00 - Dua Saudara

1173 Words
Buana menatap beberapa rantang makanan yang ada di atas meja dengan penuh amarah. Rasa tidak suka nya membuat ia ingin melakukan sesuatu yang buruk saat ini. Braakk! Buana menyapu semua yang ada di atas meja dengan tangannya hingga semua jatuh berhamburan di lantai. "Gue gak butuh makanan dari lo! Jangan ke sini lagi, jangan sok perhatian sama gue. Menjauh dari hidup gue!" Buana berteriak sangat keras kepadaku membuat aku terkaget-kaget. Selama aku mengenalnya, inilah pertama kali ia membentakku. Sungguh rasanya sangat sakit diperlakukan seperti ini. "Salah aku apa, Mas? Salahkah aku mau tetap sama kamu?" Tanyaku akhirnya walaupun mataku sudah mulai berkaca-kaca. "Gue gak butuh! Tau apa lo dari hidup gue?" Entah kenapa Buana kembali lagi menyebut kami sebagai gue-lo. Buana masih menjawab dengan kasar sambil menghentak-hentakkan kakinya. "Lo ga perlu deketi gue lagi. Muak gue dikejar-kejar lo terus. Lo ga punya malu apa gimana?" "Selama ini kamu nggak pernah keberatan kok Mas. Kenapa baru sekarang kamu permasalahkan?" Aku masih belum mengerti apa yang salah, sehingga tetap berusaha berargumen. "Gue diam bukan berarti gue ga keberatan. Lo itu beban buat gue, Ayu! Paham ga sih lo?" Jujur, ini bukan Buana yang aku kenal, rasanya asing sekali. Dengan mudahnya ia keluarkan kalimat hinaan itu kepadaku. Bulir air mataku-pun turun tanpa ragu. Aku bahkan tak sanggup langi membantah. Hanya mampu sesenggukkan sembari menatap lantai yang saat ini sudah kotor dengan makanan yang terhempas. "Terakhir kali gue bilang ke lo ya, pergi dari hidup gue, sebelum lo nyesel nanti." Peringatan Buana yang terakhir sebelum ia melangkahkan kakinya meninggalkan dapur tempat kami saling beradu suara tadi. Ia menuju ke lantai dua dengan tergesa, membuka pintu kamarnya kemudian masuk dan menutup pintu kembali dengan sangat keras. Mbok Nini gergopoh-gopoh menghampiriku, kemudian memelukku. Tangisku makin tersedu. Entah sudah seperti apa perasaanku ini. Walaupun selama ini Buana tak pernah cukup bersahabat, tapi ia tak pernah mengeluh dengan sikapku. Bahkan aku bisa merasakan perhatiannya di balik sifat juteknya itu. "Maafin Mbok ya Non, andai saja mbok nggak manas-manasin non Ayu untuk mendekati den Buana, mungkin nggak akan begini jadinya." Sesal Mbok Nini yang merupakan ART di rumah Buana ini. "Bukan salah Mbok. Ayu yang salah. Tapi Mas Buana nggak bilang apa-apa sebelumnya, Mbok. Jadi Ayu bingung salah Ayu dimana?" Aku membalas pelukan Mbok Nini sambil masih berusaha mengentikan tangisku. Rasanya sia-sia usahaku untuk mendekati Buana selama ini. Oh, ku tidak punya misi khusus sebagai alasan mendekati Buana. Yang aku tahu saat ini hanya satu, aku mencintainya. Tapi sepertinya rasa ini sia-sia. Jangan membalas perasaanku, menanggapi pembicaraanku-pun Buana enggan. "Berapa kali harus saya bilang, Say? Jauhi Buana. Dia cuma akan melukai perasaanmu!" Suara seorang pria menginterupsi tangisanku. Ia muncul dari pintu dapur tiba-tiba. "Pak Andres.." Ucapku terperangah. "Mbok, ambilin minum buat Ayu yah" Ujar Pak Andres kepada Mbok Nini yang aku tahu maksudnya adalah agar Mbok Nini meninggalkan kami berdua di dapur ini. Mbok Nini cukup paham dengan maksud Pak Andres sehingga ia dengan segera melepaskan pelukannya dan meninggalkan kami. "Buana tidak akan pernah berubah, Say. Ia tetaplah seorang laki-laki temperamental yang suka mabuk-mabukan. Bahkan setiap ucapannya tadi, saya yakin nggak di saring dengan baik." Jelas Pak Andres. Aku terpaku dan berusa memikirkan apa yang diucapkan Pak Andres dengan kepala jernih. "Selama saya kenal dengan Mas Buana, baru kali ini saya melihat sisinya yang seperti itu, pak." "Dia b******n, Say.. jauhi dia. Hidup kamu nggak akan tenang selama dekat dengannya. Setiap malam dia pulang dengan keadaan tidak sadar. Untung dia masih bisa pulang, tapi kita nggak tau dia ngapain aja dari pagi." "Tapi pak, Mas Buana kan adik bapak juga. Kenapa pak Andres membiarkan Mas Buana seperti itu?" "Dia laki-laki dewasa, Masayu. Dia seharusnya bisa mengambil keputusannya sendiri, tahu mana yang baik dan buruk untuk hidupnya. Nggak perlu diajari lagi. Dia tidak akan berubah. Sejak dulu seperti itu hidupnya. Looser." Astaga, tega sekali Pak Andres mengatai adiknya sendiri. Ini yang membuatku tidak pernah merasa nyaman dengan Pak Andres. Bahkan adiknya sendiri dianggap musuh, bagaimana nanti denganku yang orang lain? Mbok Nini muncul menyela pembicaraan kami. Ia membawakan segelas air putih untuk aku minum. Segera ku teguk air itu sampai tandas. "Kamu lebih baik pulang dulu saja, Say.. Besok pagi ke kantor bareng saya ya?" Bujuk pak Andres padaku. Pak Andres memang atasanku, tapi aku tak ingin berangkat ke kantor bersamanya. Bukan apa-apa, aku tahu ia menyukaiku. Tapi sayangnya perasaan ini bukan untuknya. "Saya pulang dulu pak. Besok saya berangkat dengan paman saja, pak. Jangan merepotkan bapak." Jawabku berusaha menolak dengan sopan. "Jangan kaku begitu, Say. Kamu tahu kan perasaan saya ke kamu. Selama ini saya berusaha menjaga batas demi keprofesionalan kita bekerja. Tapi malam ini hati saya sakit melihat kamu diperlakukan seperti itu oleh Buana." "Saya tidak apa-apa pak. Mungkin ada sedikit salah paham dengan Mas Buana. Nanti kalau Mas Buana sudah tenang, saya akan coba ajak ngobrol lagi." "Atau kamu mau saya ngomong sama Buana?" Tanya Pak Andres. "Hmm nggak perlu pak. Ijinkan saya menyelesaikan masalah saya dengan mas Buana sendiri pak. Terimakasih bantuannya" Aku berusaha menghindar tak ingin memperpanjang obrolan kami. Demi menghindari Pak Andres aku pamit ke belakang untuk mengambil peralatan untuk membersihkan tumpahan makanan yang berserakan tadi. "Non Ayu.. sudah.. biar Mbok saja yang bereskan. Non Ayu pulang saja dulu, sudah malam." Mbok Nini merebut sapu dan pel yang berada dalam genggamanku, kemudian mendorong tubuhku untuk keluar dari area dapur. "Saya antar pulang ya, Say?" Pak Andres menghampiriku kemudian hendak menggenggam tangaku. Tapi aku tepis tangannya dengan sopan. Di saat hati kacau seperti ini, aku enggan bersentuhan dengan siapapun. "Saya sendiri saja pak. Cuma di sebelah saja, gak jauh. Permisi" Aku berpamitan kemudian segera menjauh dari rumah ini. "Buana, sialan! Malam ini kamu membuat air mataku yang berharga ini tertumpah. Aku berjanji akan membuat kamu membalasnya dengan hidupmu. Tidak segampang itu mengusir Masayu dari hidupmu. Kamu pikir kamu siapa?" Gumamku dalam hati dengan emosi yang berdentam-dentam di d**a. *** Sepeninggal Masayu, Andres di kamarnya tersenyum joker. Dia berhasil kali ini memisahkan Buana dan Masayu. Dan ia akan melakukannya terus menerus sampai mereka benar-benar berpisah dan saling membenci. Masayu hanya boleh menjadi miliknya, tidak boleh menjadi milik orang lain, bahkan adiknya sendiri. "Hidupmu tidak akan semudah itu, Buana. Masayu akan menjadi milikku segera. Coming Soon! Hahaha" Andres tertawa bahagia karena keberhasilannya kali ini. Ia mulai menyusun rencana berikutnya. Andres : "Beristirahatlah ya Say.. jangan terlalu dipikirkan. Ada saya. Kamu boleh kok bercerita kepada saya apapun masalah kamu. I'll always beside you." Pesan terkirim. Tak lama terlihat sudah tercentang dua biru. Masayu telah membacanya. Namun setelah menunggu beberapa lama, tak ada balasan apapun dari Masayu. "Batu juga nih cewek. Makin membuatku tertantang." Andres berkata kepada dirinya sendiri. Andres pergi menuju ke toilet untuk membersihkan dirinya. Kalau mau dibilang, bukan cinta yang ia miliki untuk Masayu. Andres-pun sebenarnya menyadari hal itu. Ia sadar ini hanya obsesinya belaka. Tapi ia tak mau melepaskan Masayu untuk Buana. Tidak akan ia biarkan hidup Buana semudah itu. Selesai mandi dan menggunakan kimono tidur, Andres naik ke tempat tidurnya dan mengambil notebook-nya. Ia mulai berselancar di dunia maya, dan memeriksa beberapa surat masuk di surel pribadinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD