11. Sehari Bersamamu

1204 Words
Kami memasuki sebuah kompleks apartemen yang biasa saja setelah aku dibuat mual berkali-kali karena gaya berkendaranya. Bagaimana tidak, dia ngebut seperti kesetanan, bahkan tidak mengasihani aku yang berkali-kali hampir menyerah dan memilih turun dari boncengannya. Tapi itu tidak terjadi, tidak semudah itu Fergusso..! "Kita ngapain disini?" Aku mulai bertanya ketika tiba di parkiran motor apartemen, dan Buana telah memarkirkan motornya. Dia tak menjawabku. Entah kenapa aku merasa dia seolah mendorongku untuk menjauh dari kehidupannya. Tapi justru hal itu yang membuat semangatku semakin bangkit. Jangan panggil aku Masayu kalau aku menyerah begitu saja. Aku mengikuti langkahnya, karena dia tak mengacuhkanku. Padahal apa susahnya sih menjawab pertanyaanku? Kami menuju ke lift dan tampak petugas disana seperti sudah mengenali Buana dengan baik karena dia tersenyum menyambut kami. Kemudian kami berdua pun masuk ke dalam lift dan aku lihat Buana mulai menekan angka 8. Oke, aku tak akan bertanya lagi. Aku ikuti saja dulu permainannya. Begitu tekadku. "Masuklah!" Tiba di depan sebuah unit, Buana memasukkan sandi, membuka pintu dan mempersilakanku masuk. "Boleh?" Tanyaku ragu, tapi melihatnya menganggukkan kepalanya dengan yakin, maka aku melangkahkan kakiku ke dalam apartemen ini. Di depan langsung kutemukan sebuah ruangan dengan tv dan sofa disana. Tidak terlalu luas, tapi cukup rapi. Di sebelah kanan, ada mini bar, pantry dan dapur kering. Ah, di mini bar itu terletak berbagai macam botol minuman keras mahal yang aku sendiri tidak tau itu apa saja. Botol-botol itu sudah tidak tersegel lagi. Apakah Buana sendiri yang meminumnya? "Kamu mau makan siang apa? Biar nanti aku pesankan pakai ojek online." Buana bersuara lagi akhirnya. "Kalau kamu? Makan apa?" Aku malah balik bertanya. "Entah.. gue biasanya kalau lapar baru mikir mau makan apa." Jawab Buana cuek. "Ih tau gitu makanan yang tadi gue bawa, jangan ditinggalin di dapur lo" Tiba-tiba aku teringat makanan di rantang yang tadi pagi aku bawa. Udah bangun pagi-pagi loh buat masakinnya. "Nih.. pilih aja." Kata Buana sambil menyodorkan smartphone-nya. Smartphone baru kayaknya. "Hp baru, mas?" Tanya-ku yang spontan kepo. Curiga jangan-jangan hp lama-nya rusak karena berantem pas nolongin aku. Bukannya mo GR, tapi kan aku gak enak hati malau begitu kenyataannya. "Bukan cuma HPnya yang baru, nomernya juga." Jawaban Buana mengejutkan-ku. Kok bisa? "Lah kenapa mas? nomor yang lama kenapa? "Bawel! Jadi mesen nggak?" Aku akhirnya menerima smartphone nya, tapi aku tutup aplikasi itu. Lalu membuka panggilan dan mengetikkan nomorku di layarnya, kemudian dial. "Eh.. lo ngapain?" Buana terheran-heran karena melihat aku melakukan panggilan di smartphone-nya. "Call nomor gue.." jawabku sekenanya. "Supaya?" Buana masih ga paham? Ogeb apa gimana nih? "Ya supaya gue tau nomor lo lahh.." Nah.. udah nyolot belum jawabanku? "Jangan share nomor ini ke siapapun, cukup lo aja yang tahu, yang lain biar tau nomor lama gue aja." Buana memeringatiku. Aku mengangguk saja karena memang gak berniat share nomornya ke orang lain sih. "Btw, boleh gue ke dapur lo?" Lanjutku lagi tanpa mempedulikan ekspresinya yang kaget dengan kekepoan-ku. "Terserah. Lo boleh ngapain aja di sini, tapi jangan ganggu gue" Begitu menyelesaikan kalimatnya, Buana langsung pergi dan masuk ke sebuah kamar yang aku yakini itu kamarnya. Aku mengabaikan Buana, dan langsung menuju ke dapur. Aku membuka lemari pendinginnya. Waah.. penuh juga kulkasnya. Siapa yang belanja ya? Aku mulai memeriksa isi dapur lainnya, dimana beras, maupun bumbu masak lainnya. Udah berasa kayak yang punga tempat aja. Sambil mencuci beras, aku menimbang-nimbang apa yang mau dimasak untuk menu makan siang, sementara kemampuan memasakku sangat-sangat meragukan. Kulirik jam tanganku, ternyata sudah jam 11.17 siang. Wah, nggak mungkin aku bisa memasak dalam waktu secepat itu. Akhirnya aku memutuskan untuk memasak nasi saja, lauknya aku pesan sajalah. *** Ting.. tong.. jam 12.15. Suara bel berbunyi, aku buru-buru membuka pintu dan menerima paket makanan dari supir ojol itu. Aku hanya memesan makanan seadanya, entah apakah Buana akan cocok nggak dengan menunya. Langsung aku buka pesananku dan mengaturnya di atas mini bar. Menata piring, gelas dan sendok untuk aku dan Buana. Apartemen ini tak ada meja makan, sepertinya memang dirancang untuk makan di mini bar. Aku jadi tersenyum sendiri membayangkan aku seperti seorang istri yang sedang menata makan siang untuk dinikmati bersama suami tercinta. Hahaha halu-ku emang luar biasa yah.. pacar saja tidak punya, sudah berangan memiliki suami. "Ngapain senyum-senyum sendiri kayak orang kurang waras?" Suara Buana mengembalikanku dari ke-halu-anku. Ih.. vangke!! Masa aku dibilang kurang waras. Nih cowok kata-katanya gak ada yang menyenangkan hati kali ya.. Semuanya penuh kesinisan begitu? "Baru juga mau manggil untuk lunch bareng" Aku memutuskan untuk mengabaikan kejulid-an Buana tadi. Lagi metode kalem ini, jadi tak ingin merusak momen. "Siapa yang datang tadi?" Tanya Buana sambil menuju westafel dan mulai mencuci tangannya. "Oh.. itu ojol nganterin pesanan gue" Buana membalikkan badannya dan menatapku dengan menaikkan satu alisnya. Dia tersenyum tipis, tapi aku merasakan kalau dia sedang meremehkanku di dalam senyum itu. "Kirain masak sendiri.. gaya banget tadi pake ijin mau pake dapur segala" Nah bener kan dia nyindir aku? Merusak suasana banget sih nih orang? "Kan gue masak nasi juga" Belaku "Cuma cuci beras trus taruh di rice cooker. Anak SD juga bisa!" Walaupun julid, Buana tetap mengambil nasi dan lauknya sendiri kemudian mulai makan. "Lo ada masalah apa sih sama gue? Julid mulu?" Nah emosi-ku mulai naik. Tapi Buana biasa saja kelihatannya. Ia tak menanggapi emosi-ku malah berkata dengan santai : "Makan dulu! Lo butuh tenaga buat debatin gue!" Nah! Tuh kan! Bener-bener batu nih orang! Aku segera mengambil nasi dan lauk untuk ku makan dengan segera. Tak ada lagi pembicaraan walaupun kami sedang makan berdua. Buana selesai makan duluan, ia langsung mengakat piring dan gelas kotornya ke westafel. "Lo makannya santai aja. Piring dan gelas kotor biar gue aja yang nyuci. Kasian lo udah capek masak nasi!" Ish didiemin malah makin nyolot aja nih! "Gue juga bisa cuci piring kok!" Enak aja dia menghinaku terus. Tapi dia lagi-lagi mengabaikan protesku, tapi ia tak kemana-mana, kembali duduk di mini bar, dan memperhatikanku menyelesaikan makan siangku. "Nanti lo harus pulang sendiri. Gue pulang malam." Tiba-tiba Buana berbicara seolah tak membuatku emosi sebelumnya. "Lah kenapa? Kan lo yang bawa gue ke sini, ya tanggung jawablah balikin gue!" Aku bukannya tak bisa pulang sendiri, tapi memang sengaja tak ingin membiarkan dia pulang malam. Kayak ada perasaan gak ikhlas gitu melihat ia menyia-nyiakan hidupnya seperti ini. "Eh ralat ya.. bukan gue yang bawa lo ke sini, tapi lo nya aja yang pengen ngikut gue" Buana meralat kalimatku. Emang bener sih dia nggak ngajak. Ah aku mengharapkan apa sih darinya? teman, bukan! pacar, apalagi! "Gue ikut lo pulang malem aja gak papa deh." Jawabku akhirnya. "Gue mo mabok, Ayu. Nyawa lo jadi taruhannya kalau pulang bareng gue" "Ya makanya nggak usah pake mabok lah lo nya, Mas!" "Lah kenapa jadi ngatur-ngatur gue?" Ok, nada suara Buana mulai naik gaes.. "Ya udah.. nggak usah pulang sekalian! Biar pagi aja pulangnya" Ngide banget aku ini. Bagaimana bisa ga pulang? Masa iya aku harus nginap berdua sama dia disini? Mampus aja kita kalo digrebek. "Kayaknya lo yang mabok deh! Lo nggak takut sama gue? Gue juga laki-laki, yang bisa melakukan hal b***t juga sama seperti laki-laki b******k yang mau lecehin lo kemaren!" Buana terlihat mulai emosi karena meladeni jawaban-jawabanku yang mungkin di luar akal sehat. Tapi ya mo bagaimana lagi? Hati kecilku tidak mengijinkanku untuk meninggalkan laki-laki ini di apartemen ini seorang diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD