13. Konsep Hutang Budi

1293 Words
Gwen menunduk, berusaha untuk mengontrol ekspresi wajahnya. Wanita itu tersenyum tipis, atau dengan kata lain bisa disebut senyum pahit. Pahit sebab pada akhirnya semua orang akan memandangnya sama hanya karena apa yang sedang Gwen kerjakan, hanya karena apa yang terlihat di mata mereka, hanya karena melihatnya dari sisi yang terlihat tanpa mencari tahu alasan di baliknya. Gwen mengakui, semua manusia pada dasarnya pasti memiliki sifat macam itu, bahkan dirinya yang dulu juga mungkin demikian, jadi Gwen tidak bisa menyalahkan Liam, tidak akan menyalahkan Liam atas ketidaktahuan pria itu. Kepala Gwen kembali terangkat, kali ini dengan senyum yang tipis bermakna pemahaman. Gwen paham apa yang dikatakan Liam mungkin tidak bermaksud demikian, dan dia juga akan paham jika Liam memang bermaksud untuk mengatakan yang sebenarnya. Tidak apa-apa, akan Gwen terima. "Iya, menurut Bapak mungkin saya bukan orang yang pantas untuk memiliki harga diri. Menurut Bapak pekerjaan saya yang Bapak lihat jelas bukan pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki harga diri, kan? Sayangnya, Bapak melihat ada satu di sini. Satu orang yang mengaku masih punya harga diri, jadi--" "'Gwen, Saya--" "Jadi saya mohon kasih tahu saya berapa yang Bapak sudah keluarkan untuk manager saya malam itu, minta kembali uang Bapak yang sudah masuk ke kantungnya, supaya saya bisa tanggungjawab atas kekacauan yang sudah saya bikin., karena manager sialan itu nggak akan kasih tahu saya nominalnya kalau Bapak nggak minta kembali uang itu sendiri." Setelah ucapannya dibungkam Gwen yang tidak membiarkan apa pun keluar dari mulut pria itu, Liam akhirnya memiliki kesempatan untuk bicara. "Sudah selesai bicaranya?" Liam memberi waktu pada Gwen untuk melanjutkan jika memang ada hal yang ingin gadis itu sampaikan lagi, tapi sepertinya Gwen sudah selesai, karena dia hanya diam. "Sebelumnya saya sangat minta maaf dengan apa yang saya katakan tadi. Saya nggak ingin ada keributan di sini, dan saya juga nggak bermaksud menyinggung kamu. Saya kesal karena kamu begitu keras kepala iya, tapi untuk menghakimi kamu dan pekerjaan kamu sama sekali nggak. Kalimat saya kurang ajar, menyakiti hati kamu, saya minta maaf untuk itu." Gwen masih diam, sama sekali tidak bereaksi dengan ucapan Liam itu. Sedikit menguntungkan untuk Liam, karena dengan begini mereka bisa bicara baik-baik tidak seperti debat kusir. "Yang ingin saya katakan, saya melakukannya tanpa maksud apa-apa, jadi kamu nggak perlu merasa berhutang atau apa pun itu. Kamu anggap aja saya nggak pernah melakukannya, nggak pernah kenal kamu dan nggak pernah ketemu kamu. Kamu bisa tutup mata dan anggap kejaian itu nggak pernah terjadi dalam hidup kamu. Setuju? Simple, kan?" Setelah mendengarkan kalimat panjang itu, Gwen hanya bisa mengeluarkan dengusannya. Dengusan tidak percaya. Gwen tahu Liam mungkin tidak bermaksud meremehkannya, tapi dari apa yang Gwen dengar semuanya jelas dianggap sangat remeh oleh Liam. "Kalau begitu, kasih tahu saya aja berapa jumlah yang Bapak kasih ke manager saya? Biar saya sendiri yang akan ganti ke Bapak secara langsung." "Gwen." "Berapa?" "Lihat? Gimana saya nggak kesal kalau kamu sekeras kepala ini?" "Berapa?" Liam menggeleng, berdiri tegak dari posisinya semula dan membelakangi gadis itu karena sudah kehabisan kata-kata untuk menghadapinya. Di mana lagi Liam bisa menemukan wanita macam ini? Yang harga dirinya begitu tinggi bahkan saat dirinya benar-benar dalam kesulitan sekalipun. "Saya nggak mau punya hutang budi! Jadi bilang berapa uang yang sudah Anda keluarkan?" "Saya nggak pernah anggap itu hal yang harus dibalas, kenapa lantas kamu harus merasa berhutang budi? Apa susahnya let go sama kejadian ini? Dan kamu bisa kembali jalanin hidup kamu seperti biasa." Gwen seperti sedang menahan sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang membuat wanita itu seperti akan menangis. "Saya nggak mau sesuatu macam ini menghantui saya suatu hari kelak, lebih buruknya seseorang mengungkit semua itu dan mengatakan hal yang jauh lebih buruk dibanding dengan apa yang saya dengar hari ini. Anda mungkin nggak tahu, tapi manusia itu berubah sangat cepat, hari ini bicara begitu, besok bicara seperti ini. Semuanya cuma omong kosong, bulshit yang nggak bisa dipercaya. Jadi lebih baik saya tanda tangan kertas hitam di atas putih untuk lunasin semua itu, dibanding dikemudian hari semuanya cuma akan menghancurkan saya." Trauma. Itu yang disebut trauma Liam rasa. Sikap defensif Gwen hari ini adalah dampak dari apa yang pernah dialaminya, maka dari itu Gwen membatasi dan memagari dirinya dari apa yang mungkin akan membuatnya terluka dikemudian hari. Bukan berdasarkan sudut pandang orang lain, melainkan berdasarkan tolak ukurnya sendiri. Liam menghembuskan napas, entah mengapa merasa sosok yang ada di hadapannya justru terlihat seperti dirinya sendiri. Liam seperti sedang berkaca, seperti sedang bercermin dan melihat pantulan dirinya sendiri dengan wujud yang berbeda. "Kalau begitu ayo tanda tangan perjanjian kalau saya nggak akan tuntut kamu apa pun sejak hari ini sampai waktu yang nggak berbatas. Jadi kamu nggak perlu khawatir apa yang akan terjadi kedepannya karena kejadian malam itu." "Saya maunya tanda tangan perjanjian hutang dengan jumlah yang sudah Anda keluarkan." "Gwen!" "Saya bilang saya nggak mau punya hutang budi! Berapa kali saya harus bilang?" "Dan berapa kali saya juga harus bilang kalau saya nggak pernah anggap itu hutang!" "Kalau begitu bayar dengan hal yang lain!" Suara itu datang bersamaan dengan suara pintu yang dibuka. Liam dan Gwen menoleh bersamaan dengan arah datangnya suara. Suara Erick yang menyela percakapan sengit keduanya, Erick yang terlihat gemas dengan dua orang yang sudah menghabiskan waktu sepuluh menit hanya untuk hal yang sama, tanpa pemecahan masalah karena dua-duanya sama-sama keras kepala. "Erick!" Erick mengabaikan seruan Liam, masa bodoh dengan Liam yang akan mengutuk padanya nanti, yang pasti Erick melihat kesempatan di sini, dan Erick tidak bisa mengabaikannya. "Hai, kenalin nama saya Erick. Saya dokter pribadi--ah, nggak saya temannya manusia ini. Kamu Gwen, kan? Saya udah denger nama kamu beberapa kali sebelumnya." "Rick, lo apa-apaan sih? Keluar, nggak usah ngomong yang macem-macem. Gue sama Gwen belum selesai ngomong." Liam memang belum tahu apa yang akan Erick bicarakan, tapi entah kenapa perasaannya sangat tidak enak. "Hm, gue tahu. Ah... dengerin kalian ngomong bikin gue naik darah sendiri. Lo bilang Gwen keras kepala? Lo sendiri juga keras kepala, Liam! Nggak ngaca?" Sial. Erick membuka apa yang dipikirkan Liam tadi di depan Gwen. "Wait. Lo denger apa yang gue sama Gwen bicarain? Lo nguping?!" Erick mengangkat bahu, tidak mengakuinya secara lisan tapi itu terlihat dar ekspresi wajahnya yang sama sekalitidak merasa bersalah. "Rick, lo bener-ben--" "Tadi Anda bilang apa? Cara lain untuk selesain masalah ini? Kasih tahu saya, karena saya juga nggak mau berlarut-larut dengan hal ini." Gwen menela perdebatn yang mungkin akan terjadi antara Liam dan Erick. Masa bodo dengan mereka berdua, Gwen hanya ingin atau beban di pundaknya terangkat hingga Gwen bisa menampung beban yang lain. "Oh-hm. Ah, tapi sayangnya solusi ini akan sedikit berlarut." Gwen mengerutkan kening, bukan sesuatu yang Gwen inginkan, tapi mungkin bisa sedikit Gwen dengar terlebih dulu. "Erick, jangan bilang--" "Bapak bisa diem nggak? Saya mau denger teman Anda biacara dulu, Anda nggak usah nyela!" Gwen lagi-lagi memotong ucapang Liam, bahkan dengan sedikit bentakan, yang tentu membuat Liam terkejut, begitu juga dengan Erick, meski setelahnya pria itu menahan tawa dengan bagaimana Liam ditangani oleh gadis ini. "Tuh, denger. Gue dulu yang ngomong. Lo diem aja." "Anda juga. Bisa nggak langsung ke intinya? Nggak usah berbelit-belit." Erick yakin gadis di hadapannya ini jauh lebih muda darinya, tapi bagaimana bisa auranya mampu membuat Erick diam dan menuruti ucapan gadis itu? "Well, kalau gitu, jadi istrnya Liam dan hutang kamu bisa dianggap lunas." Satu Dua Tiga Empat Lima "Huh?" Membutuhkan waktu lima detik untuk Gwen bereaksi, itu pun reaksi yang minim seolah masih mencerna apa yang dikatakan lawan bicaranya barusan. "Ugh, calon sih. Salah satu calon istri Liam. Kalau golongan darah dan tes lainnya cocok, kamu bisa membayar hutang kamu itu dengan jadi istrnya orang ini." Ucap Erick sambil menunjuk ke arah pria yang sudah menutup wajahnya dengan satu tangan. Temannya yang satu ini benar-benar pantang menyerah, masih saja melanjutkan bahasan yang Liam kira sudah selesai dari kemarin-kemarin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD