3. Berharap di Tengah Badai

1399 Words
"Dokter bilang kamu juga harus dirawat, Gwen... Beberapa tulang kamu retak, dokter butuh kontrol sampai kondisi kamu lebih baik. Jangan keras kepala, dengerin apa kata dokter dan—" Langkah Gwen akhirnya berhenti setelah keluar dari ruang pemeriksaan. Gadis itu menghadap ibunya yang mengerjar langkahnya dari belakang. Bersitatap dengan dua ekspresi wajah yang kontras. Raut khawatir yang terpampang di wajah ibunya jelas tidak berpengaruh sama sekali bagi Gwen. Gadis itu tidak memperlihatkan sesuatu yang perlu dikhawatirkan sama sekali. "Ma, yang butuh perhatian sekarang itu Amora. Amora belum sadar sejak dia masuk rumah sakit. Sementara aku? Mama lihat sendiri, kan? Aku masih hidup, aku masih bisa jalan, lihat dan bicara sama Mama. Apa yang perlu Mama khawatirin?" "Gwen..." "Gwen baik-baik aja, Ma. Mama nggak perlu khawatirin Gwen. Energi Mama pasti udah habis buat khawatir sama keadaan Amora setiap saat." Gwen kembali berbalik, meneruskan langkahnya yang terhenti. "Dan Gwen nggak mau nambahin lebih banyak lagi." Gumam gadis itu pelan, ucapan yang sepertinya memang hanya diperuntukan pada dirinya sendiri. "Gwen beli makanan dulu, Mama belum makan dari semalam, kan?" Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan yang tidak membutuhkan jawaban ibunya untuk Gwen bertindak. Dijawab atau tidak, toh Gwen tetap pergi, tetap meninggalkan ibunya yang tidak bisa menahan putri sulungnya itu untuk kembali bersikap keras kepala. "Biar saya susul Mbak Gwen, Bu. Minta Mbak Gwen untuk tetap di sini dan saya yang beli—" "Nggak usah Pak Najib. Biarin Aja. Mungkin Gwen butuh waktu buat sendiri. Nanti biar saya yang bujuk Gwen lagi untuk ikutin apa kata dokter. Kalau Gwen memang nggak mau dirawat seenggaknya dia harus minum obat, luka-lukanya pasti sakit, dan dia sengaja nggak nunjukin itu di depan saya." Pak Najib yang sejak semalam juga berada di rumah sakit tidak beranjak kemana pun karena khawatir akhirnya diam, menuruti apa yang dikatakan majikannya itu agar tidak mempersulit keadaan. "Pak Najib juga sebaiknya istirahat, cari sarapan. Bapak juga nggak makan apa-apa sejak temani kami semalaman di sini, kan?" "Tapi, Bu. Saya..." "Nggak apa-apa, Pak. Bapak pulang juga nggak apa-apa, kok. Toh saya nggak akan pakai mobil atau minta diantar kemana-mana. Saya harus tetep ada di deket Amora sampai Amora sadar, biar Amora nggak bingung waktu buka mata nanti dan merasa dia ada di tempat asing." Pak Najib masih terlihat keberatan, tapi wajah majikannya yang benar-benar tulus mempersilakan dirinya pergi akhirnya membuat Pak Najib pergi undur diri dari sana, tentu dengan pesan bahwa bos-nya itu bisa menghubunginya kapan pun kalau memang dirinya dibutuhkan. *** "Ra, mau sampai kapan kamu tidur terus? Nggak kangen sama Kakak? Nggak mau peluk Kakak, gitu? Kakak jauh-jauh pulang buat kamu lho..." Gwen menggengam tangan Amora yang tergeletak tak berdaya di sisi tubuhnya. Gadis itu kini berjaga di samping ranjang Amora, menemani adiknya setelah mempersilakan ibunya untuk menggunakan waktu untuk menyantap makan siang. Bagaimana pun mereka harus tetap waras, bagaimana pun mereka harus tetap sehat agar saat Amora bangun gadis itu tidak harus merasa melewatkan apa pun. Keluarga mereka memang sudah hancur, tapi setidaknya dari kehancuran itu ada yang masih bisa mereka pertahankan, tidak berempat—tapi cukup jika hanya mereka bertiga. Mama, Gwen dan Amora, itu sudah lebih dari cukup. Mereka tidak lagi butuh yang lain. Terutama pengkhianat yang sudah membuat semuanya hancur dan mengakibatkan Amora terbaring di ranjangnya. "Kakak langsung terbang dari Cali begitu denger kabar kamu tahu, Ra. Masa bodoh meski Kakak ada ujian sekalipun. Toh kayaknya setelah ini juga Kakak nggak bisa balik ke Stanford. Nggak akan balik kalau nggak pastiin kamu sama Mama baik-baik aja." Gwen menarik napasnya dalam-dalam. Gadis itu, yang sejak semalam sudah menahan tangisnya, menahan perasaannya sebisa mungkin terutama di depan sang Ibu, berusaha bertingkah lebih tegar di banding siapa pun akhirnya tertunduk. Kepalanya tertunduk di saat siapa pun tidak ada yang menatap atau melihat ke arahnya, di saat tidak ada seorang pun yang mengawasinya. Gwen tertunduk, lemas. Fisiknya jangan ditanya, jelas lelah bukan main. Menghabiskan waktu hampir 24 jam di perjalanan dari kampusnya menuju bandara, setelah itu langsung mengambil penerbangan ke Indonesia, Gwen sama sekali tidak membiarkan tubuhnya beristirahat meski sudah sampai di tanah air. Tiba di rumah sakit setelah menempuh perjalanan yang panjang, alih-alih menemui Amora lebih dulu, Gwen terpancing untuk mencari keberadaan ayahnya yang tidak dia temui. Pikirannya kacau, berantakan, mendengar mengenai percobaan bunuh diri adiknya dan perselingkuhan ayahnya dalam satu waktu. Siapa yang bisa mengontrol kewarasannya jika sudah seperti itu? Gwen memang sudah biasa tinggal jauh dari keluarganya sejak dia mengambil pendidikan sarjana di benua yang berbeda, menganggap semua yang dia tinggalkan baik-baik saja karena memang itu yang diperlihatkan ibu atau ayahnya sejak dirinya pergi. Hingga berita itu datang, meluluhlantakan bayang-bayangan keluarga harmonis yang bahagia dalam benaknya dalam sekejap. Gwen tidak tahu sejak kapan, entah dirinya yang memang terlalu bodoh atau ibunya yang terlalu pandai menutupi semuanya? Hingga berita mengenai apa yang terjadi seperti sambaran petir yang datang di siang bolong saat cuaca cerah. Sulit dipercaya tapi benar-benar terjadi. Gwen menyesali semuanya, Gwen menyesali kebodohan dan ketidakpekaan hingga Amora mengambil tindakan ekstrim macam ini. Gwen menyesal karena tidak memperhatikan adiknya itu lebih baik lagi. "Kakak minta maaf, Ra. Kakak minta maaf karena udah biarin kamu sampai kayak gini. Kakak minta maaf, kamu harus denger permintaan maaf Kakak. Maka dari itu bangun, ya? Bangun, Dek, please... Kamu harus bangun dan ceritain apa yang terjadi sampai si berengsek dan p*****r itu bikin kamu kayak gini. Kamu harus bangun dan kasih tahu Kakak semuanya..." Gwen menunduk, menjadikan punggung tangan Amora sebagai sandaran dahinya yang tidak mampu menegakan kepala lagi. Di hadapan Amora yang terlelap Gwen benar-benar luluh-lantah, tak mampu berpura-pura terlihat baik-baik saja seperti yang dilakukannya berjam-jam belakangan. Sebentar, Gwen janji hal ini akan berlangsung sebentar. Sebab jika berhadapan dengan orang lain terutama ibunya nanti, Gwen harus bersikap tegar lagi. Sialnya, belum genap lima menit berlalu sejak Gwen meluruhkan bahunya, suara ribut di luar ruang ICU membuat Gwen harus menghapus air matanya lebih cepat dibanding waktu yang dia rencanakan. "Nggak! Kalian nggak bisa mau main bawa anak saya gitu aja! Gwen nggak salah, apa pun yang Gwen lakuin itu tanggungjawab saya! Jadi jangan ganggu Gwen! Jangan libatin Gwen dalam masalah ini!" "Maaf, Bu. Kami nggak bisa mengikuti keinginan Ibu, karena di sini yang dilaporkan merusak properti itu atas nama Gwen Alexandra Hartono. Bukti sudah ada, keterangan saksi dan korban juga sudah kami dapat, kami harus membawa Gwen ke kantor polisi. Jadi tolong panggilan Gwen agar kita nggak perlu buat keributan di sini." "Nggak! Pokoknya nggak boleh! Nggak ada seorang pun yang boleh sentuh anak saya!" Gwen keluar dari pintu otomatis yang menjadi pembatas ruang ICU dengan lobi, melihat keramaian yang sudah ada di sana dan bisik-bisik orang yang menonton keramaian itu. Tentu saja, objek utamanya adalah ibunya, ibunya yang terus memohon pada beberapa pria tidak dikenal di sana. "Saya Gwen. Ada masalah apa Bapak cari saya?" Gwen langsung berdiri di depan mamanya, meski sang ibu berusaha menghalau Gwen dan mempertahankan posisi untuk melindungi gadis itu. Tapi tidak, Gwen tidak membiarkan hal itu berlangsung lama, Gwen sudah dewasa, tidak perlu dilindungi oleh ibunya lagi. Terlebih setelah apa yang terjadi, Gwen-lah yang bertekad bahwa dia harus melindungi ibunya juga Amora—sang adik. "Gwen Alexsandra Hartono? Kami mendapatkan laporan mengenai perusakan properti yang Anda lakukan di perumahan Pondok Indah tadi malam. Kami harap Anda bisa kooperatif dan ikut kami ke kantor polisi sekarang untuk kami mintai keterangan." Haruskah Gwen tertawa terbahak-bahak? Atau tertawa miris?—Ah, agaknya agar lebih dramatis mungkin Gwen seharusnya menangis tersedu-sedu karena apa yang baru saja didengarnya. "Maksud Bapak, saya dilaporkan pemilik properti yang saya hancurkan semalam?" Para pria yang berpakaian preman itu terlihat heran, memandangi rekannya satu sama lain sebelum kembali menatap Gwen. Meski tidak memperkenalkan diri secara tegas bahwa mereka adalah polisi, Gwen seharusnya jelas sudah tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah polisi, kan? Beberapa kali juga para pria itu menyebutkan kantor polisi sebagai tempat tujuan yang harus Gwen kunjungi, tapi alih-alih merasa takut atau semacamnya, Gwen malah menunjukan raut geli bahkan tanpa ragu mengakui perbuatannya secara tidak langsung. "Mbak Gwen—" "Jawab pertanyaan saya, Pak. Bapak yakin yang melaporkan saya itu pemilik properti yang saya hancurkan semalam, kan?" "GWEN!" Belum sempat salah satu dari polisi itu menjawab pertanyaan Gwen, suara yang Gwen hafal di luar kepala masuk ke telinga. Bukan membuat Gwen menoleh ke arah sosok yang memanggilnya itu, tapi justru malah membuatnya melempar tatapannya ke arah lain untuk menghindar dari melihat sosok yang tidak diinginkannya untuk muncul saat itu. Iya, papanya. Siapa lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD