"Maaf, Pak. Mbak ini--"
Liam mengangkat tangan, menghentikan Ann melanjutkan ucapannya. Pria itu tidak memerlukan penjelasan dari resepsionisnya itu, karena Liam ingin mendengar langsung dari yang bersangkutan.
"Ada apa?"
Gwen menelan ludah, tiba-tiba lupa dengan apa yang hendak dibicarakannya. Bukan apa-apa, kalau Liam sendiri Gwen mungkin masih bisa bicara dengan bebas, tapi saat ini mereka di kelilingi oleh orang yang menatapnya lurus. Satu wanita resepsionsis, dan dua pria lain di dekat Liam yang Gwen tidak tahu siapa.
"Ekhm, Anda mungkin lupa siapa saya, tapi saya--"
"Gwen. Saya ingat kamu, jadi nggak perlu memperkenalkan diri kamu lagi."
Gwen mengangguk pelan, mulai mencari di kepalanya apa yang selanjutnya dikatakan. "Saya minta waktu Anda untuk bicara berdua, jadi bisa kita..."
Liam mengangguk mengerti, "Ikut saya." Liam melangkah setelah mengatakan itu, langkahnya diikuti dua pria lainnya, satu menyusulnya agar bisa berjalan sejajar, sementara yang satu memberi jarak selangkah di belakang mereka berdua. Gwen? Gadis itu menyusul setelah yang lainnya pergi.
Mereka berhenti di depan lift, menunggu datangnya lift yang kemudian membawa mereka ke lantai 16. Tak ada yang bicara sampai mereka tiba di lantai yang dituju, bahkan Gwen yang merasa atmosfir di sana benar-benar canggung. Biasanya Gwen akan memecah kecanggungan itu, tapi berada di antara tiga pria di sana membuatnya memilih diam.
"Hyun, kamu bisa kembali ke mejamu, nanti saya panggil kalau saya butuh." Liam bicara dalam bahasa korea setelah keluar dari lift, masih tetap melangkah tanpa menoleh ke arah slah satu pria yang diajaknya bicara.
Tentu saja Gwen tidak mengerti apa yang Liam katakan, hanya mampu membaca situasi di mana salah satu dari dua pria yang mengekor Liam berhenti dan membungkuk sebelum mengambil langkah ke arah lain. Sementara satu sisanya? Masih berjalan di samping Liam bahkan Gwen bisa melihat pria itu berbisik pada sosok di sampingnya.
"Siapa? Lo belum cerita apa-apa ke gue kalau punya cewek." Meski berbisik, Gwen yang berada tepat di belakang mereka jelas bisa mendengar ucapan pria itu.
Liam yang mendengar itu langsung menoleh ke belakang memastikan reaksi Gwen baru setelahnya memberi isyarat yang entah apa pada pria di sampingnya.
Berdasarkan pengamatan Gwen, sepertinya pria di samping Liam adalah temannya, atau semacamnya mungkin, berbeda sekali dengan pria yang Liam panggil "Hyun" tadi, hubungan mereka tidak seformal itu.
"Lo nggak usah ikut masuk, kemana dulu gih sana." Ucap Liam setelah mereka berhenti di depan sebuah pintu, yang Gwen rasa adalah ruangan pria itu.
"Kenapa? Memang pembicaraan kalian seserius apa sampai gue nggak boleh denger? Sepenting dan se-private itu?" Pria itu bertanya pada Liam, tapi setelahnya menatap Gwen seolah meminta penjelasan.
"Ugh, saya sih nggak keberatan--"
"Gue yang keberatan, Erick. Jadi sebaiknya lo melipir ke pantry atau meja Hyun dulu sana sampai gue selesai bicara sama Gwen."
Ah, akhirnya Gwen mengetahui nama pria satunya. Erick, dan sepertinya dugaan Gwen benar kalau Erick itu memang teman dari pria yang ingin ia ajak bicara.
Erick cemberut, tapi melihat wajah serius Liam, pria itu tidak bisa membantahnya. Namun Erick tidak lantas pergi, pria itu malah membuka pintu ruangan Liam dan mempersilakan keduanya masuk. Liam hanya bisa menarik napas dan menghembuskannya tipis. Harusnya mungkin Liam tidak mengeluhkan prihal kesehatannya hari ini, sehingga membuat Erick meluangkan waktu untuk mengunjunginya dan memeriksa kondisi Liam secara langsung sebelum mereka makan siang bersama tadi. Yah, Liam sedikit menyesali tindakannya hari ini.
Liam mempersilakan Gwen untuk masuk ke ruangannya lebih dulu, dan setelah gadis itu masuk, Liam mengambil alih pintu ruangannya dari Erick dan menutupnya dari dalam sambil melempar tatapan mengancam.
Di ruangan itu kini hanya ada Liam dan Gwen, dan suara AC yang lumayan terdengar karena terlalu heningnya situasi di antara keduanya.
Liam mempersilakan Gwen duduk, tapi gadis itu tidak menggubrisnya dan tetap memilih untuk berdiri di sana, menghadap Liam yang juga berdiri di depan meja kerjanya. Yang berbeda, Liam kini sedikit bersandar di meja kerja, atau lebih tepatnya sedikit menduduki pinggiran meja kerjanya.
"So, buat apa kamu sampai jauh-jauh ke sini?"
Gwen berusaha menjernihkan tenggorokannya, upaya untuk tidak terdengar memalukan ketika bicara. "Saya nggak lihat Anda seminggu terakhir di Club."
"Saya memang nggak selalu pergi ke Club." Timpal Liam ringan menanggapi Gwen, sebelum menyambungnya dalam bentuk pertanyaan. "Kenapa? Kamu cari saya?"
"Anda lihat saya sampai datang ke sini, kan? Bukannya udah jelas? Kenapa harus dipertanyakan?"
Liam tersenyum tipis, gadis di hadapannya memang bukan sosok yang mudah untuk dikalahkan dalam adu kecakapan bicara. Selalu ada celah untuk Gwen membuat ucapannya terdengar lebih masuk akal di hadapan Liam.
"Lantas? Saya pikir kamu juga bukan cari saya karena rindu atau semacamnya, jadi...?"
Gwen menarik napas, agaknya memang lebih baik langsung ke point utama, agar pembicaraan tidak melebar kesana-kemari.
"Saya ke sini karena tindakan Anda yang melampaui batas malam itu."
"Hm?" Kerut di kening Liam terlihat, mencoba untuk membaca apa yang dimaksud Gwen.
Liam kira, urusannya dengan Gwen malam itu sudah selesai. Sebab jelas Gwen sendiri yang mengatakan untuk tidak lagi ikut campur atau sok mencampuri kehidupannya.
"Malam... itu?"
"Manager saya bilang Anda yang bayar semua kerugian di club, Anda juga meminta agar saya tidak dipecat."
"Ah, itu..." Liam mengangguk setelah berhasil diingatkan Gwen tentang kejadian lain di malam itu.
Sayangnya, Gwen yang melihat ekspresi santai Liam dibuat semakin tidak santai dan gemas karenanya.
"Kenapa Anda lakuin itu? Apa kepentingan Anda lakuin itu buat saya? Saya pikir udah jelas saya bilang kalau jangan sok tahu atau coba-coba untuk kasihani saya, karena saya nggak suka dikasihani."
"Hm, saya paham kok ucapan kamu itu."
"Ya lantas, kenapa--"
"Tapi kan itu masalah kamu. Kamu yang nggak mau dianggap seperti itu, kan? Kamu yang nggak nyaman, kamu yang terganggu. Kalau dari sudut pandang saya, ya saya cuma mau bantu. Nggak ada maksud lain, lagi pula saya nggak minta imbalan apa pun dari kamu soal itu juga, kan? Saya juga nggak perlu kamu tahu kalau saya yang bantu, saya juga nggak minta manager kamu itu kasih tahu kamu kalau saya yang tanggungjawab soal kekacauan malam itu. Saya juga nggak butuh kamu tahu kalau itu saya."
Apa sih? Liam tidak berniat bicara panjang lebar sebenarnya, tapi entah kenapa dia jadi bicara sepanjang itu. Liam ingin menjelaskan posisinya yang biasa berniat baik tanpa harus diketahui dan meminta persetujuan orang lain atau yang bersangkutan, tapi entah mengapa semua kalimatnya terasa salah dan berantakan. Ada apa dengannya?
"Ya tapi yang Anda lakuin itu berkaitan dengan saya, jadi harusnya Anda bilang ke saya atau dapat persetujuan saya--"
"Sejak kapan orang mau berbuat baik harus minta persetujuan orang lain?"
"Tentu harus, karena itu menyangkut harga diri saya!"
Liam mendengus, "Harga diri? Orang seperti kamu masih bicara soal harga diri padahal jelas-jelas kamu kerja di Club?"
Sial. Liam sungguh menyesali apa yang keluar dari mulutnya barusan. Tidak, Liam bukan orang yang biasa merendahkan orang lain, sama sekali bukan. Hanya saja melihat sikap keras kepala Gwen yang masih sok kuat, sok berani, dan sok bisa menangani semuanya sendiri membuat emosinya seolah dipancing naik, membuatnya tanpa kendali mengeluarkan kalimat tidak pantas macam itu. Dan dampak dari ucapan Liam itu kini terasa nyata, dengan hening yang tercipta, dengan tatapan Gwen yang jelas terluka. Tapi bukan Gwen kalau tidak mencoba untuk menutupinya.