaku Dito, bukan Boy. Dan aku sudah SMP sekarang. Jangan memperlakukan aku seperti bocah SD." "Oh oh oh, jadi bocah ini sudah besar rupanya," kata Ara sambil berlalu. Dito masih menggerutu kesal dan mulai berjalan. Aku lalu mengajak Miranda yang seperti kebingungan. Kami memasuki rumah dan anak-anak segera saja berlarian menuju Ara. Memberikan pelukan dan ciuman di pipinya. Setelah itu, mereka juga memberikan pelukan untukku dan untuk Miranda. Miranda masih saja terlihat kikuk di antara mereka. Apalagi ketika seorang anak bernama Tika menggandeng tangannya dan membawanya ke sudut bersama buku mewarnainya. Tika sepertinya berusaha memperlihatkan hasil karyanya kepada Miranda. Sementara Ara, seperti biasa sudah terhanyut dengan anak-anak yang sudah merapat di sekelilingnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD