Kau Rengut Kesucianku

1448 Words
Aku menatap pria di depanku itu nyalang, bermaksud memberinya tatapan tajam agar dia takut padaku dan melepaskanku dari cengkeramannya. Tapi di matanya aku hanyalah seorang gadis lemah yang tidak mungkin bisa melawannya. Kenyataannya memang seperti itu. Memang benar aku tidak bisa melawannya. Sekuat apa pun aku berusaha memberontak, tubuhku masih terkekang olehnya. “Mas Harris, jangan seperti ini,” ujarku, memohon pada sosok pria yang sudah dua tahun ini aku kenal. “Kalau enggak seperti ini, kamu enggak akan bisa aku miliki, Wi,” tukas Mas Harris, tangannya masih berusaha keras menahan tubuhku yang terus meronta. Aku menangis, air mataku tumpah tak terbendung. Hatiku berteriak pilu, harga diriku menjerit tak kuasa menahan malu melihat diriku digerayangi oleh tangan Mas Harris. Padahal kupikir Mas Harris adalah pria baik yang selalu meratukan diriku dan sabar menghadapiku yang terus menolak perasaannya. “Mas Harris, aku janji, aku bakal terima perasaan Mas, tapi aku mohon, lepasin aku, jangan seperti ini, Mas. Aku mohon,” rayuku, memohon dengan penuh harap. Namun, nafsu sepertinya telah membuat Mas Harris tuli. Dia sama sekali tidak mengindahkan perkataanku. Bahkan, perkataanku bagai angin lalu yang tak pernah masuk ke dalam gendang telinganya. “Mas.” Aku memekik saat tangan kokohnya berhasil merobek pakaianku. Air mataku semakin deras mengucur, terus memohon pada Sang Kuasa agar menyelematkanku dari kebuasan Mas Harris. Tapi, entah apa yang Tuhan rencanakan, karena aku sama sekali tidak mendapatkan pertolongan apa pun walau hatiku sudah memekik histeris meminta pertolongan-Nya. Pada akhirnya, kerhormatan yang aku jaga selama puluhan tahun direngut paksa oleh sosok pria yang aku pikir adalah pria baik-baik. *** Aku mengerjap, merasakan silau menembus kelopak mataku. Perlahan aku membuka mataku yang entah sejak kapan tertutup. Saat bergerak, tubuhku rasanya lemas, sendi-sendiku terasa lelah dan kaku. Ingatanku tentang kejadian semalam masih kabur, tapi aku ingat kalau semalam air mataku jatuh mengucur deras. Di saat ingatanku perlahan pulih, sebuah suara menyentakku dari lamunan. “Kamu udah bangun?” ujarnya. Aku sontak menatap ke arah sumber suara itu berasal. Mas Harris, pria itu duduk di kursi dengan pakaiannya yang sudah rapi. “Kalau sudah bangun, cepatlah mandi dan pakai pakaianmu, setelah itu kita pergi ke rumahmu,” katanya. Aku masih terdiam di tempat, aku merasa linglung ketika kilas balik kejadian semalam kembali melekat jelas di pikiranku. “Apa yang sudah kamu lakukan padaku, Mas?” lirihku, menatap Mas Harris dengan raut kecewa. “Kenapa kamu seperti ini? Apa salahku?” imbuhku, merasa sesak mengingat tangan kokohnya itu menjamah setiap bagian tubuhku. “Aku hanya meminta hakku lebih awal,” kata Mas Harris dengan tenang. “Kamu jangan khawatir, aku pasti akan tanggung jawab, aku bakal nikahin kamu, Wi,” cakapnya, tersenyum sumringah. Setelah itu Mas Harris bangkit dari duduknya. “Aku tunggu kamu di luar,” ujarnya, kemudian dia melangkah keluar dari dalam kamar. Aku menjerit keras saat pintu kamar sudah ditutup oleh Mas Harris, melepaskan sesak yang membekap kuat hatiku. “Ya Tuhan, ujian macam apa ini?” lirihku kesal, sesak masih terasa pekat membekap ulu hatiku. “Kenapa Engkau tidak menolongku di saat aku meminta pertolongan-Mu?” Aku terus mengeluh pada Tuhan yang selama ini kusembah sebanyak lima waktu sepanjang hari. *** Wanita paruh baya itu berdiri dengan cemas di teras rumahnya. Dia tengah mencemaskan sosok putrinya yang semalaman tak pulang ke rumah. “Ibu ngapain berdiri di luar?” tanya seorang pria, dia adalah anak bungsu dari Bu Sari. “Mbakmu dari semalam enggak pulang, Yo. Ibu khawatir,” ujar Bu Sari. “Mbak Dewi udah gede loh, Bu. Mungkin dia ada kerja lembur, makanya enggak pulang,” cakap Riyo, mencoba menenangkan hati ibunya yang dirundung gelisah. “Enggak biasanya Mbakmu begini, Yo. Kalaupun ada kerjaan lembur, dia pasti kabarin Ibu,” kata Bu Sari. “Gimana kalau terjadi sesuatu sama Mbakmu? Ibu khawatir, Yo,” tuturnya. Riyo menghela napasnya pelan, kemudian dia melangkah sedikit menjauh dari ibunya untuk menghubungi kakaknya yang memang sejak semalam tidak dapat dia hubungi juga. Sebenarnya bukan hanya Bu Sari yang cemas, Riyo sebagai satu-satunya laki-laki di keluarga itu juga sangat mengkhawatirkan kakaknya. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil berwarna hitam tampak berhenti di depan pekarangan rumah Bu Sari. Tak lama setelah mobil itu berhenti, terlihat sosok Harris keluar dari dalam mobil tersebut, disusul sosok Dewi yang akhirnya pulang setelah semalaman tidak ada kabar. Harris tersenyum sopan menatap Bu Sari yang memandanginya lekat. Dia pun lantas berjalan beriringan bersama Dewi mendekati Bu Sari dan Riyo yang menunggu mereka di teras rumah. “Assalamu’alaikum,” salam Harris, ramah pada ibu dan adiknya Dewi. “Wa’alaikumussalam,” jawab Bu Sari, tersenyum simpul menatap Harris. “Em, sebelumnya Harris mau minta maaf, Bu. Ini semalam Dewi kerja lembur di kantor, makanya dia semalaman enggak pulang. Dan karena tim kami sedang mengejar target projek akhir tahu, jadi hape semua karyawan dimatikan,” terang Harris. Bu Sari menarik napasnya panjang, keterangan dari Harris berhasil membuat hatinya merasa sedikit lega. Tatapan Bu Sari kemudian tertuju pada sosok putrinya yang sejak tadi menunduk diam. “Kenapa kamu enggak telepon atau kirim pesan dulu ke Ibu atau Riyo kalau mau lembur tho, Nduk? Ibu khawatir, dari semalam kepikiran kamu, mau tidur aja enggak bisa,” tuturnya. “Saya sebagai atasannya Dewi bener-bener minta maaf sudah buat Bu Sari khawatir,” sahut Harris, mewakili Dewi yang tampak hanya diam saja. “Iya, enggak pa-pa, Nak Harris. Tapi lain kali kalau ada lembur, misal Dewi enggak sempet kabarin ibu atau Riyo, seenggaknya tolong kamu kasih kabar ke kami dulu ya, Nak Harris. Ibu percayakan Dewi sama kamu, tolong jaga dia,” ucap Bu Sari. Hati Dewi meringis miris mendengar perkataan ibunya barusan. Andai Ibu tahu apa yang sebenarnya sudah Mas Harris perbuat padaku semalam, Ibu pasti akan mengusir Mas Harris dari rumah ini. Tapi apa dayaku, Bu. Aku bahkan tidak bisa berkata jujur pada Ibu. Aku terlalu malu, aku juga tidak mau membuat hati Ibu terluka. Karena itu, aku hanya bisa mengikuti skenario yang dibuat oleh Mas Harris. “Em, sebenernya Harris datang ke sini juga mau bilang sesuatu ke Ibu,” kata Harris kemudian. “Mau bilang apa, Nak Harris?” tanya Bu Sari, senyum ramahnya merekah. “Begini, Bu Sari. Dari beberapa hari kemarin Harris sebenernya mau meminta izin untuk melamar Dewi. Dan jika Bu Sari merestui, Harris mau melamar Dewi secara resmi secepat mungkin,” urai Harris. Bu Sari membeliak. “Nak Harris yakin ingin melamar Dewi?” tanya Bu Sari. Beliau terkejut tapi juga senang mendengar putri sulungnya itu akhirnya hendak dipinang oleh seorang laki-laki, apalagi laki-laki yang memintanya adalah Harris, sosok laki-laki yang selama dua tahun ini sudah dikenal baik oleh Bu Sari. “Kenapa tiba-tiba Kak Harris mau nikahin Mbak Dewi?” sahut Riyo, memicingkan matanya curiga. Dia tahu betul kalau selama ini kakak perempuannya itu hanya menganggap Harris sebagai teman, tak lebih dari itu. “Mbak Dewi emangnya mau? Bukannya selama ini kalian cuma temenan aja?” lanjut Riyo. “Iya, bener, Nak Harris. Bukannya selama ini kalian cuma temenan aja?” Bu Sari ikut menimpali setelah sadar kalau selama dua tahun ini Dewi selalu berkata bahwa dirinya dan Harris hanya teman. Harris tersenyum simpul. “Sebenernya selama ini aku sama Dewi menjalin hubungan secara diam-diam. Cuma karena Dewi enggak mau dikira kami pacaran, jadi kami enggak pernah kasih tahu orang lain tentang hubungan kami yang akan melanjut ke jenjang pernikahan,” terang Harris. Bu Sari seketika langsung menatap Dewi lekat. “Bener, Wi?” tanyanya. Dewi tentu saja mengangguk, perempuan itu sudah terikat dengan skenario yang Harris buat, dan dia sedikit pun tidak bisa mengelak dari skenario itu. “Ibu setuju-setuju saja kalau kalian memang mau menikah, ibu dengan tulus merestui kalian berdua,” kata Bu Sari, senyumnya masih terlukis indah di wajah paruh bayanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidupku setelah ini. Menikah dengan Mas Harris bukanlah keinganku. Sejak awal aku hanya menganggapnya sebagai teman. Aku juga sudah pernah berusaha menjauh darinya ketika dia terus mengejarku. Sampai akhirnya semalam dia berbuat di luar dugaanku. Sekarang aku sadar. Semuanya sudah salah sejak awal. Andai aku tidak mengenal Mas Harris, andai aku tidak bertingkah seperti wanita yang kesepian karena terus menanggapi pesan dan telepon dari Mas Harris, mungkin Mas Harris tidak akan mendekatiku. Semua ini salahku. Salahku karena telah memberi peluang untuk Mas Harris. Dan apa yang terjadi semalam. Mungkin juga karena salahku. Jika saja aku tidak senaif itu, aku mungkin tidak akan mengikuti Mas Harris pergi ke rumahnya untuk mengambil dokumen yang tertinggal. Andai aku tidak sepolos itu, aku pasti tidak akan masuk ke dalam rumah seorang laki-laki yang tinggal sendirian. Ya, memang aku yang salah. Aku yang memberi peluang, dan aku sendiri yang masuk ke sarang binatang buas. Semua salahku. Salahku. Pantas saja Tuhan tidak menolongku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD