11. Rasa Tanggung Jawab

1386 Words
"Jadi maksud Mas, yang minta saya untuk nggak dipecat, dan ganti rugi soal semua kejadian semalam itu laki-laki yang namanya, Liam?" "Hm, Mr. Park Liam atau Park Junho di kartu namanya." Manager tempat Gwen bekerja itu menanggapi setiap pertanyaan Gwen dengan santai, berbanding terbalik sekali dengan Gwen yang perasaannya sudah campur aduk bukan main. "Kenapa?" "Apanya?" "Ya kenapa dia ngelakuin itu buat saya? Dan kenapa Mas terima uangnya?" Yang ditanya tetap santai, meski Gwen sudah terlihat ingin memancing orang berkelahi. "Ya kenapa nggak? Memang kalau saya minta ganti rugi ke kamu, kamu sanggup bayar? Gaji kamu itu nggak akan cukup untuk bayar kerugian materiil dan immateriil yang udah kamu buat semalam, Gwen. Yah, materil mungkin bisa, tapi immateriil? Kamu yakin mau tanggung konsekuensinya sendiri?" Asgar terlihat tidak ingin kalah, sebab dia jelas tidak ingin mengembalikan uang Liam yang sudah masuk ke dalam kas juga kantongnya. "Tapi, Mas--" "Oh kamu mau saya pecat aja? Dan mau minta saya kembaliin uangnya Pak Liam itu? Sana kamu yang bilang sendiri sama orang yang bersangkutan, minta dia ngomong ke saya sendiri untuk balikin uangnya." "Mas..." "Udah waktunya kamu kerja Gwen, atau bayaran jam pertama kamu bakal saya potong." Gwen rasanya masih belum ingin pergi dari sana, tapi mendengar ucapan managernya membuat Gwen mau tidak mau berbalik dan berjalan keluar dari ruangan itu. "Ah, tunggu. Ini kartu namanya, kalau kamu memang mau tahu alasan kenapa Mr. Park itu mau bantu kamu." Asgar berdiri dari kursi kerjanya, menghampiri Gwen dan memberikan sepucuk kartu nama di hadapan gadis itu. Pandangan Gwen dari mata managernya turun ke tangan Asgar yang terulur, memperhatikan kartu nama itu sepersekian detik sebelum mengambilnya. Lantas, setelah mendapatkan kartu nama itu Gwen harus apa? Menghubunginya? Mengajaknya bertemu? Atau mendatanginya? Mana yang lebih baik? Pria seperti Liam pasti sangat sibuk, dan kedatangan pria itu di club malam saat Gwen memulai kekacauan jelas hanya kebetulan belaka. Setelah memandangi kartu nama yang sudah ada di tangannya beberapa detik, Gwen memutuskan untuk menaruhnya di saku celana yang Gwen pakai, lantas kembali ke tempat di mana seharusnya dirinya bekerja. *** Malam itu Liam tidak datang. Gwen sudah memastikannya di setiap sudut club, tapi tidak melihat sosok pria itu meski hanya sekadar ujung hidungnya. Gwen menunggu Liam? Iya, gadis itu menunggunya untuk bicara. Meski belum pasti apa yang harus Gwen katakan, intinya Gwen ingin tahu alasan kenapa pria itu membantunya, bahkan setelah Gwen membentak-benaknya dan memperingatkannya kemarin? "Cari siapa? Kayaknya dari tadi mata lo sibuk banget kesana-kemari." Gwen menghela napas panjang, menghadap Boby yang saat ini sudah mulai bersantai, waktu sudah menunjukan pukul 3 pagi, jadi sudah tidak terlalu banyak yang memesan minum padanya, meski tetap masih ada beberapa yang hilir-mudik. "Kayaknya sih dia nggak ke sini." "Siapa?" "Yang kita omongin tadi." "Huh?" "Liam." Dengus Gwen lumayan enggan mengucapkan nama itu sebenarnya. "Liam siapa?" Duh, Boby ini? Apa tidak bisa membaca ekspresi wajah Gwen yang sebenarnya tidak ingin ditanya-tanya? Kenapa Gwen sudah mumet, ditambah lagi dengan kelemotan Boby bisa membuat tekanan darahnya semakin naik. "A-ah... Your savior?" Seru Boby melihat lirikan maut Gwen yang tertuju padanya? "My savior? Kalau kayak gini malah bikin gue bertanya-tanya tujuan dia lakuin ini buat gue apa. Kalau dia bisa bayarin hutang-hutang bokap gue, mungkin bakal gue anggap kalau dia memang penyelamat gue." Boby tertawa, merasa Gwen mengeluarkan lelucon yang tidak masuk akal sama sekali. "Hutang yang ratusan miliar itu? Memangnya lo ngapain buat dia sampai dia mau ngeluarin duit segitu banyaknya?" Ugh, apakah Boby juga sudah ikut mabuk? Sampai bisa mengatakan hal macam itu pada Gwen? Meski tidak ada yang salah juga dari ucapan Boby. Hanya saja... "Yah, lo bener. Mungkin gue harus kasih organ-organ di badan gue ini dulu baru dia mau ngelakuin itu." "Gwen! Gue, gue nggak bermaksud kayak gitu..." Akhirnya Boby tersadar, bahwa ucapannya bukan sesuatu yang enak untuk didengar, apalagi dengan kondisi Gwen sekarang. Walaupun mereka dekat, hal macam itu bukan sesuatu yang bisa setiap saat dijadikan candaan, kan? "Gue nggak tersinggung kok. Yang lo bilang memang bener, omongan gue aja yang nggak masuk akal. Bahkan walau gue jual semua organ di dalam badan gue ini aja belum bisa lunasin semua hutang itu, kan?" "Gwen..." Kini Boby justru merasa bersalah karena Gwen sampai berpikir sejauh itu." "Sayangnya, kalau semua organ dalam tubuh gue dijual, gue yang malah nggak bisa hidup. Terus nyokap sama adek gue nanti gimana?" Boby bahkan sudah tidak bisa berkata-kata, hanya mampu menatap Gwen dengan tatapan iba dan rasa bersalah. "Aargghh... Datangnya orang itu di hidup gue malah bikin pusing, gue bahkan nggak tahu harus berterima kasih atau marah sama dia karena ngelakuin hal nggak penting ini. Bikin pusing, bikin kepikiran, bikin orang ngerasa berhutang budi. Apa coba maksudnya?" Gwen beranjak dari tempatnya berdiri, menghampiri seseorang yang memanggilnya di meja 4, muda-mudi yang sudah mabuk berat, dan sepertinya mereka meminta Gwen untuk memanggilkan taksi atau semacamnya agar mereka bisa pulang. "Gue nggak tahu apa yang lagi Tuhan rencanain buat lo, Gwen. Kasih beban dan tanggungjawab sebesar ini sama lo. Gue bukan orang yang taat agama, tapi gue percaya Tuhan kasih lo kondisi kayak gini, pasti juga siapin hal yang luar biasa buat lo kalau lo bisa lewatin semuanya." Gumam Boby memandang punggung Gwen yang berlalu. *** Sehari, dua hari, bahkan hingga seminggu Gwen menunggu Liam datang ke club, tapi pria itu tidak juga menunjukan sosoknya. Tadinya Gwen berpikir ingin melupakannya begitu saja, masa bodoh dengan hutang budi, rasa terima kasih dan semacamnya. Toh bukan Gwen yang meminta untuk ditolong oleh Liam, kan? Pria itu melakukan semaunya? Bahkan tanpa Gwen ketahui. Seharusnya, jika seperti itu Gwen tidak perlu memperpanjang lagi urusannya dengan Liam, pria itu juga tidak mencarinya untuk mengembalikan uang ganti rugi itu kok. Tidak ada, sama sekali. Sialnya, Gwen bukan tipe yang bisa melupakan hal macam ini begitu saja. Gwen tidak terbiasa dibantu, tidak ingin merasa berhutang budi pada siapa pun, dan Gwen tidak ingin dirinya dicap sebagai orang yang tidak tahu terima kasih. Itu kenapa Gwen menunggu Liam, selama seminggu setiap malam. Sayangnya pria itu tidak muncul, tidak pernah datang lagi ke club. Itu kenapa Gwen akhirnya berdiri di sana, siang itu di sebuah gedung bertingkat tinggi dengan kartu nama seseorang di tangannya. Iya, itu kartu nama Liam, yang didapatkan Gwen dari managernya di club seminggu lalu. Dan Gwen sekarang ada di depan kantor Liam, bermaksud untuk menemui dan berhadapan secara empat mata dengan pria itu. Gwen lelah menunggu, Gwen gemas, dan Gwen ingin menghilangkan semua pikirannya yang berkaitan dengan Liam segera. Dengan begitu Gwen bisa fokus pada hidupnya sendiri, dengan begitu pikirannya tidak harus bercabang lagi. Fokus hidup membayar hutang-hutang keluarganya, hidup untuk ibu dan adiknya. "Ayo selesaiin semuanya sekarang juga Gwen, lurusin dan tanya apa maunya dia sebenernya!" Gumam Gwen pada diri sendiri, melangkah masuk ke dalam gedung mewah itu yang langsung menyambutnya dengan rasa nyaman dan keramahan pegawainya. Tempat mahal memang berbeda sekali auranya, dan Gwen dulu sangat terbiasa sekali dengan suasana macam ini. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" "Ah, selamat siang. Uum, saya mau bertemu dengan Liam--Mr. Liam maksud saya." "Mr. Liam?" Gwen mengangguk, menunjukan kartu nama Liam pada resepsionis yang menyambutnya. "Ah, Mr. Park? Tentu. Sudah buat janji sebelumnya?" Sial. Gwen lupa dengan itu. Di tempat seperti ini tentu saja Gwen tidak bisa menemui orang sembarangan, tentu saja dia harus membuat janji sebelum itu. "Eum, itu... Saya belum buat janji, Mbak. Tapi saya--" "Maaf, Miss. Tapi saya tidak bisa memberitahu Mr. Park kalau Anda belum membuat janji dengannya. Mungkin Anda bisa kembali setelah membuat janji dengan beliau?" "Tapi Mbak--" Masalahnya Gwen sendiri tidak yakin bisa membuat janji dengan si Park itu, karena sudah beberapa kali mencoba menghubungi no telepon di kartu nama itu saja Gwen selalu tersambung dengan nada sibuk. "Maaf, Miss. Saya tidak bisa membantu kalau Anda belum memiliki janji..." "Tolong kasih tahu aja, Gwen ada di sini. Gwen yang--" Sial, apa yang harus Gwen katakan agar Liam mengingatnya? Gwen yang dibantunya di club malam, begitu? Di depan orang seperti ini? Di siang bolong begini? "Maaf Miss..." "Ada apa Ann?" Suara seorang pria muncul di balik tubuh Gwen, membuat resepsionis di hadapan Gwen langsung membungkukkan tubuhnya sedikit untuk memberi salam. "Siang, Pak. Ini..." Belum selesai wanita itu menjelaskan, Gwen berbalik dan saat itulah perhatian pria yang menyela itu tidak lagi tertuju pada resepsionis yang diajak bicara tadi, melainkan pada Gwen. Iya, itu Liam. Pria yang ingin ditemui Gwen dan ditunggunya sejak minggu lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD