2. Titik Tertinggi Rasa Kecewa

1294 Words
"G-Gwen..." Melihat sosok itu dan mendengar suaranya menyebut nama Gwen, rasanya Gwen ingin sekali tertawa sekaligus berteriak marah. Ditambah lagi dengan kehadiran sosok extra yang membuatnya jijik. Sosok wanita yang bergelayut di lengan papanya tanpa merasa malu berani berdiri di hadapan Gwen. Ekspresi wajah wanita itu memang terlihat takut dan memelas, tapi sikap yang ditunjukannya di depan mata Gwen dengan memegang lengan papanya erat-erat jelas sama sekali tidak menunjukan bahwa wanita itu sungguh-sungguh terintimidasi. Itu hanya bagian dari sandiwara wanita itu saja, bagian dari topeng murahan yang digunakan untuk memanipulasi papanya. Rasa sakit dan kepungan amarah mengukung Gwen begitu pekat hingga kedua tangan di sisi tubuhnya tanpa sadar mengepal begitu erat, buku-buku jarinya memutih dan terasa dingin. Rasanya kebas, Gwen tidak merasakan sakit di sekujur tubuhnya setelah benturan keras tadi, tapi kenapa hatinya terasa begitu perih dan sesak? "Baru keluar? Baru keluar setelah aku hancurin rumah ini, huh?" "Gwen..." "Apa harus aku rubuhin rumah ini juga biar Papa bisa pergi dari sini?!" "Gwen, jangan di sini. Kita bicara di tempat lain. Ayo ikut Papa." "Kenapa?" Suara Gwen bergeming, tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. "Papa nggak mau cewek itu lihat apa yang udah dia perbuat sama keluarga kita? Papa nggak mau cewek itu nyaksiin kalau dia udah bikin keluarga kita hancur kayak gini karena harga dirinya yang murah itu?!" "GWEN! JAGA MULUT KAMU!" Napas Gwen yang sebelumnya tertahan dibuat keluar bersamaan dengan dengusan geli melihat sikap yang ditunjukan pria yang sejak kecil dia hormati itu. Sosok itu membentaknya? Membentaknya hanya karena berusaha untuk membela manusia kotor yang sudah menghancurkan keluarga mereka? Bukankah itu lelucon paling menggelikan abad ini? "Memang kenapa? Kalau aku jaga mulutku lantas p*****r itu jadi malaikat? Jadi manusia paling suci yang nggak kelihatan busuk sedikitpun di mata Papa? Oh, atau dari awal Papa memang udah buta lihat p*****r itu sebagai—" PLAK! Gwen jelas tahu apa yang akan dilakukan papanya ketika dia meneruskan kalimatnya. Gwen tahu apa yang akan terjadi bahkan di detik saat pria itu melangkah mendekat ke arahnya. Gwen tahu, tapi dia tetap melakukannya. Katakan Gwen terlalu naif untuk ini, bahkan di saat keadaan sudah jelas sekalipun Gwen ingin membuktikan siapa yang lebih berharga di antara dirinya dan wanita yang sejak tadi bersembunyi di balik tubuh papanya. Dan ya, Gwen mendapatkan jawabannya. Telak, tanpa perlu memastikannya lagi. "Papa nampar Gwen karena p*****r itu?" "Gwen berhenti." "Papa lebih milih p*****r itu dibanding keluarga kita?" "Berhenti, dan pergi dari sini Gwen." "PAPA JELAS LEBIH MENTINGIN p*****r ITU DIBANDING AMORA YANG SEKARANG ADA DI ICU, ITU KAN MAKSUD PAPA?!" "PAPA BILANG CUKUP, GWEN!" "PUAS LO b*****t?! PUAS LO UDAH BIKIN BOKAP GUE LEBIH MILIH LO DIBANDING ADEK GUE?!" Gwen berteriak ke arah wanita yang masih berdiri diam di tempatnya. Untuk ukuran seseorang yang berusaha terlihat ketakutan, nyatanya wanita itu masih cukup berani untuk berdiri di sana meski Gwen sudah meneriakinya dengan berbagai macam makian sekalipun. Wanita itu bahkan jelas-jelas membalas tatapan matanya, sama sekali tidak memalingkan tatapannya dari Gwen sedikitpun. Amarah Gwen seperti dipancing, Gwen tidak bisa menahan dirinya lagi dan melangkah mendekati wanita itu. Kalau Gwen, Amora atau mamanya merasa sakit karena wanita itu, bukankah adil untuk membuat wanita itu juga merasakan sakit yang sama? Tidak secara batin, tapi Gwen setidaknya bisa melakukannya pada fisik wanita itu, kan? Sialnya, belum sempat Gwen menggapai wanita itu. Tubuhnya sudah ditarik sang ayah, pria itu menahannya agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di sana. "Nggak Gwen, nggak begini. Bukan begini caranya—Kalian! Kenapa diam aja? Cepet bawa Gwen pergi dari sini!" Seru pria itu berteriak pada para penjaga yang ada di rumahnya. "NGGAK GINI PAPA BILANG? Nggak gini?! INI YANG BIKIN AMORA ADA DI ICU SEKARANG! YANG PAPA LAKUIN INI YANG BIKIN GWEN KAYAK GINI. Dan nggak gini Papa bilang?! Gara-gara cewek itu! GARA-GARA p*****r ITU!" Gwen berontak, berusaha untuk bisa lebih dekat bahkan menyentuh wanita itu. Tapi tidak, mereka tidak membiarkan Gwen begitu saja. Bangsat. Berengsek. "GWEN!" "Mbak Gwen!" Para pria bertubuh kekar yang mendapatkan perintah itu langsung mengerumuni Gwen dan mencoba untuk membawa gadis itu pergi dari sana. Sementara pria yang Gwen panggil dengan sebutan "Papa" sejak tadi itu sudah berbalik, pergi menggandeng wanita yang menatap Gwen dengan sorot paling munafik yang pernah Gwen lihat. Mereka kembali masuk ke dalam rumah itu tanpa memedulikan Gwen yang berusaha berontak melepaskan diri dari para ajudan papanya. "Gwen bakal ingat ini seumur hidup Gwen, Pa! Gwen bakal inget! Papa lebih milih cewek murahan itu dibanding aku, Mama dan Amora!" Gwen sungguh tidak ingin menangis di depan orang yang bahkan tidak menganggapnya, tapi sepertinya tubuhnya, semua alat indranya bahkan bertindak tidak sesuai dengan apa yang Gwen inginkan. Gadis itu menangis, menangis sambil berteriak berharap sang ayah berbalik dan meralat kata-katanya. Iya, di antara semua kebenciannya Gwen memang masih terlalu naif mengharapkan hal yang dirinya sendiri tahu tidak akan terjadi. Namun sekali lagi, Gwen tidak bisa menghalau hal itu karena semua bagian dirinya seolah bertindak sendiri-sendiri. "BERENGSEK! p*****r! b******n! KARENA LO ADEK GUE SEKARANG DI ICU! KARENA KALIAN AMORA HARUS BERJUANG ANTARA HIDUP DAN MATI! KARENA KALIAN!" "Mbak Gwen... Cukup, Mbak. Kita pergi dari sini, hm? Mbak Amora lebih butuh Mbak Gwen sekarang. Jadi cukup, dan tolong berhenti." Itu Pak Najib, yang akhirnya berhasil menyusul Gwen dan mencoba untuk melepaskan Gwen dari para ajudan papanya yang menyeretnya pergi menjauh dari rumah itu. "GUE AKAN INGET SEMUANYA SEUMUR HIDUP! DENGER ITU! GUE NGGAK BAKALAN BIARIN HIDUP KALIAN TENANG DAN ENAK-ENAKAN BEGITU AJA! KALAU SESUATU TERJADI SAMA AMORA! KALIAN JUGA HARUS NGERASAIN HAL YANG SAMA!" "Mbak Gwen..." *** Gwen kembali bersama Pak Najib ke rumah sakit, tentu saja dengan menggunakan mobil yang dikendarai Pak Najib karena mobil Gwen yang hancur Gwen biarkan dan tinggalkan begitu saja di halaman rumah papa bersama selingkuhannya. Tanpa memedulikan apa yang dikatakan Pak Najib mengenai luka-lukanya, Gwen kembali ke ruang tunggu ICU untuk menemui sang ibu. Saat itu masih tengah malam, rumah sakit bisa dibilang masih sangat terlampau sepi hingga yang berlalu Lalang pun tidak banyak ditemukan. Jadi, ketika Gwen mendekat, Mama yang duduk di depan ruang ICU langsung menyadari keberadaannya. Wanita paruh baya itu terkejut melihat keadaan Gwen yang berantakan. Bercak darah bercampur keringat membuat wajah Gwen terlihat kusut dan tidak karuan. Belum lagi luka-luka di punggung tangan, dahi, bahkan pipi putri sulungnya yang kini terlihat lebam. Wanita itu benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang sudah terjadi pada putrinya. "Gwen?! Kamu kenapa? Apa ini? Kenapa begini?" Mama terburu bangun dari duduknya, menghampiri Gwen dan memeriksa tubuh putrinya untuk mencari luka yang mungkin luput dari penglihatannya. Raut wajah Gwen dingin, tanpa ekspresi atau riak yang menunjukan bahwa gadis itu merasa kesakitan sedikitpun. Berbanding terbalik dengan yang penampilannya tunjukan. "Maaf, Bu. Saya nggak bisa nahan Mbak Gwen. Saya—" "Mulai hari ini Papa udah mati. Mulai hari ini Gwen dan Amora udah nggak punya Papa, dan Mama udah nggak bersuami. Inget itu, Ma. Jadi jangan sekalipun sebut-sebut nama itu di depan Gwen ataupun Amora." Ucap Gwen mengabaikan setiap pertanyaan mamanya, begitu juga kalimat Pak Najib yang hendak menjelaskan apa yang terjadi pada sosok di hadapannya. Setelah mengatakan itu Gwen melangkah ke arah kamar mandi yang tidak jauh dari ICU. "Bu, Mbak Gwen harus diperiksa. Mobil Mbak Gwen nabrak rumah Bapak tadi. Mobilnya hancur, saya takut Mbak Gwen kenapa-kenapa. Mbak Gwen harus di bawa ke dokter, Bu. Saya—" Gwen masih bisa mendengar suara Pak Najib ketika menginformasikan apa yang terjadi padanya beberapa puluh menit lalu. Hingga suara itu benar-benar hilang saat Gwen memasuki ruangan kedap suara dan mengunci dirinya di dalam sana. Toilet rumah sakit, memang bukan ruang pribadi Gwen, tapi dia membutuhkannya saat ini. Gwen sungguh membutuhkannya. Tidak peduli dengan suara sang ibu yang kemudian mengedor pintu kamar mandi itu sambil memanggil dan meneriakan namanya. Gwen butuh ruang untuk seorang diri. Gwen membutuhkannya meski hanya untuk beberapa menit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD