14. Putri Cassiopeia

1118 Words
Aku tiba di rumah paman Arkan jam 6 sore. Buana mengantarkanku sampai tiba di depan gerbang. Bahkan ia menungguiku sampai masuk ke dalam rumah. Setelah itu aku melihat ia memutar motornya, mungkin seperti apa yang dia bilang sebelumnya kalau ia akan kembali ke apartemennya. Aku puas seharian ini bersama Buana. Sebenarnya itu baru tes ombak aja, ternyata walaupun jutek, Buana tetap memperlakukanku dengan baik. Kadang ngeselin sih kalau sudah mulai berdebat, tapi setidaknya akan berakhir dengan Buana yang mengalah. Aku benar-benar terpesona dengan tawa nya, hanya saja aku belum mengetahui terlalu banyak tentang dirinya. Aku merasa ia masih menutup diri dan mencoba mendorongku menjauhinya. Padahal aku merasa ia tak pernah menolakku secara terang-terangan. Sayang besok hari senin, aku harus kembali bekerja. Paman dan tante pun akan kembali nanti malam. Jadi aku tidak bisa bersama Buana hingga larut malam. Padahal aku penasaran banget nget. Aku menyudahi pemikiranku, dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan badanku. Selesai mandi dan berpakaian, aku mengambil smartphone ku dan memeriksanya. Nomor Buana yang tadi aku pakai untuk meneleponku, sudah langsung aku save. Sudah hampir jam 7, aku perlu makan nih kayaknya. Tapi sebelumnya aku perlu melakukan sesuatu. To : MasBu Mas.. sudah sampai apartemen lagi ya? thanks yah udah sempat-sempatin nganterin aku. Jangan lupa makan. See you Mas. ~Ayu~ Aku mengirimkan pesan kepada Buana tapi tak mengharapkan balasan. Langsung ku taruh benda pipih itu di atas nakas di samping tempat tidurku, kemudian aku turun untuk meminta bibi Parti menyiapkan makan. *** Pesan dari Ayu mengagetkanku. Namun aku sadar terbit rasa senang di hatiku karena menerima pesannya. Jujur aku bingung harus menjawab apa. Oh, sebelum lupa aku save aja dulu nomor nya. Kemudian aku terkekeh sendiri membaca nama yang aku tulis sebagai kontaknya. To : Pemaksa Ay Sudah. Sama2. Nah gitu aja aku balas pesan nya. Soalnya bingung mau balas apa lagi. Aku yakin pesanku tak akan dibalasnya. Oh iya.. ada lagi yang harus aku lakukan. Aku kembali mengambil handphone jadul rahasia-ku, dan mulai mengetikkan sesuatu. Call 081xxxxxxxxx "Saya perlu jasa orang-orangmu. Tolong atur" Aku menjelaskan maksudku menghubungi orang ini. "Target?" Jawaban dari seberang terdengar singkat seolah sudah tau apa yang harus dilakukan. "Ghayaka Masayu" Ujarku dengan dingin. "Copy" Jawab suara itu lagi kemudian memutus panggilan ini. Aku merenung sejenak, benarkan jalan yang aku pilih ini? Aku rasa aku perlu menguji sekali lagi untuk mendapatkan jawabannya. Aku kembali duduk di depan notebook-ku, yang selalu menjadi penyimpan rahasia aktifitas-ku, menanti sebuah email yang penting bagiku. Sekitar 15 menit kemudian, sebuah pesan masuk ke emailku berisi data-data pribadi tentang Masayu, termasuk beberapa foto Masayu dari kecil hingga saat ini. Aku segera membalas email itu. "Lanjutkan dengan bersih" hanya sesingkat itu isi emailku. Aku kembali melihat notifikasi di gawaiku. Tidak ada balasan dari Ayu. Apakah dia sudah tidur? Hmm.. sedangkan aku? apakah aku harus mabuk malam ini? Sekali lagi dengan terpaksa, aku mengambil sloki dan menuangkan cairan memabukkan itu ke dalamnya. Meminumnya perlahan, sloki demi sloki hingga aku merasa hampir mendekati ambang mabukku. Aku berjalan menuju ke depan pintu sebuah kamar di sisi belakang apartemen ini. Kemudian aku merogoh sakuku dan menemukan sebuah kunci disana yang kugunakan untuk membukan pintu kamar itu. Aku masuk sedikit kemudian menyalakan lampu kamar. Disinilah aku kembali dirudung duka. Di dinding, tergantung beberapa potretnya. Ada satu photo besar berbingkai, fotoku dengannya 3 tahun silam, di pesta pertunangan kami. Ruangan ini penuh dengan kenangan tentang Putri. Tunanganku. Dulu. Sebelum maut memisahkan kami. Putri Cassiopeia. Itulah namanya. Begitu indah seperti dirinya. Ia adalah idaman para pria kala itu. Siapa yang tak bangga bersanding dengannya? Aku begitu mencintainya, namun juga membencinya, karena ia meninggalkanku dengan hidup yang seperti ini. Putri dan aku bersama sejak kuliah. Kami sama-sama mengambil bidang Strategi Bisnis. Bersama Putri aku bersemangat menjalani hari-hariku. Bahkan kami bahu-membahu bersama mendirikan startup yang kami rintis dari 0. Ia selalu mendukungku, bahkan kami sudah memiliki banyak rencana setelah kami menikah. Tapi sayang takdir berkata lain, takdir tak memihak kepada kami. Putri pergi tanpa sepatahpun kata terucap. Bukan aku tak mengikhlaskan kepergian Putri, namun Putri pergi dengan cara yang tidak baik. Bunuh diri. Itu menurut hasil pemeriksaan di lapangan. Aku begitu shock saat itu, kenapa harus bunuh diri? Ada apa dengan Putri sampai ia memilih mengabisi sendiri nyawanya? Aku mencintainya, dia punya keluarga yang baik, orang tua yang mencintainya juga, karirnya cemerlang. Butuh apa lagi? Kalaupun ia memiliki masalah yang sangat berat, apakah tidak cukup cintaku untuknya sebagai alasannya bertahan hidup? Tak bisa kah ia mempertimbangkan perasaanku yang hampa tanpanya? Ia bisa saja kan menghubungki dan menceritakan apa masalahnya sehingga kami dapat mencari jalan keluarnya bersama. Tapi itu hanya harapanku saja, Putri tak akan mungkin kembali lagi. Kehilangan Putri membuat hidupku sedikit linglung. Aku bingung bagaimana menentukan arah hidupku. Aku sibuk dengan duniaku berhari-hari, mempertanyakan kenapa hal seperti ini terjadi padaku? Namun nasib tragisku ternyata bukan itu saja. Ibunda-ku berpulang juga sekitar 2 bulan sejak kepergian Putri. "Buan, kamu dimana nak?" Sore itu aku masing dapat mengingat suara mendung ibun yang berbicara denganku melalui saluran telepon. "Di rumah, ibun. Ada apa?" Jawabku masih dengan suasana hati yang tidak baik, 68 hari setelah kepergian Putri. "Jangan kemana-mana ya nak, Ibun mau bicara penting sama kamu. Kita ketemu di rumah ya? Eh pak.. hati-hati nyetirnya, kita ngalah aja pak.." Ucapan ibi terputus karena menegur supirnya. "Kenapa ibun?" Aku penasaran karena suara ibun tadi sudah cukup mengkhawatirkan. "Ini mobil sebelah ugal-ugalan nyetirnya. Mabuk kali yang nyetir. Udah gak papa.. kita ketemu di rumah ya, Buan?" Ibu berusaha mengabaikan suasana disekitarnya setelah selesai menegur sopirnya. "Ibun mau bicara apa?" Akupun menganggap biasa saja karena ibu sudah kembali fokus dengan pembicaran kami sebelumnya. "Ini tentang alm Putri.. Buan, tunggu ibun di rumah ya.. ini ibun sudah di tol, mungkin sejam lagi sampai. nanti ibun ceritakan. Eh pak.. hati-hati nyetir nya." Kembali aku mendengan ibin menegur sopirnya. Terdengar pula teguran dari iparku, istri Andres yang memang bersama ibun dalam perjalanan dari Bandung. "Baik ibun.. hat.." Ucapanku terputus mendengar teriakan panik ibun. "Awas pakkk...!!" Brraaak "Ibun!.. Ibun!.." Sudahlah.. ibu tak menyahut lagi, bahkan panggilan ini terputus. Aku panik. Langsung berlari seperti kesetanan mencari kabar tentang ibun. Air mataku menetes mengenang percakapan terakhirku dengan ibun. Padahal beliau adalah satu-satunya penguatku di kala Putri meninggalkanku. Aku sampai saat ini masih tak terima hasil penyelidikan yang berwenang bahwa ibundaku mengalami kecelakaan tunggal. Jelas-jelas ketika ibun berbicara di telepon denganku, ia mengatakan ada yang menyetir ugal-ugalan. Tapi mereka tidak menerima pernyataanku, karena tidak ditemukan bukti di lokasi kejadian jika ada pihak lain yang terlibat dalam kecelakaan ini. Aku perlu menyendiri, aku ingin lari dari kenyataan ini. Tapi tak mungkin. Aku masih penasaran akan apa yang terjadi. Feeling-ku mengatakan ini tidak sesederhana seperti yang telah dijelaskan yang berwenang. Maka itu inilah keputusanku, menjadi bodoh, dan menyelidiki semuanya dalam diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD