1. Amarah yang Meluap

1317 Words
"Mana Papa?" Masih dengan napas memburu gadis itu berhampiri ibunya yang bergerak gelisah dengan raut wajah kacau di depan pintu IGD. Melihat kedatangan putrinya membuat sang ibu terlihat sedikit lebih lega, meski pusat kekhawatirannya saat ini masih berada di titik tanya, tapi setidaknya bagi seorang ibu, melihat satu putri lainnya tiba dalam keadaan baik-baik saja setelah mendengar berita yang membuat mereka ada di sana, adalah sesuatu yang tetap patut disyukuri. "Mana Papa, Ma?!" Tanya gadis itu lagi, kali ini dengan suara yang naik. Mendengar itu membuat sang ibu terlihat makin kacau. Matanya yang semula hanya berkaca-kaca kini sudah menciptakan genangan di pelupuknya. Wanita itu pada akhirnya hanya menggeleng kecil menahan dirinya untuk tidak menangis, karena dia sadar benar ketika air matanya turun, maka akan sulit untuk dihentikan. "Mbak Gwen—" "Dia bahkan nggak dateng setelah dengar anaknya masuk IGD karena percobaan bunuh diri? Hng?" Suara gadis yang dipanggil Gwen itu bergetar. Bergetar karena emosinya yang menguasainya semakin besar. "Gwen, Papa belum tahu soal kondisi Amora. Mama udah coba hubungin, tapi—" "Itu tetep buktiin kalau dia nggak peduli, Ma! Dia nggak peduli bahkan walaupun udah Mama coba hubungin! Dia nggak peduli dengan apa yang terjadi sama kita bahkan meski kondisi anaknya sekarat! Dia nggak peduli padahal jelas-jelas dia yang ciptain semua situasi macam! Dia sama sekali nggak peduli!" Wanita paruh baya di hadapannya itu menggeleng, mencoba untuk menyangkal apa yang dikatakan putri tertuanya. Bukan menyangkal untuk dirinya, tapi menyangkal agar putrinya itu tidak menilai ayahnya sendiri dengan anggapan yang gegabah macam itu. "Nggak, Sayang. Nggak gitu... Mungkin Papa memang lagi sibuk aja makanya..." Sang Ibu melangkah mendekat, mencoba untuk meraih putrinya agar dapat dia tenangkan. Hanya saja nampaknya Gwen tidak berkenan akan hal itu hingga sebelum sang ibu menyentuhnya Gwen sudah lebih dulu melangkah mundur, menjauh. "Sibuk?" Timpal Gwen sarkas. Gadis itu menunjukan senyum remeh yang menggambarkan bahwa alasan yang baru saja didengarnya terdengar seperti lelucon. "Tengah malam begini, sibuk? Sibuk macam apa yang Mama maksud? Sibuk sama perempuan itu?!" "Gwen..." Ibunya mulai merasa panik, reaksi putrinya itu jelas sudah tidak menggambarkan bahwa putri sulungnya itu dalam keadaan yang baik-baik saja. "Oke kalau sibuk." Gwen mengangguk kecil, berkali-kali dengan beberapa langkah yang diambilnya mundur. "Biar aku yang bikin dia nggak sibuk. Biar dia ke sini meski aku harus seret dia supaya dia lihat akibat dari kelakuannya itu kayak apa!" Gadis itu berbalik, lantas meninggalkan ibunya dengan langkah tergesa. Napasnya memburu karena emosi, kedua tangannya mengepal dengan urat-urat yang timpul di punggung tangannya. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam penuh luka. Gadis itu berjalan terus tanpa mampu dihentikan, bahkan dengan seruan ibunya yang berusaha untuk menahan kepergiannya. "Gwen! Nggak—Nak! Gwen!" "Bu, Ibu tunggu di sini aja temenin Mbak Amora, biar saya yang kejar Mbak Gwen..." Wanita paruh baya itu mengangguk, penuh harap menitipkan putri tertuanya pada pria yang sudah bertahun-tahun kerja dengan keluarganya itu. "Tolong ya, Pak Najib. Tolong tahan Gwen, sebisa mungkin jangan sampe Gwen..." Wanita itu tidak mampu meneruskan ucapannya, membiarkan supir pribadinya itu cepat mengejar Gwen sebelum sosoknya hilang entah ke mana. Dan memang benar saja, Gwen dengan langkah cepatnya sudah tiba di parkiran, membuka pintu mobilnya tergesa bahkan membanting benda itu setelah dirinya ada di dalam. Dengan emosi yang menguasai diri, gadis itu mengemudikan mobilnya dengan tenaga penuh. Pak Najib yang melihat mobil putri tertua keluarga Hartono itu keluar dari parkiran bahkan hingga menciptakan decitan yang memekakan telinga, langsung berlari ke mobil yang biasa dikendarainya untuk mengantar Tuan rumah. Pria berusia di awal 40-an itu berusaha mengejar mobil Gwen yang melaju tepat di depannya. Itu sudah tengah malam, jadi jalanan memang sudah lengang. Pak Najib tidak tahu apakah dirinya harus merasa bersyukur atau justru sebaliknya. Di satu sisi, jika jalanan ramai dan Gwen berkendara ugal-ugalan macam itu, gadis itu jelas akan menimbulkan masalah untuk banyak orang. Tapi di sisi lain, dengan tanpa hambatan seperti ini, Gwen justru jadi leluasa menaikan kecepatannya yang membuat Pak Najib was-was. Gwen masih muda, gadis itu baru berusia 21 tahun. Di satu sisi mungkin terlihat dewasa, tapi siapa yang bisa menerka emosinya yang kini membara mampu dikendalikan atau tidak. Ah, siapa pun mungkin akan sulit mengendalikannya, jika situasi yang dihadapi sama persis seperti yang Gwen alami. Di dalam mobilnya, Gwen tahu bahwa dirinya diikuti. Gadis itu juga tahu siapa yang mengikutinya dan untuk apa mengikutinya. "Mbak Gwen! Mbak, berhentiin mobilnya, Mbak! Tolong berhentiin mobilnya! Inget Ibu, Mbak! Inget Mbak Amora juga butuh Mbak Gwen sekarang! Ayo berhentiin mobilnya dan puter balik ke rumah sakit. Mbak Gwen!" Seru Pak Najib berteriak dari mobil yang dikendarainya, berusaha untuk menghentikan putri tertua keluarga Hartono itu. Sayangnya, hal itu sama sekali tidak menghentikan Gwen, gadis itu justru semakin memacu laju mobilnya dalam kecepatan maksimal, bahkan meski mobil yang dibawa supir keluarganya itu sempat beberapa kali berhasil mengejarnya lagi. Yang Gwen lakukan terus menambah kecepatannya, lagi dan lagi hingga Pak Najib tidak mampu mengejar. Takut sudah tidak lagi dirasakannya, semuanya hanya ada amarah yang menguasainya begitu pekat. Menyamarkan perasaan lain atau bahkan menghilangkannya. Lima belas menit berlalu memacu mobilnya gila-gilaan, mobil yang Gwen kendarai memasuki sebuah perumahan elit yang sudah lama tidak dia kunjungi. Semakin dekat dengan tempat yang dia tuju, semakin sakit yang Gwen rasakan. Napasnya memburu, seolah dia tidak mendapatkan oksigen sebagaimana yang dia butuhkan. Kedua tangan gadis itu yang berada di stir kemudi tremor, tapi Gwen mencoba untuk menahannya dengan mencengkram stir mobilnya sekencang yang dia bisa. Laju mobil itu sama sekali tidak melambat meski beberapa meter di hadapannya sebuah pagar rumah yang terlihat kokoh berdiri tegak tak bergeming. Alih-alih mengurangi kecepatan, pengemudi di dalam mobil malah menaikan kecepatan mobil yang dikendarainya dengan menginjak pedal gas dalam-dalam. Kedua tangan yang memegang stir kemudi mencengkram begitu erat, hingga urat-urat di punggung tangan itu terlihat nyata dan jari-jarinya memerah. Rahang Gwen mengeras, matanya terbuka lebar tanpa sedikitpun mengerjap meski bangunan di hadapannya semakin dekat, hingga— BRRAKKK!!! Semua indra dalam dirinya beberapa detik terasa mati, hingga kemudian kembali dengan dengungan panjang di telinga sebagai pertanda. Kepalanya pening, tapi Gwen masih dapat merasakan ketika sesuatu mengalir entah dari dahi atau kepala, mengalir begitu saja melewati pipi. Iya, mobil yang Gwen kendarai benar-benar menghantam pagar rumah megah yang menjadi tujuannya itu. Mobil fortuner putihnya sudah menghancurkan pagar rumah bahkan hingga menembus tembok garasi yang juga menjadi saksi betapa keras benturan yang Gwen ciptakan. Tidak berhenti sampai di sana. Belum. Semua itu belum cukup menurut Gwen. Gadis itu kembali menarik tuas kopling, lantas menggerakkan mobilnya mundur. Setelahnya? Sudah bisa ditebak, bukan? Gwen menghantamkan mobilnya lagi. Kali ini menabrak mobil-mobil mahal yang terparkir di rumah itu. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali hingga mobilnya menyerah tidak bisa menuruti kehendaknya lagi. Well, itu mobilnya. Lain halnya dengan tubuh Gwen yang masih bisa bergerak. Gadis itu melepaskan begitu saja seatbelt yang dipakainya seolah tidak terjadi apa-apa, meski setelah benturan keras yang dibuatnya dan diterimanya bertubi-tubi. Napasnya turun-naik, pandangannya mulai buram. Gwen masih bisa merasakan sesuatu mengalir dari kepalanya, turun ke pelipis membentuk jalur merah hingga ke pipi. Lebih banyak dibanding sebelumnya. Dengan langkah terbata, Gwen mengambil bongkahan tembok yang hancur dengan tangannya. Menyeret kakinya yang sudah sulit diajak kerjasama untuk mendekat ke bangunan rumah yang masih berdiri kokoh. Dengan segenap tenaga yang tersisa Gwen kumpulkan, mengangkat bongkahan tembok itu dan melemparkannya hingga memecahkan kaca jendela rumah di hadapannya. PRANGGG Tentu saja tidak cukup sekali, Gwen mencari benda berat lain yang ada di sekitarnya, lantas melakukan hal yang sama bertubi-tubi. Batu hias, pot bunga, hingga sebuah besi yang diambilnya sembarang dia lemparkan ke setiap bagian rumah, menciptakan keributan yang membuat siapa pun di dalam rumah itu sudah jelas akan menemui siapa pelakunya. Tidak, harusnya sejak suara tabrakan mobil yang dibuatnya tadi, itu sudah cukup untuk memancing siapa pun yang ada di rumah itu untuk datang menemui Gwen, mendapati gadis itu yang berdiri dengan napas memburu dan darah yang bersimbah di beberapa bagian tubuh. Gwen melemparkan sorot mata penuh kebencian pada penghuni rumah yang kini berdiri menatap kehadirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD